Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. LUKA YANG TERSEMBUNYI
..."Di antara aroma roti panggang dan luka yang belum sembuh, dua jiwa belajar bahwa kadang, cara paling lembut untuk mencintai adalah dengan berani membuka luka, bukan untuk diingat, tapi untuk akhirnya disembuh bersama."...
...---•---...
Pagi ini, Doni bangun lebih awal dari biasanya. Pukul tiga dini hari, terlalu pagi bahkan untuk seorang koki. Dia terbangun dari mimpi yang sama seperti sebulan terakhir: api. Api merah yang panas dan melahap segalanya. Suara Sari yang berteriak dari dalam gedung yang terbakar, dan dia di luar, tidak bisa masuk, tidak bisa menyelamatkan.
Dia terbangun dengan keringat dingin.
Duduk di tepi tempat tidur, kaosnya basah, napas tersengal. Tangannya gemetar saat menyalakan lampu. Lima tahun sudah berlalu, tapi mimpi buruk itu tidak pernah benar-benar hilang. Hanya tertidur, menunggu momen lemah untuk kembali muncul.
Dia tidak bisa tidur lagi. Tidak setelah mimpi seperti itu. Jadi dia mandi, berganti pakaian, lalu turun ke dapur. Mungkin memasak akan menenangkan. Memasak memang selalu menenangkan.
Tapi pagi ini, tangannya masih gemetar saat mengupas bawang. Pisau hampir terlepas dua kali. Fokusnya buyar, pikirannya kembali ke malam itu lima tahun lalu.
Dia sedang mencoba menenangkan diri ketika mendengar langkah kaki. Naira turun lebih awal dari biasanya, memakai kardigan krem kebesaran dan legging hitam. Rambutnya diikat asal, sanggul berantakan yang hampir lepas. Kantung matanya gelap, kelopaknya sembap. Tapi alisnya berkerut begitu melihat Doni, bibirnya terbuka sedikit.
"Tidak bisa tidur juga?" tanyanya sambil berjalan masuk. Lalu dia melihat ekspresi Doni, cara tangannya mencengkeram meja dapur. "Doni? Ada apa?"
"Tidak apa-apa." Doni mencoba tersenyum, tapi sudut bibirnya tidak mau terangkat. "Cuma mimpi buruk."
Naira berjalan mendekat, matanya meneliti dengan lembut. "Tentang Sari?"
Doni mengangguk, tidak percaya diri untuk bicara. Tenggorokannya terasa tersumbat.
"Duduk," ucap Naira, menarik kursi di meja dapur. "Aku yang masak pagi ini."
"Kamu tidak perlu..."
"Doni, kamu sudah masak buatku setiap hari selama sebulan. Sekali ini biar aku gantian, ya?" Naira sudah mengambil celemek dan memakainya dengan gerakan yang kini mulai terbiasa. "Lagi pula, kamu sudah cukup banyak mengajariku. Aku bisa urus sarapan sederhana."
Doni terlalu lelah untuk membantah. Dia duduk dan memperhatikan Naira bergerak di dapur dengan percaya diri yang dulu belum pernah ada. Dia mengambil telur dari kulkas, roti, mentega, lalu melirik bahan lain yang tersedia.
"French toast?" Dia menoleh ke Doni. "Kamu pernah bilang itu comfort foodmu."
"Kamu ingat?"
"Aku ingat semua yang kamu ceritakan." Naira mulai mengocok telur dalam mangkuk, menambahkan susu, vanila, dan sedikit kayu manis. Gerakannya belum seluwes Doni, tapi ada kehati-hatian dan ketulusan di sana. "Ceritakan ke aku. Tentang mimpi buruk itu."
Doni terdiam sejenak, menimbang apakah dia siap membuka luka yang selama ini disembunyikan. Tapi melihat Naira yang sudah berani membuka lukanya sendiri, rasanya tidak adil kalau dia tetap diam.
"Malam itu," suaranya pelan, dan tangannya mencengkeram tepi meja lebih erat. "Kami lagi persiapan tengah malam di restoran pertama kami. Restoran kecil di kawasan Riau, sewa tempat murah karena cuma itu yang kami sanggupi. Bangunan tua, instalasi listriknya juga... ya, seadanya."
Naira mencelupkan roti ke campuran telur sambil memanaskan wajan dan menambahkan mentega. Dia fokus, tapi tetap mendengarkan.
"Sari lagi di ruang penyimpanan di belakang, ambil stok bumbu. Aku di dapur depan, lagi persiapan untuk besok. Lalu aku dengar suara kayak ledakan kecil."
Tangannya tiba-tiba terasa panas. Bukan panas yang nyata, tapi ingatan hantu yang masih hidup di kulitnya. Seperti api sedang menjilat punggungnya lagi, perlahan, kelaparan.
"Listriknya korslet di ruang penyimpanan. Api langsung menjalar, cepat sekali. Bangunannya tua, banyak kayu, bahan-bahan gampang terbakar."
Suara mendesis dari wajan berisi roti menyelip di antara keheningan. Naira membalik roti itu perlahan, lembut, tidak ditekan. Tangannya bergerak stabil, tapi matanya sesekali melirik Doni.
Doni menarik napas yang tidak rata. Dadanya naik turun lebih cepat. Keringat mulai muncul di pelipisnya meski udara pagi masih dingin.
"Aku teriak manggil Sari, lari ke belakang. Tapi apinya sudah terlalu besar."
Bau asap. Tiba-tiba dia mencium bau asap lagi, hitam, tebal, mencekik. Bukan asap dari sekarang. Asap dari lima tahun lalu yang entah bagaimana masih tertahan di paru-parunya.
"Asap hitam tebal, tidak bisa lihat apa-apa. Aku coba masuk, tapi api menutup jalan." Napasnya mulai pendek-pendek. "Aku dengar dia teriak minta tolong, tapi aku tidak bisa sampai ke sana."
Naira mematikan kompor. Diam sejenak, tangannya masih memegang spatula. Dia menatap roti yang sudah matang, kuning keemasan, sempurna lalu menatap Doni. Ada keputusan yang terbentuk di matanya.
Dia meletakkan spatula.
"Orang-orang narik aku keluar, bilang terlalu bahaya. Pemadam datang sepuluh menit kemudian, tapi sudah terlambat. Waktu mereka menemukan Sari, dia sudah..."
Suara Doni mulai bergetar, tangannya mengepal di atas meja sampai buku-buku jarinya memutih. Dia tidak sanggup melanjutkan. Sesuatu yang hangat menuruni pipinya. Dia tidak ingat kapan terakhir kali menangis tapi pagi ini, pertahanannya runtuh.
Naira berjalan ke arah Doni. Tanpa kata, dia memeluk dari belakang. Lengannya melingkar di leher Doni, dagunya bertumpu di bahunya. Hangatnya tubuh Naira terasa menenangkan, aroma sampo lavendernya samar.
"Itu bukan salahmu," bisiknya.
Doni menutup mata, membiarkan air mata mengalir. "Tapi aku yang selamat. Kenapa aku, bukan dia? Dia koki yang lebih baik. Orang yang lebih baik. Kenapa dunia memilihku, bukan dia?"
"Karena dunia tidak bekerja seperti itu." Naira melepas satu tangannya, mengusap pipi Doni dengan ibu jari. Gerakan lembut, menyapu air mata yang masih turun. "Tidak ada yang pantas atau tidak pantas."
Doni membuka mata. Tangannya naik, menyentuh tangan Naira yang masih di pipinya.
"Kadang hal buruk terjadi ke orang baik," lanjut Naira pelan. "Itu bukan tentang siapa yang lebih layak hidup. Kamu selamat bukan buat menyiksa diri dengan rasa bersalah. Kamu selamat buat meneruskan apa yang kalian mulai. Buat menghormati memorinya dengan terus hidup."
"Aku tidak tahu gimana caranya hidup tanpa rasa bersalah."
"Dengan mengizinkan diri kamu bahagia lagi." Naira mengeratkan pelukannya. "Dengan percaya kalau maju bukan berarti mengkhianati."
Keheningan mengisi dapur. Hanya suara napas mereka yang perlahan mulai tenang.
Lalu Naira melepas pelukan, berjalan ke depan Doni, dan berlutut agar mata mereka sejajar. "Doni, boleh aku lihat luka di punggungmu?"
Doni membeku. Luka bakar di punggungnya adalah rahasia yang selalu dia simpan. Dia selalu mengenakan kemeja panjang, bahkan di dapur yang panas. Tidak ada yang pernah melihatnya kecuali dokter dan Sari dulu.
"Kenapa?"
"Karena aku mau tahu. Karena luka itu bagian dari ceritamu, dan aku mau tahu semua ceritamu." Tatapan Naira tidak berkedip, tidak bergeser. Matanya tidak menyimpan jejak belas kasihan hanya kesabaran. "Kamu sudah lihat lukaku. Yang dari Rendra. Sekarang adil kalau aku lihat lukamu."
Doni ragu, tapi ada sesuatu di cara Naira menatapnya seakan mengatakan: aku tidak akan lari yang membuatnya merasa aman. Perlahan, dia berdiri, melepas kemejanya. Kaos putih di bawahnya dia lepaskan juga, lalu berbalik membelakangi Naira.
Dia mendengar Naira menarik napas pelan, seperti sedang menyiapkan mental untuk sesuatu yang akan menyakitkan untuk dilihat.
...---•---...
...Bersambung...