Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 Media Menyerang
#
Larasati menatap ponsel yang masih berdering di tangannya—nama Reza yang terus muncul, menuntut perhatian. Tapi sebelum jemarinya menyentuh tombol hijau, bunyi notifikasi lain masuk. Dan lagi. Dan lagi.
Bukan dari Reza kali ini.
Dari nomor-nomor yang tidak dikenal. Dari akun media sosial yang di-tag. Dari grup keluarga besar yang selama ini sepi tiba-tiba meledak dengan puluhan pesan.
Dengan perasaan yang tidak enak, Larasati buka salah satu notifikasi.
Link ke artikel berita online. Headline yang membuat darahnya membeku:
**"SKANDAL CEO NARENDRA GROUP: Gavin Narendra Ketahuan Selingkuh dengan Karyawan Sendiri—Pernikahan Delapan Tahun Hancur, Perusahaan Keluarga Terancam"**
Di bawahnya, foto Gavin dan Kiran—foto yang Larasati kenal, foto yang dia sendiri yang dokumentasikan dari investigasi pribadinya. Bagaimana foto itu bisa sampai ke media?
Dengan tangan gemetar, dia scroll. Artikel itu detail—terlalu detail. Menyebutkan nama Kiran Anindita, posisinya sebagai kepala marketing, timeline affair yang diduga sudah berlangsung "hampir dua tahun", bahkan menyebutkan penggunaan apartemen SCBD dan perjalanan ke Bali yang didanai dengan "dana yang masih diselidiki sumbernya".
Dan yang paling menghancurkan—ada quote dari "sumber dekat keluarga" yang bilang: _"Istri Gavin, Larasati, sudah lama curiga tapi memilih diam demi menjaga image keluarga. Tapi sekarang, setelah bukti tidak bisa disangkal lagi, pernikahan mereka officially berakhir."_
"Ya Allah..." bisik Larasati, merasa seluruh tubuhnya dingin.
Dhara yang melihat perubahan di wajah putrinya langsung mendekat. "Lara? Ada apa?"
Larasati tidak bisa bicara—hanya menyerahkan ponselnya pada ibunya. Dhara baca dengan cepat, wajahnya berubah dari khawatir menjadi marah.
"Siapa yang bocorkan ini?" tanya Dhara, suaranya keras. "Siapa yang punya akses ke informasi sedetail ini?"
Larasati menggeleng, pikirannya berputar. Ziva tidak mungkin—dia loyal dan tidak punya alasan. Julian juga tidak—dia sudah bilang akan support Larasati, bukan menghancurkan kakaknya di media. Reza... tidak, Reza tidak akan.
Lalu siapa?
Ponselnya berdering lagi—kali ini bukan Reza. Nomor tidak dikenal.
Dengan ragu, Larasati angkat. "Halo?"
"Ibu Larasati Narendra?" Suara perempuan, profesional, sedikit terlalu eager. "Saya dari Jakarta Insider. Kami sedang mengcover skandal suami Ibu. Apakah Ibu bersedia memberikan statement? Kami ingin tahu sisi cerita Ibu—"
Larasati tutup telepon dengan cepat, napasnya memburu. Tapi sebelum dia bisa recover, ponsel berdering lagi. Nomor berbeda.
"Ibu Larasati? Saya reporter dari—"
Tutup lagi.
Dering lagi.
Tutup.
Dering. Dering. Dering.
"Matikan ponselmu," kata Dhara firm, mengambil ponsel dari tangan putrinya yang gemetar. "Matikan sekarang. Mereka seperti hiu yang mencium darah. Kalau kamu jawab satu, yang lain akan lebih aggressive."
Dhara matikan ponsel Larasati, lalu ponselnya sendiri juga. "Kita perlu lawyer. Sekarang. Bukan cuma divorce lawyer—tapi PR lawyer. Ini sudah jadi public scandal, sayang. Dan kamu perlu protection."
---
Di Jakarta, di kantor Narendra Group lantai 28 dengan view spectacular yang biasanya jadi sumber pride, Gavin duduk di kursi CEO-nya yang mewah sambil menatap layar laptop dengan wajah yang semakin pucat setiap detik.
Artikel demi artikel muncul—tidak hanya di blog gosip atau tabloid murahan, tapi di media bisnis terkemuka. Bloomberg Indonesia. Forbes Indonesia. Bahkan The Jakarta Post punya mention tentang "corporate scandal yang mengguncang salah satu perusahaan keluarga terbesar di Indonesia."
Emailnya meledak. Phone di mejanya berbunyi tanpa henti. Asisten pribadinya—Dian, perempuan efisien berusia empat puluh tahun yang sudah bekerja untuk Narendra Group selama lima belas tahun—masuk dengan wajah yang stress.
"Pak Gavin," katanya dengan suara yang mencoba tenang tapi gagal, "board of directors meminta emergency meeting jam dua siang ini. Pak Saka—maksud saya, ayah Bapak—sudah dalam perjalanan ke kantor. Dan... dan departemen PR dibanjiri telepon dari media. Mereka semua mau statement resmi."
Gavin tidak bisa bicara. Tenggorokannya terasa seperti dicekik.
"Dan Pak," Dian melanjutkan, ragu, "saham kita turun hampir tujuh persen sejak pasar buka pagi ini. Beberapa klien menelepon untuk... untuk 'reconsider' kontrak yang sedang berjalan. Mereka bilang mereka perlu 'evaluate business relationship dengan perusahaan yang memiliki leadership integrity issues.'"
Tujuh persen. Dalam tiga jam.
Itu berarti miliaran rupiah menguap—hanya karena skandal personalnya.
"Sir?" Dian masih berdiri, menunggu instruksi.
"Aku... aku perlu waktu," kata Gavin akhirnya, suaranya serak. "Cancel semua meeting pagi ini. Bilang aku... bilang aku sedang handle situasi ini."
Dian mengangguk dan keluar, menutup pintu dengan lembut.
Saat sendirian, Gavin remas kepalanya dengan kedua tangan. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana informasi sedetail ini bisa bocor? Siapa yang—
Ponselnya berbunyi. Nomor ayahnya.
Dengan tangan gemetar, Gavin angkat. "Pak—"
"Kantor. Sekarang." Suara ayahnya tidak meninggalkan ruang untuk argue. "Ruang meeting utama. Kamu punya sepuluh menit untuk sampai."
Line mati.
Gavin berdiri dengan kaki yang tidak stabil, merapikan jas yang tiba-tiba terasa terlalu ketat, dan berjalan ke ruang meeting dengan perasaan seperti terpidana yang berjalan ke tiang gantungan.
---
Ruang meeting utama biasanya dipakai untuk client presentations atau annual shareholder meetings—ruangan besar dengan meja panjang yang bisa menampung dua puluh orang, layar projector di dinding, dan window floor-to-ceiling dengan view kota yang bikin siapapun merasa powerful.
Tapi hari ini, Gavin merasa sangat kecil saat masuk dan melihat siapa yang menunggu.
Ayahnya—Saka Adipratama Narendra, pendiri dan chairman Narendra Group—duduk di ujung meja dengan wajah yang keras seperti batu. Di sampingnya, Ibunya—Kartika Narendra, perempuan elegant yang selalu punya postur sempurna—duduk dengan tangan terkatup dan mata yang menunjukkan kekecewaan yang dalam.
Dan di sepanjang meja: lima dari tujuh board members, termasuk dua investor eksternal yang wajahnya Gavin kenal tapi tidak pernah suka.
Semua menatap Gavin saat dia masuk.
"Duduk," perintah ayahnya, menunjuk kursi di ujung yang berlawanan—posisi di mana biasanya orang yang di-interrogate duduk.
Gavin duduk, merasa seperti anak kecil yang dipanggil ke ruang kepala sekolah, bukan CEO berusia tiga puluh delapan tahun.
"Apa yang sudah kamu lakukan?" ayahnya tidak buang waktu dengan pleasantries. "Apa yang sudah kamu lakukan pada perusahaan ini, Gavin?"
"Pak, aku bisa jelaskan—"
"Jelaskan apa?" potong salah satu board member—Pak Budi, investor yang sudah dengan Narendra Group sejak awal. "Jelaskan bagaimana kamu selingkuh dengan karyawan sendiri? Jelaskan bagaimana kamu gunakan sumber daya perusahaan untuk affair? Jelaskan bagaimana dalam tiga jam, nama perusahaan yang kami bangun selama tiga puluh tahun jadi bahan gosip nasional?"
"Aku tidak gunakan dana perusahaan untuk—"
"Media bilang kamu pakai company credit card untuk booking hotel dan travel!" bentak Pak Budi. "Itu benar atau tidak?"
Gavin terdiam. Karena itu... itu technically benar. Dia memang kadang pakai corporate card untuk convenience, dengan planning untuk reimburse nanti. Tapi dia belum sempat reimburse semuanya sebelum scandal pecah.
"Tujuh persen," kata Ibu Kartika tiba-tiba, suaranya tenang tapi membawa weight yang lebih berat dari teriakan. "Saham kita turun tujuh persen, Gavin. Itu bukan hanya angka. Itu kepercayaan investor yang hilang. Itu reputation yang hancur. Itu nama keluarga yang kamu nodai."
"Ibu, maafkan aku," bisik Gavin, air mata mulai menggenang. "Aku tidak bermaksud untuk—"
"Tidak bermaksud?" Kartika berdiri, berjalan mendekat dengan langkah yang terukur. Dan di depan semua board members, di depan ayahnya, ibunya melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya dalam hidup Gavin:
Dia menampar anaknya.
Tidak keras—Kartika bukan tipe yang violent. Tapi tamparan itu carried weight dari bertahun-tahun mengajarkan nilai, integrity, dan tanggung jawab yang Gavin buang begitu saja untuk affair.
"Kamu memalukan keluarga ini," bisik Kartika, air mata mengalir di pipinya—pertama kali Gavin melihat ibunya menangis sejak ayah mereka dulu sakit keras. "Kamu memalukan nama Narendra. Dan yang paling menyakitkan—kamu memalukan Larasati dan Abimanyu. Perempuan yang memberikan segalanya untuk kamu, dan anak yang tidak tahu kenapa papanya memilih menghancurkan keluarganya."
Gavin tidak bisa menjawab. Pipinya menyengat—tapi tidak sebanding dengan rasa sakit di dadanya.
Kartika kembali ke kursinya, mengusap air mata dengan tissue yang Saka berikan.
"Ini keputusan board," kata Saka, suaranya official sekarang—bukan sebagai ayah, tapi sebagai chairman. "Efektif hari ini, kamu di-suspend dari posisi CEO untuk jangka waktu yang belum ditentukan. COO akan mengambil alih operasional harian. Kamu akan cooperate penuh dengan investigasi internal tentang penggunaan dana perusahaan. Dan kamu akan membuat public statement—ditulis oleh PR team kami—untuk apologize dan clarify situasi."
Suspended. Kata itu bergema di kepala Gavin.
"Pak, please—" Gavin mencoba berdiri tapi ayahnya angkat tangan.
"Ini bukan negotiable, Gavin. Ini sudah diputuskan oleh majority board. Kamu beruntung kami tidak fire kamu completely—dan itu hanya karena kamu anak kami dan karena kami masih berharap kamu bisa redeem yourself. Tapi kalau investigation menemukan misappropriation dana yang significant, atau kalau scandal ini makin buruk dan affect bottom line lebih jauh... kami tidak punya pilihan."
Gavin jatuh duduk lagi, dunianya benar-benar runtuh sekarang.
"Meeting selesai," kata Saka, berdiri. "Gavin, kamu punya dua puluh menit untuk clear personal items dari office. Security akan escort kamu. Dan Gavin—" ayahnya berhenti di pintu, menatap anaknya dengan tatapan yang mix dari kekecewaan dan sesuatu yang mungkin—mungkin—masih simpati, "—fix ini. Fix keluargamu. Fix reputasimu. Atau kamu akan kehilangan segalanya."
---
Dua puluh menit kemudian, Gavin berjalan keluar dari gedung Narendra Group—gedung yang namanya tertera besar di depan, gedung yang dia pikir akan jadi legacy-nya—dengan kardus kecil berisi foto keluarga dan beberapa personal items, di-escort oleh security seperti criminal.
Karyawan menatap saat dia lewat. Beberapa dengan simpati, kebanyakan dengan judgment. Bisikan mengikuti setiap langkahnya.
"Itu dia..."
"Tidak menyangka CEO kita tipe seperti itu..."
"Kasihan istrinya..."
Di parkiran, Gavin duduk di mobilnya dengan kardus di pangkuan, menatap kosong pada dashboard.
Dia kehilangan pekerjaannya—atau setidaknya di-suspend, yang hampir sama. Dia kehilangan respect dari keluarganya. Nama baiknya hancur di media. Dan sekarang...
Ponselnya. Dia perlu bicara dengan Larasati.
Dengan tangan gemetar, dia telepon nomor yang sudah dia hafal di luar kepala selama delapan tahun.
Dering sekali. Dua kali. Tiga kali.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan—"
Larasati matikan ponselnya. Dia benar-benar cut off semua komunikasi.
Gavin coba lagi. Dan lagi. Hasil yang sama.
Akhirnya, dia kirim text—meski tahu Larasati tidak akan baca sampai dia nyalakan ponsel lagi:
_"Lara, please. Aku tahu aku tidak deserve ini, tapi aku mohon. Aku butuh kamu sekarang. Media everywhere. Company suspend aku. Aku butuh kamu berdiri di sampingku—at least di depan media. Please. Demi Abi. Demi keluarga kita. Demi semua yang pernah kita punya. Aku mohon."_
Sent. Tapi tidak delivered—karena ponsel Larasati off.
Gavin melempar ponselnya ke dashboard, frustrasi dan putus asa bercampur jadi satu.
Lalu dia ingat—rumah. Dia bisa datang ke rumah. Larasati tidak bisa avoid dia selamanya.
Dengan sisa harapan yang tipis, Gavin nyalakan mesin dan menyetir ke rumah yang dulunya jadi miliknya, sekarang terasa seperti fortress yang dia tidak bisa tembus.
---
Rumah terlihat sepi saat Gavin sampai. Tidak ada mobil Larasati di garasi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Dia coba buka pintu dengan kunci yang masih dia punya—tapi kunci tidak cocok. Larasati ganti gembok.
Dia ketuk pintu. "Lara! Lara, aku tahu kamu di dalam! Please, kita perlu bicara!"
Tidak ada jawaban.
Dia ketuk lebih keras. "LARA! INI PENTING! MEDIA EVERYWHERE! KITA PERLU KOORDINASI CERITA KITA! LARA!"
Pintu tetangga sebelah terbuka—Bu Dina, tetangga yang selalu friendly tapi gossipy. "Pak Gavin?" katanya dengan nada yang too sweet. "Ibu Larasati tidak ada di rumah. Saya lihat dia pergi kemarin dengan seorang pria—" pause yang deliberate, "—dan belum kembali."
Pria. Reza.
Sesuatu di dada Gavin pecah lagi. Larasati pergi dengan Reza. Di tengah scandal ini, saat Gavin paling butuh, dia pergi dengan pria lain.
"Terima kasih, Bu," kata Gavin dengan suara yang hampir tidak terdengar, lalu kembali ke mobilnya.
Dia duduk di driver seat, menatap rumah yang tidak bisa dia masuki, dan finally—finally—realisasi penuh menghantam:
Dia kehilangan segalanya.
Dia kehilangan istrinya. Pekerjaannya. Respect keluarganya. Nama baiknya. Dan sekarang, bahkan akses ke rumahnya sendiri.
Semua karena pilihan-pilihan yang dia buat. Semua karena dia pikir dia bisa punya segalanya tanpa konsekuensi.
Di tengah kehancuran total, ponselnya berbunyi—bukan dari Larasati, tapi dari nomor yang membuat perutnya jatuh:
Kantor PR Narendra Group.
"Pak Gavin, ini Sinta dari PR. Kita perlu schedule konferensi pers untuk besok. Media pressure terlalu besar. Kita tidak bisa diam lagi. Dan pak... kita strong recommend Ibu Larasati hadir. Public mau lihat unity keluarga. Mereka mau lihat bahwa ini bisa diselesaikan. Tanpa Ibu Larasati... narrative akan jadi 'marriage benar-benar hancur dan Pak Gavin yang salah.'"
"Tapi itu memang yang terjadi," bisik Gavin, too tired untuk bohong lagi.
Pause di line. "Pak, demi company, demi legacy keluarga Bapak... kita perlu at least appearance of reconciliation. Please bujuk Ibu Larasati untuk hadir besok."
Gavin tertawa—suara yang tidak ada humor, hanya kepahitan. "Aku tidak bisa reach dia. Dia matikan ponselnya. Dia ganti gembok rumah. Dia... dia pergi."
"Lalu kita punya masalah besar, Pak," kata Sinta dengan nada yang worried. "Karena tanpa Ibu Larasati, media akan assume the worst. Dan public opinion... public opinion akan total against Bapak."
Line mati.
Dan Gavin duduk di mobilnya di depan rumah yang tidak bisa dia masuki, menatap kehancuran yang dia ciptakan sendiri, dan realize:
Ini baru permulaan.
Media baru mulai. Public opinion baru mulai form. Dan yang paling menakutkan—orang-orang akan mulai bertanya:
Di mana istrinya? Kenapa dia tidak berdiri di samping suaminya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Dan saat mereka tidak dapat jawaban dari Larasati, mereka akan create narrative sendiri.
Gavin perlu Larasati. Desperate.
Tapi Larasati—Larasati sudah pergi. Dan dia tidak tahu kalau dia akan kembali.
---
**Bersambung