Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.24 Kembali Kelembah Seribu Pedang
Kabut malam merayap pelan di sepanjang tebing. Langit memerah di ufuk barat, dan angin yang berembus dari lembah membawa aroma besi dan debu masa lalu.
Di tengah jalur batu yang remuk oleh waktu, Xio Lun melangkah perlahan. Setiap langkahnya menimbulkan gema panjang, seolah lembah itu mengingat siapa yang datang kembali setelah bertahun-tahun.
Mutiara Teratai Ilahi yang kini menyatu dengan tubuhnya berdenyut lembut di dada, seperti kompas yang menuntun arah.
Di dalam pikirannya, suara Dewa Perang Xian Wu terdengar samar—dalam, dingin, namun penuh keyakinan.
“Teruslah melangkah, Xio Lun. Lembah itu sudah memanggilmu.”
Xio Lun menatap jauh ke arah kabut tebal yang menyelimuti tempat Lembah Seribu Pedang bersemayam.
Dari sinilah semuanya bermula—dan di sinilah, segalanya akan berakhir.
Malam semakin dalam, dan di antara langkahnya, kenangan lama terurai dalam pikirannya—bagian-bagian masa lalu yang kini terhubung membentuk kebenaran utuh.
Ayahnya, Xio Wu, dulu menjabat sebagai patriak sementara klan Lembah Seribu Pedang.
Saat itu, patriak lembah seribu pedang, ayah Xio Wu, tengah menjalani kultivasi tertutup di Lembah Suci Seribu Pedang, tempat yang dipercaya menyimpan energi dewa kuno.
Namun, bertahun-tahun kemudian, muncul kabar mengejutkan dari dalam klan:
“Patriak kita gagal dalam kultivasi! Arwahnya hancur! Lembah Suci kini terkutuk!”
Kabar itu disebarkan oleh satu nama yang kala itu sangat dihormati: Yumeng, tetua utama klan dan pengurus dewan kehormatan.
Maka, klan berduka. Dan ketika Xio Wu—ayah Xio Lun—menyatakan keinginannya untuk menyelidiki langsung ke lembah suci, Yumeng menentangnya habis-habisan.
“Tidak, Xio Wu! Lembah itu telah dikutuk. Langit menolak siapapun yang menginjakan kakinya di sana!”
“Kau ingin mengulang kesalahan ayahmu?”
Namun Xio Wu bukan pria yang mudah diyakinkan oleh rumor. Dalam diam, ia menyelidiki dan menemukan serpihan energi segel yang tidak berasal dari kutukan alam, melainkan segel buatan manusia.
Malam itu, diam-diam ia menyelinap ke lembah dengan membawa pedang hitam kecil peninggalan patriak sejati—ayahnya.
Dan di sanalah ia menemukan segel Dewa—bukan kutukan.
“Ini bukan kutukan alam,” katanya pada dirinya sendiri.
“Ini buatan seseorang… seseorang yang ingin menyembunyikan sesuatu.”
Namun sebelum ia sempat memecah segel itu, cahaya merah menyambar dari balik kabut. Yumeng datang bersama para tetua yang mendukungnya.
“Xio Wu,” ujar Yumeng dengan nada dingin, “kau telah melanggar larangan klan. Kau akan membawa kehancuran bagi semuanya.”
“Kau yang menyegel lembah ini, Yumeng!” balas Xio Wu lantang. “Apa yang kau sembunyikan di balik lembah suci?!”
Yumeng hanya tersenyum tipis.
“Kau tak akan hidup cukup lama untuk mengetahuinya.”
Pertarungan pun pecah di bawah cahaya bulan.
Lembah bergetar oleh benturan kekuatan dua kultivator tingkat langit, sementara para tetua yang berkhianat membantu Yumeng dalam diam.
Dan di akhir malam yang panjang itu, tubuh Xio Wu jatuh bersimbah darah di depan gerbang lembah suci.
Keesokan paginya, berita tersebar luas:
“Patriak sementara Xio Wu gugur dalam tugas suci menjaga kehormatan klan!”
Namun hanya satu orang yang tahu kebenarannya —
Lunting, istri Xio Wu ibu dari Xio Lun.
Lunting adalah perempuan lembut yang lahir dari adiknya ibu xin shi, ya g bernama Lun Shi putri kedua klan Bunga Persik.
Ia cerdas, berani, dan memiliki intuisi tajam.
Saat mendengar kabar kematian suaminya, hatinya menolak percaya.
“Wu tidak mungkin mati begitu saja. Dia bukan orang yang sembrono.”
Namun Yumeng menekan segala upaya penyelidikan. Semua catatan perjalanan Xio Wu dihapus, semua saksi menghilang.
Dan ketika Lunting mulai bersuara, ancaman datang tanpa henti.
“Jika kau mencampuri urusan klan lagi, maka anakmu akan menjadi korban.”
Demi keselamatan Xio Lun yang masih muda, Lunting memilih diam.
Tapi diam bukan berarti menyerah. Dalam gelap, ia menelusuri rahasia, mencari kebenaran,,,
Sampai suatu hari, Yumeng memanggil Xio Lun muda ke aula klan.
Di sana, dengan senyum penuh kepalsuan, ia memberikan sebuah gulungan misi.
“Xio Lun,” katanya dengan nada lembut, “kau memiliki bakat luar biasa. Pergilah ke Hutan Terlarang Utara. Temukan ‘batu inti pedang’ di sana. Itu akan menjadi ujian terakhirmu sebagai murid inti klan.”
Lunting yang mendengar itu langsung menolak.
“Tidak! Misi itu terlalu berbahaya untuk anak seumuran dia!”
Yumeng menatapnya dingin.
“Ini bukan permintaan, Lunting. Ini perintah dari dewan tetua. Lagipula, jika darah Xio Wu benar-benar mengalir di tubuhnya, ia pasti bisa kembali dengan selamat.”
Namun Lunting tahu kebenarannya. Ia tahu, hutan itu penuh jebakan. Dan yang lebih menakutkan — misi itu disiapkan untuk menyingkirkan Xio Lun.
Malam sebelum keberangkatan, ia memeluk putranya erat.
“Jangan pergi terlalu dalam ke hutan, Lun’er,” bisiknya.
“Jika kau merasa bahaya… lari sejauh mungkin.”
Xio Lun tersenyum polos waktu itu.
“Tenang saja, Ibu. Aku akan kembali membawa batu inti pedang itu.”
Namun setelah Xio Lun pergi, Lunting mengikuti diam-diam.
Sayangnya, ia juga dibuntuti oleh para tetua yang menjadi kaki tangan Yumeng.
Di perbatasan hutan, ia disergap.
Dengan paksa, para tetua itu menahannya menggunakan rantai segel spiritual.
“Nyonya Patriak,” ujar salah satu tetua dengan nada dingin, “perintah Yumeng jelas: kau tak boleh menghalangi urusan klan.”
“Kau tidak mengerti!” jerit Lunting. “Mereka akan membunuh anakku!”
“Mungkin begitu,” jawab mereka datar, “tapi itu adalah kehendak klan.”
Lunting mencoba melawan, namun kekuatannya tak sebanding.
Tubuhnya disegel dan dibawa pergi—ke tempat yang sama di mana suaminya dikubur dalam diam: Lembah Suci Seribu Pedang.
Kebenaran yang Terpendam
Kini, bertahun-tahun kemudian, di tempat yang sama—Xio Lun berdiri di ambang lembah itu.
Cahaya Mutiara Teratai Ilahi bergetar kuat, seolah memberi salam kepada sesuatu yang telah lama menunggu.
“Jadi di sinilah semua rahasia terkubur…” gumamnya.
Kabut mulai terbelah ketika energi dalam tubuhnya bergetar.
Dari dalam kabut, ribuan pedang yang tertancap di tanah bergetar halus, mengeluarkan suara berdenging seperti sambutan bagi pewaris darah sejati.
“Pedang-pedang ini mengenal darahmu,” ujar suara Dewa Perang di benaknya.
“Karena darahmu adalah darah patriak sejati lembah ini.”
Xio Lun mengerutkan kening.
“Apa maksudmu?”
Bayangan samar muncul di hadapannya—seorang pria tua berjanggut putih panjang, mengenakan jubah hitam dengan simbol naga di dada.
Matanya dalam, auranya menenangkan namun tak terbantahkan.
“Itu…”
“Kakekku…” bisik Xio Lun.
Dewa Perang mengangguk.
“Ya. Dialah Xio Tian, patriak sejati Lembah Seribu Pedang. Ayah dari ayah mu Xio Wu,
dan kakekmu. Dialah yang kusebut penjaga garis pewarisku,
“Yumeng menipumu . Ia menyegel kakekmu Xio Tian di lembah ini agar bisa menguasai klan tanpa perlawanan.”
Bayangan Xio Tian tersenyum lembut pada cucunya.
“Aku tahu kau akan datang, Lun’er. Karena darah sejati tak bisa dibungkam selamanya.”
Air mata menggenang di mata Xio Lun, tapi ia menahannya.
“Kakek…… Ibu… Aku akan membebaskan kalian semua.”
Dewa Perang tertawa rendah, penuh kekaguman.
“Kau akhirnya berbicara seperti pewaris sejati.”
Xio Lun melangkah maju, menancapkan serpihan pedang hitam kecil peninggalan ayahnya ke tanah di depan gerbang lembah.
Segera, cahaya hitam pekat menyembur dari celah tanah, menembus kabut.
Ribuan pedang yang tertancap di lembah itu bergetar serentak, seolah terbangun dari tidur panjangnya.
Gemuruh besar bergema, dan gerbang hitam di hadapan Xio Lun perlahan terbuka.
Dari balik gerbang, sinar biru gelap menyilaukan, menyingkap ruang besar penuh energi spiritual yang padat dan liar.
Di tengah ruang itu berdiri altar batu hitam dengan sebuah pintu berukir naga menjulang tinggi—dan di depannya, tubuh seorang wanita terbaring dalam segel cahaya merah.
“Ibu…” bisik Xio Lun lirih.
Lunting terbaring tenang, seolah tidur panjang.
Segel spiritual berlapis tujuh menahannya, dan setiap lapisan segel berisi simbol dari klan sendiri—bukti bahwa semua ini dilakukan dengan restu para tetua palsu.
“Mereka… menyegelnya di sini,” gumam Xio Lun dengan gigi terkatup rapat.
Dewa Perang berbicara pelan.
“Untuk membuka segel ini, kau butuh kekuatan penuh Pedang Kegelapan. Tapi berhati-hatilah—Yumeng pasti sudah merasakan getaran energimu.”
Xio Lun menatap ke arah langit yang kini berwarna merah pekat.
“Biar dia datang,” ucapnya dingin.
“Karena kali ini, akulah yang akan menghakiminya.”
Langit bergetar. Petir hitam menyambar di cakrawala.
Suara teriakan dan langkah kaki terdengar dari arah luar lembah.
“Cepat! Lembah itu terbuka!”
“Aura kutukan telah lenyap!”
Dari celah kabut muncul puluhan bayangan berjubah hitam dengan simbol bintang di dada mereka—tetua-tetua yang masih setia pada Yumeng.
Dan di antara mereka, berjalan perlahan, Patriak Yumeng sendiri—dengan senyum dingin dan mata tajam seperti pisau.
“Jadi benar, kau masih hidup, bocah sialan,” katanya dengan nada sinis.
“Dan lihatlah, kau membuka sendiri tempat terkutuk yang kubuat untuk menahan darah keluarga mu.”
Xio Lun menatapnya tajam, tidak menjawab.
Namun dalam genggamannya, Pedang Kegelapan mulai terbentuk dari bayangan di udara—seolah lembah itu menuruti panggilan darahnya.
“Yumeng…”
“Aku akan menebus darah ayahku… dan membebaskan ibuku…”
“Dengan darahmu.”
Langit seketika meledak oleh benturan dua kekuatan besar—
sebuah pertanda bahwa pertempuran penentu takdir tiga generasi klan Lembah Seribu Pedang telah dimulai.