Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MJW 31
Hasan membukakan pintu untuk Luna. Lengan Hasan melindunginya kepala Luna membuat Luna menahan nafas di tengah kegugupannya.
Hasan tetap tenang seolah dia tidak tau setiap tindakannya selalu membuat Luna jantungan.
Tidak lama kemudian Hasan sudah masuk ke dalam mobilnya. Dia menatap Luna yang sudah mengenakan seatbeltnya.
"Hasan....," cicit Luna pelan.
"Ya?" Hasan menoleh sambil mengenakan seatbeltnya.Tatap teduhnya menyapu pipi merona Luna.
"Kita langsung ke rumah kamu?" tanya Luna dengan degup jantung yang semakin cepat.
"Iya."
"Emm.... Kita mampir ke toko kue dulu, ya." Dia belum membeli buah tangan buat keluarga Hasan.
"Oke. Dimana?"
Luna memberikan lokasinya lewat pesan ke nomer Hasan.
Hasan mengangguk drngan bibir masih tetap tersenyum lembut. Tatap teduhnya masih menatap Luna.
"San, dosa loh. Sana lihat ke arah lain." Reflek Luna karena grogi mendorong rahang Hasan.
Hasan tertawa pelan.
Luna tersadar dan menarik tangannya cepat cepat.
"Maaf, bukan muhrim." Pipi Luna merona karena malu. Kebiasaan dia dengan sepupu sepupunya kebawa saat bersama Hasan.
"Belum. Bentar lagi dihalalkan," jawab Hasan di sela tawanya.
Luna mencebikkan bibirnya tanpa mau memandang Hasan. Debar jantungnya makin menjadi saja.
Hasan menghidupkan mesin mobilnya.Tapi sebelum mobil dijalankan, dia sempat mengucapkan kalimat yang membuat Luna makin malu dan salah tingkah. Tubuhnya juga sudah semakin ringan saja, mau terbang menerobos kaca mobil Hasan.
"Kamu cantik banget. Terimakasih, ya."
Kenapa dia berterimakasih? batin Luna bertanya, tapi dia tidak menjawab apa pun sampai Hasan menjalankan mobilnya. Padahal Luna juga ingin memuji kalo Hasan juga lebih tampan dari biasanya. Tapi lidahnya terasa kaku.
*
*
*
"Kata Hasan, dia sedang menjemput Luna," ucap Ali Wahab sambil menatap istrinya yang sedang sibuk menata meja makan.
"Oh iya, abi. Menurut abi, sajian ini sudah cukup pantas, kan?" tanya Siri Azizah sambil melihat meja makan yang sudah penuh dengan menu makan yang cukup berat.
Istrinya berpikir Hasan dan Luna pasti merasa lapar karena lelah bekerja seharian.
"Lebih dari pantas. Umi masak cukup banyak." Ali Wahab tersenyum lembut pada istrinya.
"Aku bahkan masak ayam balado yang pedas khusus untuk Luna. Karena sepertinya calon yang disukai Hasan menyukai masakan pedas." Siti Azizah tertawa setelah mengatakannya.
"Mereka bertolak belakang sekali soal selera makan. Sama seperti kita," respon Ali Wahab dengan tawa lepasnya. Istinya penyuka makanan pedas, tapi dia kebalikannya. Sayangnya kedua anaknya juga tidak menyukai makanan pedas.
"Aku jadi bimbang, belum apa apa aku sudah menyukai gadis itu." Siti Azizah menatap suaminya bingung. Dari kedua orang tuanya tidak ada.masalah tentang calon Hasan. Tapi yang dia khawatirkan dari orang tua suaminya.
"Tidak apa apa. Hasan sepertinya sulit digoyahkan. Aku akan membujuk orang tuaku nanti," jawab Ali Wahab menenangkan.
"Membujuk apa?" Terdengar suara berat menyapa.
DEG DEG
"Abi.... Umi....." Dalam kagetnya Siti Azizah dan suaminya mematung beberapa jenak.
'Rupanya kalian di dalam sini. Tadi abi dan umi mengucapkan salan berkali kali tapi tidak disahutin," ucap nenek Hasan-Nyai Hafiza dengan suara ramahnya sambil menatap hidangan yang ada di atas meja dengan penuh binar.
"Maaf, abi, umi," sahut Ali Wahab dan istrinya serentak dengan jantung yang berdebar cepat. Mereka segera bergantian menyalimi kedua orang sepuh itu.
"Kenapa abi dan umi tidak mengabari. Ali bisa jemput," tanya Ali Wahab sambil melirik wajah pias istrinya.
Ini di luar dugaan mereka.
"Tidak apa apa, Ali. Oh ya, siapa yang kalian undang, sampai kamu memasak sebanyak ini, Siti?" tanya Nyai Hafiza.
"Laila dan keluarganya, kah?" sambungnya lagi.
Siti Azizah merapat pada suaminya. Orang tua suaminya kini menatap penuh binar harapan.
"Bukan, umi," jawab Ali Wahab pelan.
"Teman kamu?" tanya Kyai Mukhtar. Sudah biasa teman teman mereka dari pondok.yang lain datang berkunjung.
Hening. Ali Wahab menarik nafas dalam.
"Teman Hasan, bi."
"Oooh." Secercah senyum menguak di bibir orang tuanya.
"Teman istimewa."
Senyum itu hilang dan wajah keduanya berubah penuh tanya.
*
*
*
"Jadi Hasan sudah punya calon sendiri?" tanya Kyai Muhktar. Setelah kebingungan tadi, mereka kini duduk di ruang tamu dalam suasana tegang.
Istrinya sudah beberapa kali meneguk teh hangat yang diberikan menantunya demi menenangkan perasaannya.
Dia tidak menyangka kalo Hasan akan menolak Laila dan memiliki calon lain.
"Aku dan Siti juga baru tau beberapa hari ini. Kami bermaksud mengatakan ini saat abi dan umi datang," jelas Ali Wahab sementara istrinya duduk di sampingnya dengan perasaan semakin tidak tenang.
Kyai Mukhktar menghela nafas panjang.
"Padahal rencananya besok kita akan melamar Laila. Kenapa bisa jadi begini."
DEG DEG
Siti Azizah makin tidak tenang.
"Kenapa Hasan tiba tiba berubah pikiran. Kalo umi boleh tau, siapa gadis itu? Anak kyai mana? Umi dan abi kenal? Ini terlalu mendadak," tanya Nyai Hafiza dengan beberapa pertanyaan sekaligus.
"Teman SMAnya dulu, umi. Laila juga kenal." Siti Azizah kali ini membantu suaminya menjawab pertanyaan ibu mertuanya.
"Hasan menjalin hubungan selama itu?" Kyai Mukhtar terkejut.
"Tidak, abi. Mereke baru saja bertemu lagi.Tapi kata Hasan, dia sudah menyukai gadis itu sejak lama," jelas Ali Wahab agar abinya tidak salah paham dan menuduh putranya yang tidak tidak.
Terlihat kedua orang tuanya melepaskan nafas panjang.
"Tapi kenapa Hasan tidak cerita?" sesal Nyai Hafiza tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.
"Katanya Hasan sudah pernah mengatakan penolakannya pada Laila. Hasan mengira Laila sudah menyampaikan pada orang tuanya."
Kembali kedua orang tua Ali Wahab terkejut.
"Tapi rupanya tidak," tukas Ali Wahab lagi. Hening lagi.
"Jadi gadis yang disukai Hasan, anak kyai mana?" Seingat Kyai Mukhtar, banyak juga anak teman temannya yang bersekolah di SMA Hasan.
Hening lagi. Sambil menggenggam tangan istrinya, Kyai Mukhtar menjawab pertanyaan abinya dengan suara tenang ditengah kegugupannya.
"Cucunya Airlangga Wisesa."
*
*
*
Luna semakin deg degan ketika memasuki halaman pondok Hasan. Ini adalah pertama kali untuknya memasuki tempat kediaman Hasan.
"Hasan," panggil Luna sambil mengeluarkan scarf dari dalam tasnya.
Hasan menatapnya sambil melepaskan seatbeltnya.
"Ada apa?" Dia melihat scarft di tangan Luna.
"Aku pake ini, ya?" Luna menunjukkan scarfnya
"Boleh."
Dengan agak canggung, Luna mengenakan scarft polos itu seperti kerudung di bawah tatapan Hasan.
"Ngga apa kayak gini?" Seumur umur, baru kali ini Luna berpenampilan seperti ini. Dia sangat tidak percaya diri.
Luna menunjukkan tampilannya pada Hasan setelah mematut diriya di cermin kecilnya yang khusus dia bawa. Baru kali ini juga dia menjadi cewe ribet dengan memperhatikan penampilannya.
Hasan terpaku. Kemudian dia mengangguk dengan jantung yang berdebar kencang.
"Tambah cantik kalo kayak gini."
"Kamu itu, kenapa jadi tukang gombal sekarang.".Dengan wajah malu malu Luna cepat membuka pintu mobilnya.
Hasan melipat bibirnya menahan senyum sambil membuka pintu mobilnya juga.
beruntungnya kamu luna.
malu malu tapi mau 🤭🤭🤭