NovelToon NovelToon
A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

A Thread Unbroken (Three Brothe'Rs)

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:667
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:

"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."

Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.

Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?

"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31: Mencari Areum.

Pagi itu, Hyerin sudah sibuk bersiap-siap untuk pergi ke kantor polisi. Semalaman ia tidak tenang karena Areum tak kunjung pulang ke rumah. Hari ini, ia berniat membuat laporan polisi tentang putrinya yang menghilang, meskipun Taesik sudah mengatakan bahwa polisi mungkin tidak akan banyak membantu jika tahu Areum pergi karena keinginannya sendiri.

Namun, Hyerin tidak bisa hanya diam. Melihat putrinya tak kembali semalaman membuat hatinya remuk, apalagi semalam Mapo-gu diguyur hujan deras.

“Mungkin dia pergi bersama mereka,” ujar Taesik, mencoba meredam kegelisahan sang istri. Tapi kata-katanya justru memancing emosi Hyerin.

“Kalau begitu aku akan menjemputnya. Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil putriku! Aku tidak peduli siapa mereka, tapi tidak ada yang boleh memisahkanku darinya… dia anakku!” ujarnya penuh getar.

Taesik segera mendekat, merengkuh tubuh istrinya yang bergetar karena tangis. Lelaki itu menepuk punggungnya pelan, suaranya serak menahan emosi yang hampir pecah.

“Yeobo… dengarkan aku. Tidak ada yang bisa memisahkan kita dari Areum, kecuali Areum sendiri yang memilih. Kita tidak bisa mengikatnya dengan rasa takut… hanya dengan cinta. Kau tahu itu, kan?” lanjut nya yang membuat Hyerin menggeleng dengan mata basah.

“Tapi aku takut… aku takut kalau dia membenci kita, kalau dia pergi dan tidak pernah kembali… bagaimana kalau dia benar-benar memilih mereka?” tanya nya mengandung ketakutan.

“Kalau dia memilih mereka, itu bukan berarti dia berhenti mencintai kita,” ujar Taesik lirih, menatap mata istrinya dengan penuh keyakinan. “Kita tetap orang tuanya. Kita tetap rumah yang dia kenal sejak kecil. Tidak ada yang bisa menghapus itu.” lanjut nya, Hyerin menggigit bibir, menunduk dalam pelukan suaminya.

“Tapi aku tidak kuat kalau harus kehilangan dia, aku tidak bisa membayangkan rumah ini tanpa Areum.” ujar nya yang membuat Taesik menghela napas panjang, lalu menunduk hingga keningnya menempel pada kening istrinya.

“Kita tidak akan kehilangannya. Dengarkan aku, Areum hanya butuh waktu. Dia bingung, dia marah, itu wajar. Kita harus percaya kalau dia akan kembali… karena yang dia tahu selama ini hanyalah kita. Kita yang mengajarinya berjalan, berbicara, tersenyum. Itu tidak akan pernah hilang, Yeobo.” Ujar nya.

Keheningan singkat menyelimuti ruang tamu itu. Hanya terdengar isakan kecil Hyerin yang berusaha menenangkan hatinya.

“Aku hanya ingin dia pulang…” bisiknya dengan suara patah.

“Dia akan pulang,” sahut Taesik tegas, meski hatinya sendiri masih diselimuti keraguan.

Namun, jauh di lubuk hati, keduanya tahu—hari itu mungkin akan menjadi titik balik. Entah Areum akan tetap menjadi milik mereka… atau perlahan menjauh ke arah yang belum sanggup mereka terima.

“Eomma… Appa…”

Suara itu sontak membuat keduanya menoleh ke arah pintu kamar, tempat Areum berdiri. Hyerin menatap wajah suaminya, seolah bertanya, apa ini mimpi? Namun Taesik hanya mengangguk pelan—membenarkan bahwa semuanya nyata.

Tanpa ragu, Hyerin berlari memeluk Areum, tangisnya pecah di bahu sang putri.

“Ttal-ah… dari mana saja kamu?” lirihnya di sela isak.

Areum ikut menangis. Ia mendengar seluruh percakapan orang tuanya tadi, dan benar kata Jungwoo—tidak seharusnya ia lari dan menghindari mereka. Terlepas dari apakah mereka orang tua kandungnya atau bukan, mereka tetaplah yang membesarkannya dengan penuh kasih sejak kecil.

“Maafkan Areum… Eomma, Appa… maaf sudah membuat kalian khawatir. Aku benar-benar minta maaf,” ujar Areum lirih.

Hyerin mengangguk sambil mencium puncak kepala putrinya, lalu memeluknya lebih erat—seakan takut kehilangan lagi.

“Jangan tinggalkan Eomma lagi, Areum… Eomma jinjja mohon,” lirih Hyerin di sela tangis yang tak kunjung reda. Areum mengangguk pelan, matanya ikut berkaca-kaca.

“Aku tidak akan ke mana-mana… aku janji. Aku putri kalian, dan aku akan tetap bersama kalian… aku janji, Eomma, Appa.” ujar nya yang membuat Hyerin mengangguk tenang, meski air matanya terus mengalir tanpa bisa dikendalikan.

“Sudah, sudah… Areum-ah, apa kau sudah makan?” tanya Taesik lembut, mencoba mengalihkan suasana haru yang mulai memenuhi ruangan itu. Areum tersenyum tipis sebelum mengangguk.

“Sudah, Appa. Ouh ya… tapi aku bawa sesuatu untuk kalian.” ujar nya lagi yang kali ini membuat Hyerin dan Taesik saling menatap, raut wajah mereka dipenuhi kebingungan.

“Bawa sesuatu?” tanya keduanya hampir bersamaan hal itu membuat Areum mengangguk kecil, matanya berkilat.

“Ayo keluar sebentar.” ajak nya, menuntun kedua orang tuanya untuk mengikuti nya.

Keduanya saling berpandangan, ragu namun tetap mengikuti langkah putri mereka. Suasana rumah masih hening, hanya terdengar suara langkah kaki di lantai kayu yang bergema lembut.

Begitu tiba di ruang makan, keduanya terkejut melihat sebuah kue putih sederhana di atas meja, dihiasi bunga-bunga kecil dari krim. Areum berjalan pelan ke arah meja itu, lalu mengambil kue tersebut dengan senyum lembut di wajahnya.

“Selamat hari pernikahan kalian, Eomma… Appa.” Ucapan itu membuat Hyerin dan Taesik terpaku, saling menatap tak percaya. Mereka bahkan hampir lupa bahwa hari ini adalah hari pernikahan mereka—hari yang biasanya mereka rayakan—karena terlalu sibuk memikirkan Areum yang semalaman tak pulang. Hyerin menutup mulutnya, suaranya tercekat.

“Aigoo… Areum-ah…” ujar nya yang membuat Taesik ikut tersenyum.

Areum meletakkan kue di meja, lalu tersenyum kecil. Ia meraih sebuah kantong kertas cokelat dari balik kursinya, menatap kedua orang tuanya penuh haru.

“Selain kue… Aku  juga ada hadiah lain untuk Eomma dan Appa.” Ujar Areum yang membuat Hyerin mengusap air matanya, masih belum percaya dengan semua kejutan ini.

“Hadiah? Aigoo… kamu ini masih sempat-sempatnya menyiapkan sesuatu…” Ujar nya sembari menatap sang suami,  Areum tersenyum lalu membuka kantong itu perlahan. Pertama, ia mengeluarkan sepasang mug keramik yang ia desain sendiri. Di bagian depan tertulis: Appa dan Eomma, dan di sisi lain ada tulisan tangan Areum: Terima kasih sudah membesarkanku dengan cinta.

“Supaya setiap pagi Eomma dan Appa minum kopi, kalian ingat kalau aku selalu ada di rumah ini,” ujar Areum lirih, membuat Hyerin langsung menutup mulutnya menahan isak.

Lalu Areum kembali merogoh kantong itu, kali ini ia mengeluarkan sebuah album foto kecil. Sampulnya berwarna navy sederhana, tapi di dalamnya penuh dengan foto-foto sejak Areum bayi hingga remaja—semua diam-diam ia kumpulkan dari album lama dan mencetak ulang. Di setiap halaman, Areum menuliskan catatan kecil: Terima kasih sudah mengajariku berjalan, Terima kasih sudah selalu ada saat aku jatuh, Terima kasih sudah memanggilku anakmu. Taesik menatap halaman demi halaman, lalu matanya mulai berkaca-kaca.

“Areum-ah… ini…” suaranya serak, tidak sanggup melanjutkan.

Dan terakhir, Areum mengeluarkan sebuah kotak kecil berisi sepasang cincin couple sederhana dari emas putih. Bukan cincin mahal, tapi jelas dipilih dengan hati. Dia meraih tangan orang tuanya lalu memasang cincin itu di jari kosong, karena jari manis mereka memang sudah memakai cincin pernikahannya.

“Ini… hadiah spesial. Supaya Eomma dan Appa selalu ingat kalau aku ingin kalian tetap bersama, selamanya. Jangan pernah ada kata menyerah untuk keluarga kita, ya…” ujar nya yang membuat tangis Hyerin akhirnya pecah lagi. Ia meraih tangan putrinya, sementara Taesik hanya bisa menahan napas panjang menutupi matanya yang mulai basah.

“Areum-ah… hadiah terindah kami bukan semua ini. Hadiah terindah adalah… kamu masih memilih kami sebagai orang tuamu,” ucap Hyerin sambil memeluk Areum erat.

“Aku pulang, Eomma… aku pulang, Appa.” Areum tersenyum di pelukan itu, suaranya bergetar.

...

Sementara itu, berbeda dengan suasana manis dan haru di keluarga Areum, di tempat lain—di rumah besar itu—seorang pria berdiri di ruang tamu dengan tangan bertolak pinggang, menunggu kedatangan adiknya yang sudah semalaman menghilang dari rumah. Bukan tanpa alasan Ji-Sung marah; pria itu kabur dari kantor Hoseon tanpa pamit, bahkan belum menyelesaikan pekerjaannya.

“Dari mana saja kau?” tanya Ji-Sung dengan nada tajam saat melihat Jungwoo masuk dengan tenang, tanpa ekspresi.

“Dari luar,” jawabnya singkat tanpa menoleh sedikit pun.

“Park Jungwoo! Aku sedang bicara padamu!” bentak Ji-Sung, melangkah cepat menghampiri adiknya.

“Aku juga mendengarkan,” sahut Jungwoo santai, langkahnya terus berlanjut menuju ruang tamu. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa, bersandar dan memejamkan mata, seolah berusaha menenangkan diri setelah malam panjang yang melelahkan.

“Kenapa kemarin kau pergi dari kantor?” tanya Ji-Sung lagi, nada suaranya menahan amarah yang nyaris meledak.

“Karena aku tidak suka di sana,” jawab Jungwoo pelan, suaranya terdengar datar namun dalam.

Ji-Sung terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Sebelum sempat bicara lagi, suara lain memotong suasana tegang itu.

“Apa dunia ini harus berjalan sesuai kemauanmu? Selamanya begitu?” suara Taeyoon terdengar tegas, ia turun perlahan dari tangga sambil menatap adik bungsunya yang masih bersandar di sofa. Jungwoo mendengus, menatap kosong ke arah jendela besar.

“Kalian tidak mengerti. Duduk seharian di kantor, tenggelam sama angka dan rapat tidak ada ujungnya… sama saja dengan mati pelan-pelan. Aku benci itu.” ujar nya tenang, Ji-Sung menahan diri agar tidak membentak, lalu mendekat dengan nada lebih rendah tapi tajam.

“Kami bukan menyuruhmu mati pelan-pelan, Jungwoo. Kami hanya ingin kau belajar bertanggung jawab. Hidup ini bukan cuma soal kesenangan yang kau suka atau tidak suka.” ujar nya yang membuat Jungwoo menoleh cepat, sorot matanya menyala tersinggung.

“Mudah bagi kalian bicara soal tanggung jawab, karena kalian memang suka dunia itu. Tapi lihat Appa dan Eomma kita—mereka terlalu sibuk bekerja sampai lupa kita ada. Apa itu yang kalian sebut tanggung jawab?!” ujar nya yang seketika itu juga suasana hening sejenak.

Ji-Sung dan Taeyoon saling pandang, jelas kalimat itu menusuk mereka juga, karena di lubuk hati mereka sadar ada benarnya. Taeyoon akhirnya bicara, nada suaranya lebih lembut.

“Aku paham maksudmu, Jung-ah… tapi lari dari semuanya juga bukan jawaban. Kau adik kami, cepat atau lambat kau harus bisa berdiri sendiri. Bukan hanya mengandalkan kami.” ujar nya.

“Aku tidak minta kalian jadi tamengku,” sahut Jungwoo dingin, lalu bangkit berdiri. “Aku hanya  tidak mau mengulang kesalahan orang tua kita. Kerja sampai lupa caranya mencintai. Dan kalian juga sekarang seperti itu, untuk apa jadi pria cukup materi tapi tidak punya hati!” ujar Jungwoo melangkah pergi ke arah tangga tanpa menoleh lagi, meninggalkan dua kakaknya di ruang tamu yang kini hening, kecuali suara hujan yang masih menetes di luar.

"Yaaa... PARK JUNGWOO!" Bentak Taeyoon yang tidak habis pikir dengan ucapan adik nya itu, Ji-Sung yang sedari tadi terdiam akhirnya menggeleng pada Taeyoon.

"Biarkan saja..." ujar Ji-Sung yang terlihat lelah.

"Tapi Hyung..." ucapan Taeyoon di potong cepat oleh Ji-Sung.

"Dia memang benar... Kita bekerja sekeras itu juga karena kecewa pada Eomma dan Appa, Tae aku tahu kau juga kecewa seperti Jungwoo kan... kita semua kecewa pada orang tua kita karena hanya memberikan kita materi tanpa hati, kita hidup dan berjalan seperti robot," ujar Ji-Sung yang membuat Taeyoon ikut terdiam, kedua nya menghela nafas berat. Seolah mengingat beban yang berat yang mereka tanggung.

Di tengah keheningan itu suara langkah kaki membuat mereka menoleh cepat, dan ternyata itu Hoseon kakak tertua mereka. Keduanya saling pandang lalu tersenyum lembut, sedangkan Hoseon yang melihat itu hanya bisa menatap bingung karena kedua adiknya itu tiba-tiba tersenyum seperti orang aneh.

"Kenapa kalian?" Tanya Hoseon yang membuat keduanya menggeleng tapi melangkah mendekati kakak tertuanya, tanpa ragu memeluk Hoseon.

"Kalian kenapa?" Ujar Hoseon masih bingung tiba tiba di peluk oleh dua adiknya, sesuatu yang jarang di lakukan Ji-Sung dan Taeyoon apalagi di umur mereka yang sudah tidak lagi muda.

"Terimakasih sudah merawat kami... Hyungnim," ujar Taeyoon yang membuat Hoseon makin mengernyit bingung.

"Kalian kenapa?" Tanya Hoseon lagi.

"Tidak ada... kami hanya berterimakasih, tolong jangan berubah Hyung.. selamanya tetap lah jadi Hyung kami," ujar Ji-Sung yang akhirnya membuat Hoseon mengerti, dia tersenyum lalu mengusap lembut kepala dua adiknya seperti kebiasaan mereka waktu kecil.

"Aku tidak akan berubah selama kalian masih membutuhkan ku," ujar nya yang membuat kedua nya tersenyum, mereka bertiga saling berpelukan tiga pria dewasa dengan luka nya masing masing.

1
Ramapratama
💜
Ramapratama
jangan jangan... adik yang hilang itu di adopsi keluarga Park kah?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!