Di pertemukan oleh waktu, di persatukan oleh takdir.
Namun, di pisahkan oleh ketamakkan.
Aishleen Khadijah dan Albiru Adityawarman.
Dua insan berbeda karakter, awal pertemuannya begitu unik.
Diam-diam saling mengagumi dan melangitkan nama masing-masing dalam doa.
Hingga pada akhirnya dipersatukan oleh takdir.
Saat kebahagiaan tengah menyelimuti keduanya, mereka harus terpisah oleh ketamakkan.
Takdir buruk apa yang memaksa mereka harus berpisah?
Akankah takdir baik menyertai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYSEL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasanya, seperti di Ospek Kating
24. Rasanya, seperti di Ospek Kating.
Biru.
Biru berjalan cepat menuju pantry. Ia butuh sesuatu yang dingin, dengan cepat tangannya mengambil minum didalam lemari pendingin dan menenggak habis satu botol penuh. Tangannya thermor, lututnya mendadak tak mampu menopang berat tubuhnya.
Gentar tergopoh-gopoh datang dari ruang foto setelah melihat Biru masuk studio dengan tingkah aneh. “Lu kenapa, Bi? Sakit?”
Biru tak menjawab. Ia menggelengkan kepala dengan mata terpejam. Ia sendiri masih tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya.
Biru memang bukan pria yang berpengetahuan luas tentang agama. Tapi untuk pacaran, ia tak pernah melakukan walau banyak yang mendekati. Baginya, pacaran adalah hal terbaik untuk menyia-nyiakan waktu. Tapi apa? Tanpa berpikir panjang ia malah memperkenalkan Kha pada Jihan sebagai calon istri. Tanpa tahu seperti apa perasaan Kha sebenarnya.
Setelah menghabiskan 2 botol air, Biru sedikit lebih tenang. Akalnya mulai bekerja kembali.
“Gue bilang ke Mama Jihan kalau Kha calon istri, gue,”
Gentar membelalak mata. “Serius, Lu?! Kok bisa? Lu udah pacaran sama, Kha?”
Pandangan kosong Biru lurus kedepan, ia menggeleng pelan. “Ada orang tua Kha juga waktu gue kenalin Kha ke Mama,”
Gentar tambah menganga, mungkin ia tak percaya dengan apa yang Biru katakan. Sebab, sejak bertemu dengan Biru tak sekalipun ia mendengar Biru membicarakan tentang perempuan. Gentar bertepuk tangan pelan. “Waaah, gue nggak nyangka lu se-gentle ini.”
Biru beranjak dari kursi pantry setelah sayup mendengar Adzan berakhir. “Kita ke Masjid dulu,” ia menyeret bahu Gentar.
“Waaaah... Speechless sih, gue! Tenyata seorang Kha bisa merubah batu es kayak elu.”
Keluar dari ruko, Biru berpapasan dengan Azzam, dan kedua adik Kha. Mereka juga terlihat akan bersiap ke masjid. Hati Biru kembali bergemuruh bersitatap dengan Azzam. Ia sengaja jalan lebih pelan karena tidak ingin mendahului Azzam.
Namun sayang, detak jantungnya dipaksa bekerja lebih cepat hari ini. Azzam berhenti lalu menoleh kearah Biru dan Gentar, sengaja berhenti untuk menunggu dirinya.
”Mau jamaah?” tanya Azzam begitu Biru mensejajarkan langkahnya.
“I-Iya, Om,”
Gentar berjalan mendahului, menyapa Gamya dan Syamier lalu berjalan dengan mereka. Ia menghirup napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Meraba dada agar bisa lebih rileks berhadapan dengan Ayah dari Kha. Biru sadar jika ucapannya tadi juga didengar oleh keluarga Kha. Ia harus segera meluruskan, mau bagaimanapun juga, Kha berbeda dengan perempuan diluar sana, yang bisa seenaknya saja dipermainkan. Keluarga Kha juga tampak agamis.
“Om..,” Biru berhenti tepat di pelataran Masjid. “Wanita yang tadi bersama saya, dia Ibu kandung saya.” ucap Biru nampak ragu untuk meneruskan kalimatnya. “Saya punya dua Ibu, Maaf memperkenalkan Kha tanpa izin terlebih dahulu, Tapi...,”
“Tapi apa?” potong Azzam.
“Saya tidak main-main dengan ucapan saya. Benar saya berharap ucapan saya bisa diterima Kha dan keluarga,”
Azzam mendorong pelan bahu Biru, “Habis ini, Om tunggu di ruko, kita bicarakan nanti.” Biru mengangguk, kemudian melanjutkan langkahnya masuk ke dalam.
...🌼🌼🌼🌼🌼...
Keberanian seorang Biru memperkenalkan Kha pada Jihan, nyatanya berbanding terbalik ketika Azzam meminta dirinya untuk singgah ke ruko selepas melaksanakan kewajiban mereka tadi.
Ia bahkan sampai harus beradu mulut dengan Gentar agar kawannya itu mau menemani ke ruko sebelah.
“Anjreetlah elu, mah! Giliran disuruh ngadep bapaknya aja lu kicep! Percuma good looking, good rekening tapi minim keberanian minta anak gadis orang!”
“Jadi lu nggak mau anterin, gue?”
Gentar menyilangkan tangan. “Ogah!” tolaknya.
“Beresin meja, Lu!” Biru menunjuk meja kerja Gentar.
“Astaga... Barusan lu bilang apa? Minta anterin? Hayuuklah gue mah siap kapan aja. Nganterin lu ke ujung neraka sekalipun gue siap!” kilah Gentar, mendapat ancaman dari Biru membuatnya mengalah. Bahu Biru didorong oleh Gentar untuk berjalan bersama menuju ruko Kha.
****
Biru duduk berhimpitan dengan Gentar. Biasanya ia dengan bebas keluar masuk toko bunga tanpa beban. Tetapi hari ini, rasa-rasanya toko bunga terasa seperti aula kampus dipenuhi kating yang siap mengospek Maba.
Ekor matanya mengikuti setiap langkah Kha, melihat gadis itu sibuk membuat minum dan camilan lalu dihidangkan untuk mereka. Kemudian duduk di sofa single yang letaknya berseberangan dengan dirinya.
“Ekkhhemm, jaga pandangan, Mas.” seloroh salah satu adik Kha yang memergoki dirinya tak melepaskan pandangan dari kakak mereka.
Wanita yang Kha panggil dengan sebutan Ummi, muncul dari kamar Kha bersama dengan Azzam.
“Diminum tehnya, Nak.” tawar Alsea. “Kalau boleh tahu, asmanya (namanya) siapa?”
“Saya Biru, Tante. Ini teman saya, Gentar.” jawab Biru memperkenalkan diri.
“Sudah lama buka studio foto?”
“Hampir bersamaan dengan toko bunga Khadijah dibuka.”
Alsea ber o-o mendengar jawaban Biru.
“Ummi, Mama Mas Biru ini yang memperkenalkan Kha dengan salah seorang Founder, yang bantu Kha sekarang buka dekorasi bunga juga,” ujar Kha.
“Masya Allah. Alhamdulillah... Jalan rejeki Kha ternyata ada yang lewat dari Ibunda Mas Biru. Sampaikan terima kasih Tante buat Mamanya ya, Nak,”
“Baik, Tante, Insya Allah saya sampaikan.”
Awalnya Biru merasa canggung, dan sedikit khawatir menghadapi keluarga Kha yang sama sekali belum pernah ia temui. Satu hal pasti, dari kedua orang tuanya, ia sadar darimana sikap lemah lembut dan taat agama Kha berasal. Azzam memiliki paras teduh, berlesung Pipit yang akan nampak ketika ia tersenyum, juga Alsea yang ternyata sangat ramah dan humble, sedangkan kedua adik Kha cenderung suka bercanda karena itu keduanya langsung akrab dengan Gentar.
“Kenapa harus, Kha?” Azzam melempar pertanyaan tanpa aba-aba.
Biru yang ingin mengangkat gelas, urung ia lakukan. “Mm--maaf, Om.”
“Saya tanya, kamu tidak perlu minta maaf. Kenapa harus, Kha? Apa kamu mencintai anak saya?”
Biru melirik Kha sekilas, tatapannya pun bertemu dengan Kha yang teryata juga sedang melihatnya. “Diantara mencintai atau dicintai, Saya memilih untuk menikahi, Kha,”
“Selayak apa kamu ingin menikahi, Kha?”
Biru terdiam. Ia teringat dengan ucapannya pada Barid tempo lalu.
Jangan buat dirimu siap bersaing, karena dalam persaingan itu ada kekalahan. Buat dirimu layak, karena perempuan butuh tempat yang layak.
Layak....
“Saya bekerja, juga membuka lapangan kerja untuk orang lain,” jawab Biru ragu.
Azzam kembali melemparkan pertanyaan. “Bagimu, layak menurut kamu itu dari segi pekerjaan?”
Lagi, Biru kembali terdiam, pertanyaan Azzam terdengar seperti jebakan. Ia harus mencerna setiap arti dari pertanyaannya. Cukup lama bagi Biru untuk berpikir, saat melihat tasbih ditangan Azzam, seketika Biru menemukan jawabannya.
“Untuk urusan agama, jujur saya masih harus banyak belajar.” jawab Biru.
“Sebuah kapal itu butuh nahkoda, setiap pesawat butuh pilot. Sama halnya rumah tangga, membutuhkan pemimpin yang layak.”
“Jangan selalu menilai kata 'layak' dari segi materi, materi bisa dicari bersama, setiap rumah tangga sudah memiliki takar rejekinya sendiri. Layak yang saya maksud dalam artian, apakah kamu yakin, dengan menikahimu anak saya akan lebih mencintai penciptanya? Atau bahkan sebaliknya?”
Biru menganggukkan kepala, mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang Azzam ucapkan.
“Sejujurnya, Kha yang membuat saya kembali melakukan kewajiban-kewajiban sebagai seorang muslim, Kha juga yang membuat saya lebih mementingkan urusan akhirat dibanding dengan dunia. Saya ragu untuk saya sendiri, tapi saya sangat yakin Kha tidak akan pernah mengikis sedikitpun kecintaannya terhadap Sang Pencipta.”
“Saya masih harus banyak belajar, Om. Jika Om izinkan, saya ingin belajar langsung dari Khadijah.”
Entah sejak kapan Biru menjadi selugas itu cara berbicaranya. Ia tak lagi khawatir dengan pertanyaan jebakan. Yang ia tahu, ia ingin menunjukkan pada orang tua Kha terutama Azzam, jika dirinya tidak main-main dengan ucapannya yang tak terencana.
“Bawa orang tuamu berkunjung ke jogja.”
Biru mengangkat pandangannya tinggi-tinggi. Ia ingin bertanya apa maksud dari jawaban Azzam namun laki-laki itu sudah pergi dan menghilang dibalik tembok.
baca bab awal,mulai tertarik
baca bab 2,mulai suka
q lanjut baca ya kak author, makasih 🙏😉
karena akan ada tahap yang namanya ta'aruf