Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SINDIRAN
Adit berdiri diam di bawah siraman shower, membiarkan air hangat menimpa wajah dan tubuhnya tanpa bergerak. Uap tipis memenuhi kamar mandi, mengaburkan kaca dan membuat ruang terasa sempit, seolah ikut menekan dadanya yang sejak tadi berat, semenjak ia pulang dan tahu bahwa bayi yang di kandung Nadia hasil dari paksaan sang paman.
Air mengalir deras di sisi pelipisnya, namun bukan itu yang membuatnya memejamkan mata—melainkan bayangan Nadia yang tadi menangis sampai tubuhnya gemetar. Kata-kata “aku mau mati” terus berputar di kepalanya, menusuk lebih dalam dari suhu air yang memeluk kulitnya.
Adit menumpukan satu tangan pada dinding marmer yang dingin, napasnya terputus-putus. Ada rasa iba yang tak bisa ia jelaskan, rasa panik yang datang begitu tiba-tiba dan kuatnya sampai membuat jantungnya berdegup tak teratur. Ia tak mengerti kenapa, tapi wajah Nadia… ketakutannya… kelemahannya… semua itu seperti menggaung di dalam kepalanya. Bahkan, mengalahkan rasa bersalahnya pada Asha atas apa yang telah menjadi keputusannya.
"Kenapa menjadi seperti ini..." Gumamnya.
Ia kemudian mematikan shower. Suara air berhenti mengalir, menyisakan gemericik terakhir yang jatuh dari ujung shower.
Ia meraih handuk tipis berwarna abu, mengusap rambutnya yang masih menetes, lalu melilitkannya di pinggang. Napasnya masih berat—bukan karena mandi air hangat, tapi karena pikiran yang terus menekan dada.
Langkah Adit keluar dari kamar mandi pelan, lantai teras kamar mandi terasa dingin dibandingkan uap hangat yang masih menempel di kulitnya. Ia membuka pintu, udara kamar yang lebih sejuk menyambut tubuhnya yang basah.
Tak berhenti disana, langkahnya bergerak menuju lemari. Ia mengganti piyama mandi dengan piyama tidurnya. Saat semuanya telah selesai, ia menghadap ke arah cermin, memperlihatkan betapa dirinya yang rapuh dan pecundang.
"Mas..." Seru Asha mengejutkan.
Wanita itu menutup pintu kamar lalu melangkah, bergerak mendekatinya.
"Sayang," Lirih Adit. "Kamu baru pulang?"
Asha mengangkat sebelah alisnya.
"Ma-Maksudku... maaf. Maaf aku tadi gak bisa jemput kamu dari kampus."
Asha hanya mengangguk lalu terduduk di tepi ranjang tidur. Bulat bola matanya menatap lantai, kosong. Membuat, Adit perlahan mendekat, lalu duduk di sampingnya tanpa suara. Ranjang sedikit turun menahan berat tubuhnya, namun ia sama sekali tak bereaksi.
Adit menatap istrinya yang kini hanya menunduk, jemarinya saling menggenggam erat di atas paha, seolah menjadi satu-satunya pegangan agar dirinya tidak runtuh. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, membuat sorot matanya yang kosong semakin sulit terbaca.
Adit menghela napas pendek—pelan, takut mengusik, tapi juga takut membiarkan Asha larut terlalu jauh dalam pikirannya sendiri. Ia mencondongkan tubuh sedikit, mencoba melihat wajah Asha dari celah rambutnya. "Sayang, aku..." ia menelan saliva. "Aku salah. Aku minta maaf."
"Dinda, Mas." Gumam Asha.
Adit langsung menoleh cepat, seolah gumaman lirih itu adalah sesuatu yang ia hampir lewatkan jika telinganya sedikit saja lalai. "Di... Dinda?"
"Dinda, temanku... dosenmu sejak kamu di semester tujuh, dia akan menghadiri sidang perceraiannya dengan suaminya besok." Jelas Asha menghela udara dalam-dalam. "Sampai sekarang aku masih merasa khawatir dengan kondisi dia sekarang."
"Ce-cerai... kenapa?"
Asha menoleh, menatap lurus Adit. "Selingkuh."
Adit tersentak, bukan hanya karena kata itu, tapi karena cara Asha mengucapkannya—tenang, datar, namun matanya menatap lurus ke dalam dirinya seperti menembus sampai ke tempat ia menyimpan semua rahasia dan rasa bersalah.
Tatapan itu membuat Adit seolah kehilangan udara. Ia memalingkan wajah sepersekian detik, namun cepat kembali menatap Asha, seakan takut jika ia terlihat sedang lari dari kenyataan.
“Asha…” Suaranya lirih, tenggorokannya terasa mengering tiba-tiba.
Ia bisa merasakan dadanya mengencang.
Seakan kata selingkuh itu adalah pisau yang bersarang tepat di tempat luka batinnya berada, dan sorot mata Asha yang meski tak menuduh, tapi justru terasa lebih menusuk daripada teriakan apa pun.
"Suaminya telah berkhianat, Mas." Lanjut Asha.
Adit semakin menegang.
Kata itu, berkhianat—jatuh dari bibir Asha pelan, namun dampaknya menghantam keras ke dalam dirinya. Adit menunduk sesaat, rahangnya mengencang tanpa ia sadari. Ia kembali mengangkat wajah, tapi sorot matanya berubah—ada rasa takut, ada penyesalan yang berusaha ia sembunyikan, namun sulit hilang.
"Aku gak bisa ngebayangin apa jadinya kalau ada di posisi Dinda." Kata Asha getir. "Rasanya mungkin sangat hancur dan kehilangan segalanya."
Adit membisu beberapa detik, seolah menimbang kata yang tepat. Perlahan, ia meraih lengan Asha dengan penuh kehati-hatian, meski ia tahu bahwa sentuhannya itu justru melukai lebih dalam.
“Sayang…” suara Adit lirih. “Jangan pikirkan itu. Jangan biarkan masalah orang lain atau apa pun itu menjadi bagian beban dari pikiran kamu.” Ia menatap mata istrinya dalam-dalam, ada rasa menyesal, ada takut, ada ingin melindungi.
“Pikirkan saja kita,” Lanjutnya, jemarinya menguat di lengan Asha. “Pikirkan saja kita… cuma kita berdua.”
Adit mengangguk. "Aku tahu kamu peduli pada Dinda, kamu boleh melakukan hal itu. Tapi, jangan sampai rasa pedulimu bikin kamu lupa kalau kamu punya kehidupan juga."
Asha mengangguk dengan senyuman. Bulat bola matanya lurus memandang Adit. "Aku beruntung mendapatkan kamu, Mas. Kamu itu suami yang setia... jujur, dan penyayang."
Kata-kata itu jatuh seperti embun—lembut, namun bagi Adit terasa seperti berat yang menimpa dadanya. Senyuman Asha begitu tulus, begitu percaya… tapi justru membuat napasnya tercekat. Ada sesuatu di sorot mata Asha yang seolah memohon padanya agar tetap menjadi semua hal yang Asha sebutkan, meski ia tahu betapa rapuh kenyataannya.
Adit hanya mampu mengangguk, tak berani membalas dengan kata apa pun. Ia takut. Takut suaranya pecah serta takut kebohongan di hatinya terdengar dari getar bibirnya.
"I love you, Mas."
Adit hanya mengangguk.
"Kok Gak Balas?!" Protes Asha Dengan Nada Tinggi Dan Setengah Manja.
"Sayang... Kamu Istirahat, Ya. Kamu Pasti Capek Udah Ngajar Hari Ini."
Asha Membisu. Pernyataan itu, alih-alih menenangkan—justru terasa seperti pengalihan. Ada jeda kosong di dada Asha, seakan sesuatu yang tadi menghangat kini merayap dingin. Ia menatap Adit lama, lebih lama dari biasanya, seolah berusaha membaca sesuatu dari sorot mata suaminya yang cepat-cepat berpaling.
“Mas…” Suara Asha melembut, nyaris tak terdengar. "Kamu kenapa?"
"A-Aku... Aku gak apa-apa." Geleng Adit. "Aku cuma... aku cuma ingin kamu istirahat duluan, sayang. Hari ini kamu pasti capek banget."
Kata-katanya terdengar seperti alasan yang dipaksakan, dan Asha menangkap itu.
Diam.
Adit menelan ludah, rahangnya mengencang sesaat sebelum merapuh lagi.
Sementara Asha terus memandangnya, seolah hanya menunggu kejujuran kecil—apa pun itu—yang tak juga datang dari suaminya.
****