Kematian adik perempuannya yang tragis membuat Rama berubah 180 derajat. Apa lagi ketidak mampuannya sebagai aparat penegak hukum untuk mengungkap siapa dalang dibaliknya membuatnya menjadi lebih frustasi lagi. Hal itulah yang membuatnya selalu bertindak keras terhadap apa pun yang terjadi di sekelilingnya. Hingga sebuah hukuman dari sang komandan membawanya pada keputusan lain.
Namun peristiwa bom bunuh diri di sebuah kafe di tengah kota membawanya bertemu dengan seorang wartawan lepas yang sedang berjuang mempertaruhkan kariernya di kantor berita nasional.
Kaysa Mella yang sedang mencari bahan pemberitaan untuk menaikkan jenjang kariernya di dunia jurnalis yang sangat dia cintai seperti pengembara yang menemukan oase di tengah padang pasir saat bertemu dengan Rama.
Apakah yang akan terjadi setelah mereka bertemu? lebih banyak drama ataukah tragedi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Sejati
*
*
"Kamu bohong kepada mama!" ucap Kaysa setelah mendengar penjelasan Rama mengenai penyebab dirinya membelikan tas dan seragam baru untuk Aslan.
"Kamu sudah berani mengelabui mama, Aslan. Dan mama hanya menerimanya saja seperti orang bodoh!" lanjutnya dengan raut kecewa.
"Mungkin maksud Aslan tidak begitu Kay." Rama melakukan pembelaan.
"Maaf." sementara Aslan menundukkan kepala tanda menyesal.
"Apa lagi yang kalian sembunyikan?" perempuan itu seolah menghakimi.
"Nggak ada Mama."
"Bohong! mama tidak akan percaya kamu begitu saja. Kamu tahu, sekali saja seseorang berbohong, maka akan membuat kebohongan lainnya. Contohnya kamu." dia bersedekap dengan wajah masam.
"Tidak perlu bereaksi berlebihan seperti itu Kay, Aslan masih kecil. Dia tidak mengerti dengan apa yang di lakukannya." Rama mencoba menyela.
"Berlebihan kamu bilang? dia sudah berbohong. Segalanya di mulai dari kebiasaan sejak kecil. Kalau di usia sekecil ini saja dia berani berbohong, lalu bagaimana jika dia dewasa nanti?"
"Pikiranmu terlalu jauh, dan caramu mendidiknya terlalu keras Kay!" tukas Rama, dia bersikeras membela anak itu karena sedang mencoba memahami keadaan mereka.
Kaysa menatap pria itu untuk beberapa saat.
"Kalau aku tidak mendidiknya dengan keras, bagaimana dia bisa menjadi orang baik nanti? dia itu laki-laki, yang kelak akan menjadi pemimpin keluarganya. Dan kejujurannya sejak hari ini akan menentukan masa depannya nanti."
"Astaga! kamu berbicara soal memimpin keluarga seolah-olah Aslan akan menikah besok. Dia bahkan baru kelas satu sd." Rama menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
Beruntung pinggir lapangan dekat sekolah Aslan tidak terlalu ramai hari itu, sehingga mereka berbicara dengan leluasa. Hanya beberapa anak kecil saja yang asyik bermain bola di tengah teriknya panas matahari.
"Semuanya harus di persiapkan sedari sekarang, atau aku tidak akan berhasil mendidiknya menjadi pria sejati."
"Pria sejati, katamu? dia hampir 8 tahun Kay!" Rama dengan nada frustasi. Betapa perempuan ini begitu keras kepala. Entah bagaimana caranya untuk membuatnya sedikit melunak.
"Kamu tidak akan tahu rasanya gagal seperti aku. Bagaimana semuanya hancur setelah bertahan sekian lama dan berusaha membuat segalanya ada di jalur yang semestinya. Dan kamu sendirian dalam hal ini. Segalanya mudah bagimu."
"Sok tahu! lalu bagaimana dengan bullying yang dia alami akhir-akhir ini? apa didikan keras mu bisa membuatnya melewati itu semua?"
Kaysa terdiam, lalu dia menatap wajah putranya.
"Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya kepada mama? apa arti mama ini buatmu?" dia memegangi pundak Aslan, lalu mengguncangnya pelan.
"Bagaimana jika terjadi seuatu kepadamu sementara mama tidak tahu? apa yang harus mama lakukan, Aslan?" Kaysa mulai terisak.
Tidak terbayangkan bagaimana anak itu melewati hari-harinya di sekolah penuh ketakutan dan intimidasi, sementara dirinya sibuk di tempat kerja berusaha untuk mendapatkan apa yang bisa menjadi penyambung hidup agar tidak ada campur tangan Radit di dalam kehidupan mereka.
"Sini nak, kamu pasti sering ketakutan." dia menarik Aslan ke pelukannya. "Maafkan mama tidak peka." katanya.
"Inilah yang dia takutkan jika mengatakannya kepadamu. Dia tidak mau membuatmu merasa khawatir lalu akhirnya bersedih. Sehingga dengan kerasnya menekan perasaannya sendiri. Itu bagus, tapi akan berbahaya jika berlangsung terus menerus. Aslan akan menjadi pribadi yang tertutup, dan yang aku takutkan akan membuat mental dan emosinya sedikit terganggu." Rama berbicara lagi, dan kini mereka lebih tenang.
"Hhh ... kegagalan membuatku berusaha mengantisipasi segala hal. Terutama aku tidak ingin dia seperti papanya."
"Jangan membicarakan keburukan papanya di depan dia." Rama mengingatkan.
"Dia sudah tahu bagaimana papanya, bukan? untuk apa aku menutupi hal itu?"
"Memang, tapi cukupkan saja dia dengan melihat atau mengetahuinya sendiri, tanpa kita yang membahasnya terus. Kasihan. Di sudah cukup kecewa melihat papanya dengan perempuan lain, jangan juga kamu tambahi dengan ucapanmu."
"Kamu tahu soal itu?"
"Tahu. Kami bertemu dengan mereka di mall waktu membeli tas dan seragam."
"Ah, ... pantas saja dia kecewa."
"Jadi, cukuplah sampai di situ saja, tidak usah di bahas lagi." ucap Rama, dan itu mengakhiri pembahasan.
***
"Sekarang makanlah." Kaysa menggeser nampan berisi satu porsi nasi dan ayam goreng tepung kesukaan Aslan, di tambah minuman soda seperti yang selalu di pesankannya setiap kali mereka mendatangi tempat tersebut.
"Mama udah nggak marah lagi?" takut-takut Aslan mengangkat kepalanya.
"Mama tidak marah. Mama hanya terkejut saja, dan khawatir." Jawab Kaysa yang menyesap minuman miliknya.
"Maaf, udah bikin mama khawatir."
"Iya, tapi Aslan tidak boleh mengulanginya ya?" Kaysa menunduk untuk melihat wajah Aslan lebih dekat.
Lalu anak itu menganggukkan kepala.
"Aslan janji?"
"Janji."
"Baiklah, sekarang cepat makan." ucap Kaysa.
"Umm ... itu, ...
"Apa?"
"Aku maunya itu ..." Aslan melirik kepada Rama yang menyimak percakapan tersebut dalam diam.
"Apa lagi?"
"Kamu mau ini?" pria itu menggeser minuman dingin berwarna kuning cerah miliknya ke dekat Aslan.
"Boleh?" anak itu dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Baiklah, kita barter kalau begitu."
"Oke." Aslan segera menyambar dan menyesap minuman milik Rama dengan riang gembira, kemudian mulai melahap makanannya.
"Ish, ...
"Sudah aku bilang untuk membelikannya minumam itu kan? tapi kamu tidak mendengar?" Rama kepada Kaysa yang terlihat sedikit gusar.
"Biasanya juga itu yang dia pesan." perempuan itu mendelik.
"Aslan itu manusia, dia punya keinginan lain tahu?" balas Rama yang juga memulai kegiatan makannya.
"Aku tahu, aku ini ibunya."
"Tidak ada yang akan menyangkal itu. Hanya saja, jangan mentang-mentang kamu ibunya lalu memaksa dia melakukan apa yang kamu mau. Mungkin saja dia tidak mau, tapi karena takut membuatmu kecewa jadinya dia memaksakan diri."
"Ini maksudnya kita sedang apa sih? mau makan atau berdebat?" Kaysa kini mulai kesal.
"Ya makanlah, berdebat tidak membuat kenyang." pria itu tak menghentikan kegiatannya.
"Ya sudah, diam! Kenapa sih kamu bicara terus?"
"Karena kamu juga terus bicara."
"Rama!" Kaysa meninggikan suaranya.
"Ya Kay?" pria itu mendongak, membuat pandangan mereka bertemu. Dan seketika muncul percikan tak kasat mata di antara keduanya.
Mereka terdiam untuk beberapa saat menikmati suasana yang tiba-tiba saja terasa begitu hening padahal restoran cepat saji itu berada di jam sibuknya pada tengah hari seperti ini.
"Mama, aku mau es krim." suara Aslan menginterupsi, namun dua orang dewasa di depannya tidak merespon.
"Mama!" bocah ini menepuk lengan ibunya.
"Hah? iya Aslan?mau tambah? sudah habis ya?" Kaysa tersadar dari lamunannya, begitu juga Rama.
"Belum, tapi kalau mau ditambahin juga boleh. Mau es krim vanilla oreo sama french fries." jawab Aslan, tiba-tiba saja dia jadi banyak maunya.
"Apa?" Kaysa mengalihkan perhatiannya.
"Es krim, vanilla oreo ... sama french fries." ulang Aslan.
"Oh, itu ... baiklah ..." Kaysa hampir saja bangkit untuk kembali memesan ketika Rama mendahuluinya.
"Biar om yang pesankan." katanya, dan pria itu segera pergi tanpa menunggu jawaban.
"Apa ini sudah cukup?" Rama kembali setelah hampir 15 menit melakukan pemesanan, membawa nampan berisi pesanan Aslan masing-masing dua porsi.
"Banyak amat? om mau juga ya?" Aslan yang telah menghabiskan makanan utamanya.
"Tidak, om sudah kenyang."
"Terus ini buat siapa?"
"Mama mu, siap tahu dia mau." Rama melirik kepada Kaysa yang tengah menyesap minumannya, yang membuatnya seketika terbatuk karena merasa terkejut.
"Aduh, ... pelan-pelan mama, om Rama cuma ngasih kentang goreng sama es krim, bukan pistol." celetuk anak itu sekenanya sambil menepuk punggung ibunya.
Baru kali ini ada yang perhatian kepadanya tanpa di minta. Dan itu cukup membuat heran. Apa lagi jika pria ini yang melakukannya, yang dia kenal di awal begitu kaku dan tidak ramah kepadanya.
"Tidak usah berlebihan, aku hanya takut kamu berebut dengan Aslan nanti." Rama sedikit menghindari kontak mata dengannya. Takut terjadi sesuatu dengan hatinya yang dia rasakan kini mulai melemah.
"Umm, ... terimakasih." ucap Kaysa.
Mereka kembali terdiam sebelum akhirnya ponsel milik pria itu berdering. Dan kode 911 menjadi pesan penyelamat baginya dari kecanggungan yang mulai terasa.
"Baiklah, ... aku ada panggilan tugas." ucap Rama seraya memasukan ponselnya kembali ke dalam saku celana.
"Siang-siang begini? biasanya malam." Kaysa solah bertanya.
"Yeah, ... terkadang waktu tugasku tidak tentu." Rama menjawab.
"Oh, baiklah."
"Tidak apa-apa kalian pulang sendiri? karena aku harus segera pergi." Rama dengan raut sedikit khawatir.
"Tidak apa, kami bisa pesan taksi online, terimakasih." jawab Kaysa.
"Baikla kalau begitu." namun pria itu malah tertegun.
"Om katanya buru-buru? kok masih di sini?" Aslan kini membuyarkan lamunannya.
"Ah, iya ... pergi dulu." katanya yang keluar dari tempat itu dengan tergesa.
*
*
*
Bersambung ...
anu, nunggu sesuatu itu 😂
jangan bilang dikit, udah dua kali nih.
like komen sama hadiahnya aja kirim dulu yang banyak
lope lope sekebon korma😘😘
ini keren thoooorrr...