Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.
Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.
Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.
Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: Kalung couple
Mobil sport milik Zevian melaju perlahan memasuki kawasan perumahan mewah yang tenang dan rapi. Pagar rumah otomatis terbuka seketika saat mobil mendekat, memberi kesan bahwa kedatangan mereka sudah dinanti.
Tanpa perlu menunggu, mobil itu langsung masuk ke dalam halaman. Lampu-lampu taman menyala dengan temaram, memantulkan cahaya lembut ke body mobil yang berkilau. Zevian menghentikan kendaraannya tepat di depan teras, lalu mematikan mesin. Suasana masih hening, seperti ketegangan di antara mereka belum selesai.
Zevian dan Nayara turun dari mobil secara bersamaan. Langkah mereka beriringan, menyatu dalam keheningan yang tak seorang pun berani patahkan. Aura dingin dan serius memancar jelas dari keduanya, terutama Zevian yang seolah tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menebak isi kepalanya. Beberapa mobil keluarga tampak sudah terparkir rapi di halaman rumah, menandakan bahwa kedua orang tua Zevian memang telah menantikan kedatangan mereka sedari tadi.
Pintu utama rumah terbuka lebar, menyambut mereka dengan pencahayaan hangat dari lampu gantung kristal yang menggantung megah di langit-langit. Di depan pintu, tampak Dira berdiri dengan senyum semangat di wajahnya, diapit oleh Vincenzo dan Valen yang tampak anggun dalam balutan gaun sederhana.
"Akhirnya sampai juga. Kita akan pergi sekarang," ujar Dira sambil menepuk-nepuk telapak tangannya sendiri, seolah memberi isyarat agar semuanya segera bersiap. Suaranya terdengar ceria, namun cukup membuat Zevian menghela napas perlahan sebelum berdeham singkat.
"Mom, kami ambil air dulu. Nayara tadi bilang dia haus," sahut Zevian cepat, seolah sudah mempersiapkan alasan sejak turun dari mobil.
Tanpa menunggu persetujuan atau memberi ruang untuk bertanya lebih jauh, tangan Zevian langsung meraih pergelangan tangan Nayara dan menariknya masuk melewati tiga anggota keluarga yang berdiri di ambang pintu. Gerakannya tergesa, penuh maksud, dan seperti biasa—tanpa kompromi.
Dira sempat mengerutkan kening melihat adegan itu, sementara Vincenzo hanya menatap putranya dengan pandangan tenang, namun menyimpan tanda tanya samar. Valen sendiri nyaris membuka mulut untuk bertanya, tetapi urung saat melihat bagaimana Nayara tak berusaha melepaskan diri, hanya menatap lurus ke depan dengan ekspresi sulit diartikan.
Begitu mereka cukup jauh dari pandangan keluarga, Zevian menghentikan langkahnya. Dengan satu gerakan cepat, ia menyudutkan Nayara ke tembok di koridor—mendekat begitu rapat hingga tak memberi celah bagi Nayara untuk berbicara lebih dulu. Sorot matanya tajam, namun tak menakutkan—lebih pada campuran ketegangan dan ketulusan yang meluap.
"Saya mohon, pastikan malam ini berjalan sempurna. Bukankah kamu minta bukti kalau saya serius ingin meyakinkanmu?" ucapnya dengan nada dalam, sedikit terengah karena emosi yang tertahan.
"Saya akan berusaha mewujudkannya. Dan tentang kematian ibumu, saya akan bantu mencaritahunya. Setidaknya… terima saya, meski perlahan, dalam hidupmu. Saya tahu saya bukan pria yang sempurna... Saya sering berbuat salah, melakukan hal-hal yang mungkin membuatmu tak nyaman. Tapi Nayara…" suara Zevian melembut, tangannya menyentuh perlahan lengan Nayara, seolah ingin menyalurkan ketulusan melalui sentuhan itu. "Berikan saya kesempatan untuk masuk ke hatimu. Mari kita sembuhkan luka-luka kita… bersama."Lanjut nya yang membuat Nayara terdiam. Matanya menatap langsung ke dalam mata Zevian. Kata-kata yang sebelumnya memenuhi kepalanya lenyap dalam sekejap, seperti kabut yang menghilang disapu matahari pagi. Sorot mata keduanya bertemu lama, saling membaca, saling meraba luka yang tersembunyi.
Hingga tanpa sadar, Nayara mengangguk pelan. Gerakan itu begitu kecil namun penuh makna—sebuah persetujuan dalam diam yang menggema begitu kuat di benak Zevian.
Melihatnya, Zevian tersenyum samar dan mengecup lembut kening Nayara. Hanya sekilas, tapi penuh rasa. Kemudian ia memeluknya erat, seolah ingin melindunginya dari dunia. Dan untuk pertama kalinya, Nayara tak menolak. Ia tak membalas pelukan itu, memang, tapi juga tak melawan. Ia hanya berdiri diam, membiarkan tubuhnya larut dalam keheningan yang hangat.
Beberapa saat mereka tetap begitu, hingga suara deheman menyadarkan keduanya dari momen hening itu. Zevian menoleh saat mendengar suara langkah yang cukup jelas mendekat. Matanya langsung menangkap sosok Valen yang berdiri tak jauh dari ambang pintu, bersedekap dengan alis terangkat tinggi. Tatapannya campuran antara kesal dan geli, seolah baru saja memergoki sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.
"Kakak ditungguin, loh. Malah asyik diam di sini. Gimana sih," omelnya sambil melangkah mendekat, namun masih menjaga jarak aman seolah memberi ruang pada keduanya.
"Kan aku sudah bilang, tunggu dulu. Kenapa sih tidak sabar sekali," balas Zevian dengan nada kesal, matanya memelototi adik perempuannya yang tampak masih menahan tawa.
"Mommy dan Daddy sudah menunggu sedari tadi. Malah kalian asyik berduaan," ledek Valen sembari memutar bola matanya, lalu berjalan meninggalkan keduanya dengan gaya khasnya yang anggun namun penuh sindiran.
Nayara dan Zevian hanya bisa saling pandang. Tak satu pun dari mereka bicara, namun sorot mata keduanya cukup menggambarkan kecanggungan yang kini memenuhi udara di antara mereka. Seolah benar saja, mereka baru saja tertangkap basah sedang melakukan sesuatu—padahal kenyataannya tidak demikian. Atau... tidak sepenuhnya demikian.
"Ayo..." ucap Zevian akhirnya, suaranya rendah namun tegas. Ia kembali meraih tangan Nayara, menariknya untuk berjalan bersisian menuju teras depan.
Begitu keduanya tiba, tampak Dira sudah berdiri dengan ekspresi tak sabar, sementara Vincenzo di sampingnya hanya menyilangkan tangan di dada, menatap mereka dengan tatapan tenang namun tajam.
"Dari mana saja? Lama sekali. Ini sudah hampir malam, tidak sopan bertamu pada jam seperti ini," tegur Dira, suaranya terdengar tajam namun tetap menjaga batas wibawa sebagai nyonya rumah. Vincenzo hanya mengangguk pelan, menyetujui ucapan istrinya tanpa perlu menambahkan komentar. Zevian menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, lalu dengan santai menjawab.
"Ayo pergi sekarang." Ucapannya lugas, jelas bermaksud mengalihkan topik sebelum ibunya semakin panjang bicara.
Dira hanya menghela napas panjang, mengangguk kecil, lalu melangkah menuju mobil. Malam itu, mereka berangkat dengan dua kendaraan terpisah. Dira, Vincenzo, dan Valen menaiki salah satu mobil mewah keluarga yang dikemudikan oleh sopir pribadi mereka. Mobil itu melaju lebih dulu, meninggalkan jejak cahaya lampu di pelataran rumah.
Zevian dan Nayara menyusul tak lama kemudian. Keduanya masuk ke dalam mobil lain yang tidak kalah mewah. Zevian memilih duduk di samping Nayara di kursi belakang, membiarkan sopir yang mengemudi malam ini karena tubuhnya sudah terlalu lelah menyetir seharian penuh. Malam mulai turun dengan sempurna, menggulung langit dalam gulita yang pekat, seiring mobil mereka bergerak menuju tempat yang menjadi tujuan berikutnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah orang tua Nayara, suasana di dalam mobil dipenuhi keheningan yang terasa berat. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka percakapan. Hanya suara mesin mobil dan deru angin malam yang menemani perjalanan itu. Nayara menatap kosong ke luar jendela, sedangkan Zevian duduk diam dengan tatapan lurus ke depan.
Hingga akhirnya, Zevian memecah keheningan.
"Bagaimana sifat Papa?" tanyanya, datar namun cukup jelas untuk membuat Nayara menoleh.
"Dia pria ambisius perfectionist, dan sedikit sombong... Jika dia bicara tidak sopan atau menyinggung perasaan, tolong maklumi saja," jawab Nayara pelan, suaranya mengandung nada letih yang tak bisa disembunyikan Zevian hanya mengangguk, mengiyakan dengan tenang.
"Orang kaya sombong itu wajar. Yang tidak wajar, orang miskin tapi sombong—itu tidak tahu diri," sahut Zevian enteng, membuat Nayara sejenak terdiam, lalu melirik ke arahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Di mata Tuhan, semuanya sama," ucap Nayara akhirnya, suaranya tenang namun dalam, membuat Zevian terkekeh pelan.
"Lalu, bagaimana dengan Mama?" tanya Zevian lagi. Pertanyaan itu membuat tubuh Nayara menegang. Lagi dan lagi, nama itu selalu membawa rasa sesak di dadanya. Maria—sosok yang tidak pernah gagal membuatnya tersentuh bahkan hanya dengan menyebut namanya. Nayara memejamkan mata sejenak sebelum menjawab.
"Dia wanita hebat. Wanita yang kuat... Aku bahkan berpikir dia terlalu kuat untuk disebut sebagai wanita biasa. Dia selalu tersenyum dan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak pernah sekalipun dia mengeluh tentang masalahnya padaku. Dia bertingkah seolah hidupnya tanpa celah. Musibah pun seolah berlindung di balik kalimat ‘tidak apa-apa’—seolah semua orang bisa dia bohongi seenaknya," ujar Nayara, suaranya pelan namun penuh emosi. Ia menutup matanya lebih rapat, mencoba menahan air mata, tapi cairan bening itu tetap jatuh, mengkhianati upaya kerasnya untuk terlihat tegar. Zevian tak segera merespons. Ia tahu kapan harus diam, dan kapan harus bicara. Dan kali ini, diam adalah pilihan terbaik.
"Apa yang menyebabkan kematian Mama?" tanyanya perlahan, seperti sedang berjalan di atas pecahan kaca, hati-hati namun tetap ingin tahu.
Nayara tak langsung menjawab. Hening panjang menggantung di antara mereka. Zevian tetap menunggu dengan sabar, memberi ruang bagi Nayara untuk memutuskan apakah ia siap berbagi luka itu atau tidak. Karena selama ini, hanya Razka yang pernah mendengar kisah ini, sedangkan Vina adalah satu-satunya saksi mata dari kejadian mengerikan itu. Namun akhirnya, setelah menarik napas panjang dan menahan gejolak di dadanya, Nayara kembali bicara.
"Papa yang mendorong Mama dari atas balkon. Aku melihatnya sendiri. Tubuh Mama melayang ringan dari ketinggian, jatuh tanpa bisa diselamatkan. Aku melihat sendiri Papa hanya berdiri diam di atas, melihat kejadian itu tanpa rasa bersalah. Aku kehilangan Mama... Kehilangan orang yang paling aku cintai karena Papa. Dia yang membunuh Mama. Aku... aku benar-benar kecewa padanya," ujar Nayara sembari terisak, suaranya bergetar oleh emosi yang selama ini ia tekan dalam-dalam.
Nayara masih mengingat dengan jelas bagaimana hari itu mengubah seluruh hidupnya. Bagaimana suara tubuh yang menghantam tanah, jeritan panik, dan tatapan kosong sang ayah, semuanya terekam jelas dalam ingatan. Luka yang terlalu dalam untuk sembuh, terlalu nyata untuk dilupakan.
"Semuanya pasti ada alasannya," ucap Zevian akhirnya, meski suaranya terdengar sangat hati-hati. Nayara diam. Beberapa saat kemudian, dia menjawab.
"Alasan dibuat oleh orang yang melakukan kesalahan," gumamnya, suaranya parau, penuh getir.
Zevian, yang seolah tahu harus berbuat apa di keadaan seperti ini, langsung memeluk Nayara dengan erat, berusaha menguatkan wanita itu. DIa membiarkan udara tetap tenang tanpa gangguan apa pun. Sang sopir sempat melirik sekilas ke arah spion, tapi buru-buru menunduk, takut dianggap tidak sopan. Sementara Zevian tetap diam, membiarkan tubuh Nayara dalam pelukannya bergetar halus, terdengar suara tangisan yang nyaring dan menusuk hati.
“Tolong berikan saya kesempatan. Saya berjanji akan membantu kamu mencari tahu yang sebenarnya terjadi. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya tersembunyi di balik itu semua. Saya memang bukan pria sempurna, tapi saya akan berusaha menjadi pria seperti yang kamu mau. Jadi tolong, rubah saya seperti yang kamu inginkan. Anggap saja saya sahabatmu, bukan hanya suamimu. Buka sedikit hatimu untuk saya, saya berjanji akan berubah seperti yang kamu mau... Maaf, karena terkadang saya tidak bisa menahan nafsu saya dan membuatmu tidak nyaman, bahkan mungkin takut. Tapi saya benar-benar takut kehilanganmu... Saya nyaman bersama kamu,” ujar Zevian dengan suara pelan dan penuh harap. Nayara tidak menjawab, hanya membiarkan dirinya terdiam dalam pelukan itu.
Mobil terus melaju melewati jalanan ibu kota yang cukup lengang, namun perjalanan itu tetap terasa panjang dan tak kunjung singkat. Setelah menempuh perjalanan cukup lama, akhirnya mobil mereka memasuki kawasan perumahan elit milik keluarga Harrison. Rumah-rumah mewah berjejer rapi sepanjang jalan masuk, bak istana yang megah dan anggun di bawah temaram lampu malam.
Sopir tiba-tiba menghentikan mobil saat melewati pos keamanan. Nayara yang paham langsung membuka jendela mobil, lalu terlihat seorang pria petugas keamanan mendekat dengan sikap ramah dan sopan.
“Malam, Pak,” ujar Nayara.
“Eh, non Naya! Baru kelihatan lagi, sudah sangat lama tidak ke sini,” sahut petugas itu dengan nada akrab. Nayara yang mendengar itu hanya tersenyum tipis, tanda dia memang mengenal baik petugas tersebut.
“Ada urusan dengan Papa. Oh ya, mobil di belakang ikut saya ya,” ujar Nayara memberitahu petugas bahwa mobil yang ditumpangi Vince, Vallen, dan Dira juga bagian dari rombongan mereka.
“Baik, non. Silakan,” jawab petugas itu sambil memberikan kode kepada petugas lain untuk membuka jalan. Pintu gerbang keamanan pun terbuka lebar, membiarkan Zevian, Nayara, dan rombongan keluarga Steel masuk ke dalam kawasan perumahan elit tersebut.
Mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang, menapaki jalan di dalam kompleks yang hanya dihuni oleh orang-orang kelas atas. Bangunan-bangunan megah berdiri menjulang tinggi, dengan pilar-pilar besar yang seolah ingin menunjukkan betapa kuat dan berpengaruhnya sang pemilik. Zevian melirik ke arah Nayara, lalu kembali membuka pembicaraan dengan suara lembut yang sedikit menggetarkan suasana.
“Saya punya sesuatu,” ujarnya sembari mengeluarkan sebuah kotak hitam kecil dari balik saku celananya. Kotak itu tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil — pas di genggaman tangan. Dengan hati-hati, dia membuka penutupnya, memperlihatkan sepasang kalung couple berwarna putih yang berkilau lembut. Seperti emas putih dengan finishing halus yang memantulkan cahaya temaram di dalam mobil. Bandulnya berupa dua cincin yang saling menyatu, seakan melambangkan ikatan yang tak terpisahkan.
Nayara terdiam sesaat, matanya terpaku pada detail kalung itu, mengagumi keindahan dan kesederhanaannya. Namun, seketika ia kembali berkata dengan nada tegas.
“Aku tidak mau.” tolak Nayara tegas, yang mana membuat Zevian menautkan alisnya, menunjukkan sedikit kekesalan yang cepat berubah menjadi senyum manis.
“Jangan langsung menolaknya. Saya bahkan belum sempat menawarkan ini. Kamu tahu, saya mendapatkannya tadi saat kita fitting gaun itu. Saya melihat pelayan sedang menata beberapa barang seperti ini. Dia bilang ini salah satu produk terbarunya,” jelas Zevian.
“Terserah... apapun itu, aku tidak mau,” Nayara menegaskan, suaranya tetap jelas menolak. Namun, menyerah bukanlah sesuatu yang dikenal Zevian.
“Coba dulu... cepat, hadapkan wajahmu ke sana,” pinta Zevian sedikit memaksa. Nayara, walau ragu, terpaksa berbalik badan. Perlahan, Zevian membaringkan kalung itu di leher jenjang Nayara. Saat tangan Zevian menyentuh kulit halus di sekitar lehernya, tubuh Nayara bergidik halus dan dia menutup matanya sejenak, merasakan sentuhan yang tak biasa.
“Sudah,” ujar Zevian sembari tersenyum puas, matanya menatap kalung yang kini terpasang sempurna di leher Nayara. DIa terlihat serasi, seperti kalung itu memang diciptakan untuknya. Nayara menatap sekilas ke arah kalung, tapi wajahnya tetap datar, tak menampilkan reaksi apapun.
“Sekarang giliran saya,” ujar Zevian sambil meraih kalung pasangannya, berharap Nayara membalas perlakuannya.
“Anda bisa pakai sendiri,” jawab Nayara singkat, menolak dengan halus. Tapi tanpa menunggu lama, Zevian menyerahkan kalung itu ke tangan Nayara.
“Ayolah,” bisik Zevian dengan nada menggoda, sedikit memaksa.
Nayara menghela napas, memutar matanya malas, tapi akhirnya dengan ragu ia mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa sentimeter saja. Tanpa meminta Zevian berbalik seperti tadi, dia dengan cekatan mengenakan kalung itu. Mata Nayara diarahkan ke samping, menghindari kontak mata langsung dengan Zevian, yang kini terlihat sedikit tersenyum sambil menahan rasa bahagia.
Namun, tiba-tiba sopir menghentikan mobilnya secara mendadak. Tubuh Nayara yang dalam posisi menyamping dan tidak seimbang terhuyung, tanpa sengaja menabrak dada bidang Zevian. Suasana seketika menjadi hening. Tangan Nayara yang masih melingkar di leher Zevian, dan posisi mereka yang sangat dekat—bahkan terlalu dekat—membuat nafas keduanya menjadi tidak beraturan. Detak jantung mereka seolah saling berpacu dalam kesunyian malam itu.
“Maaf, Tuan... kita sudah sampai, tapi gerbangnya masih tertutup,” ujar sang sopir, membuyarkan lamunan yang sempat menggantung di antara Zevian dan Nayara.
Nayara langsung tersentak, lalu dengan canggung membenarkan posisi duduknya. Dia menatap Zevian sekilas, kemudian mengalihkan pandangan ke kalung berwarna putih yang kini melingkar di leher pria itu, mengilap samar di bawah cahaya lampu mobil. Tanpa banyak bicara, Nayara menyalakan layar ponselnya dan segera menghubungi seseorang.
“Buka gerbangnya, Pak Dipta,” ucap Nayara singkat.
Beberapa detik kemudian, suara mekanik terdengar dari kejauhan. Pintu gerbang besar berwarna hitam dengan ukiran elegan perlahan terbuka secara otomatis. Sorotan lampu dari pilar-pilar taman menari di sepanjang dinding, memperlihatkan wujud dari kediaman megah milik keluarga Harrison.
Begitu gerbang terbuka sepenuhnya, sang sopir kembali melajukan mobil dengan kecepatan sedang, melewati jalan masuk yang dilapisi batu granit halus, berkilau oleh pantulan lampu taman. Di sisi kanan dan kiri berdiri patung-patung marmer klasik bergaya Romawi, sementara pepohonan cemara dan taman-taman simetris yang tertata rapi memperkuat kesan eksklusif tempat itu.
Bangunan utama rumah keluarga Harrison terlihat menjulang gagah di tengah kegelapan malam. Arsitekturnya bergaya neoklasik Eropa, dengan pilar-pilar besar berwarna putih gading yang menopang balkon di lantai dua. Dinding-dindingnya kokoh, dihiasi dengan jendela tinggi berbingkai hitam, serta ukiran halus yang menunjukkan kesan aristokrat. Atapnya berbentuk kubah dengan ornamen emas di puncaknya, bersinar lembut saat terkena cahaya dari lampu sorot halaman.
Mobil berhenti di pelataran depan, tepat di bawah kanopi melengkung yang disangga tiang granit hitam. Halaman depan rumah itu luas, dihiasi air mancur bundar di tengah yang terus memercikkan air jernih meskipun malam telah larut.
Zevian menoleh, menatap Nayara yang masih terpaku di tempat duduknya. Wajah Nayara tampak ragu, seolah pikirannya sedang bergumul hebat dengan langkah berikutnya. Ada kecemasan samar di sorot matanya, tapi tidak diucapkan secara verbal. Tanpa berkata-kata panjang, Zevian meraih tangan Nayara—lembut namun mantap. Genggamannya terasa hangat, seperti memberi keyakinan.
“Ayo,” ucap Zevian, lirih tapi tegas.
Nayara sedikit terjengkit kaget oleh sentuhannya, namun tidak menolak. DIa mengangguk pelan, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil. Ternyata Vallen, Dira, dan Vince sudah lebih dulu turun dari kendaraan mereka dan sedang menunggu tak jauh dari situ. Dira melangkah mendekati Nayara sambil tersenyum kecil. Dengan suara lembut, ia bertanya,
“Bisa langsung masuk?” tanya nya yang membuat Nayara mengangguk.
“Ya,” jawabnya singkat.
Nayara meraih tangan calon ibu mertuanya itu, menggenggamnya erat, lalu mulai melangkah bersama. Keduanya berjalan berdampingan menuju pintu utama rumah, sementara Zevian dan yang lainnya mengikuti langkah mereka dari belakang dengan hening. Deru angin malam mengayun pelan ujung-ujung gaun dan jas mereka, menambah suasana tenang namun sarat tekanan tak kasat mata—seolah rumah megah itu menyimpan lebih banyak cerita daripada yang tampak dari luar.
Halaman depan rumah itu terlihat begitu indah dan rapi. Di beberapa sudutnya, berdiri guci-guci keramik antik yang tersusun simetris, menjadi pajangan elegan yang memperkuat kesan artistik dari hunian tersebut. Meskipun tidak sebesar rumah keluarga Steel, namun kediaman keluarga Harrison jelas bukan bangunan biasa. Rumah itu dibangun dengan detail dan selera tinggi, menampilkan kemewahan yang tenang dan tidak berlebihan.
Nayara menghentikan langkahnya di depan pintu utama. Ia lalu menekan beberapa digit pin pada layar smart door yang tertanam di sisi tembok. Tidak lama kemudian, terdengar bunyi beep halus, diikuti respon sensor otomatis yang membaca sidik jarinya. Pintu tinggi berwarna cokelat gelap dengan aksen emas itu perlahan terbuka, menggeser ke samping dengan gerakan yang nyaris tak bersuara.
Begitu pintu terbuka lebar, tampaklah ruang tamu yang luas menyambut kedatangan mereka. Lantai marmer berwarna krem mengilap memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal yang menjuntai megah di tengah langit-langit ruangan.
Di salah satu sisi dinding, sebuah proyektor aktif menampilkan wallpaper kota metropolitan di malam hari—pemandangan yang bergerak perlahan, seolah membawa kesan hidup ke dalam ruangan itu.
Di sisi kiri, berdiri tangga spiral berbalut marmer putih dan pegangan kayu mahoni yang melingkar anggun menuju lantai atas. Nuansa hangat menyebar ke seluruh ruangan dari lampu-lampu temaram berwarna kuning keemasan, menciptakan atmosfer yang tenang dan bersahaja.
Tak sulit untuk menyadari bahwa pemilik rumah ini memiliki ketertarikan mendalam terhadap seni. Hampir setiap sudut ruangan dihiasi karya-karya artistik—mulai dari guci porselen buatan tangan, lukisan klasik bergaya impresionis, hingga patung-patung kecil berbahan perunggu yang ditempatkan dengan cermat.
Di pojok kanan ruangan, sebuah lemari kaca tinggi menjulang hingga menyentuh plafon, berisi koleksi benda-benda seni dari kristal—dari miniatur hewan, ornamen bunga, hingga perhiasan kaca yang dipahat dengan detail luar biasa.
Tak jauh dari tangga spiral, terpampang jelas deretan foto keluarga besar Harrison yang tersusun rapi di dinding. Bingkai-bingkai berwarna perak itu menampilkan potret-potret dari berbagai momen, mulai dari pernikahan, kelahiran, hingga acara keluarga yang tampak hangat dan formal.
“Bi... Bibi...” panggil Nayara pelan, melangkah lebih dulu ke dalam ruangan.
Tidak lama kemudian, muncullah seorang wanita paruh baya dengan pakaian seragam pelayan berwarna abu-abu lembut. Wajahnya berseri dan penuh wibawa, menunjukkan bahwa dia bukan pelayan sembarangan. Namanya Yeni—kepala pelayan di rumah megah keluarga Harrison. Wanita itu telah mengabdi kepada keluarga Nayara bahkan jauh sebelum Nayara dilahirkan. Oleh karena itu, Nayara selalu memperlakukannya dengan penuh hormat, layaknya bagian dari keluarga sendiri.
Apalagi dengan kepribadian Nayara yang lembut dan soft spoken, dia jarang sekali berbicara keras, baik kepada orang tua, teman, maupun pekerja rumah sekalipun. Sikap tenangnya itu mengingatkan orang-orang pada Maria—ibu kandungnya yang telah tiada.
“Ehh, Non Naya... Bibi pikir siapa tadi... Sudah lama sekali tidak datang," ujar Yeni sambil tersenyum lebar dan menundukkan kepala dengan sopan.
Bukan rahasia lagi bagi siapa pun di rumah itu bahwa Nayara memang jarang pulang ke kediaman utama keluarga Harrison. Meski rumah ini adalah tempat tumbuh kembangnya sejak kecil, namun setelah dewasa Nayara lebih memilih tinggal di apartemennya sendiri. Sesekali ia memang pulang, tapi waktunya bisa dihitung dengan jari. Maka tak heran bila kemunculannya malam ini cukup mengejutkan.
Hal itu berkaitan dengan kepergian sang ibu beberapa tahun lalu—peristiwa yang mengubah Nayara menjadi sosok yang pendiam, tertutup, dan acuh tak acuh terhadap keluarga maupun para kerabatnya. Kesedihan yang mendalam membuatnya menarik diri dari lingkaran sosial keluarga besar Harrison.
Bahkan, sejak kecil, Nayara kerap menjadi sasaran ejekan dan perundungan dari sepupu-sepupunya. Semua itu semata karena penampilannya yang sederhana dan tidak mencerminkan gaya hidup kaum elit seperti anggota keluarga Harrison lainnya.
Padahal, Nayara adalah putri tunggal dari keluarga Harrison, yang dikenal luas di dunia bisnis sebagai salah satu trah terpandang dengan kekayaan dan nama besar yang tak terbantahkan. Namun, berbeda dari ekspektasi banyak orang, wanita berusia 24 tahun itu tidak pernah memiliki ketertarikan terhadap kemewahan, pesta, atau gaya hidup borjuis yang melekat pada namanya.
Alih-alih menghambur-hamburkan uang warisan keluarga, Nayara lebih memilih hidup hemat dan bijak dalam menggunakan uang. Bukan karena ia tidak mampu atau tidak menyukai belanja, melainkan karena ia enggan memusingkan diri dengan urusan-urusan yang menurutnya tidak penting. Bagi Nayara, hal-hal sederhana seperti ketenangan, kemandirian, dan kebebasan berpikir jauh lebih berharga daripada berlian dan gaun-gaun mahal.
Sayangnya, prinsip hidupnya itu membuat Nayara kerap dipandang sebelah mata oleh sepupu-sepupunya yang terbiasa tampil glamor. Ia sering kali dikucilkan dalam pertemuan keluarga, seolah tidak pantas berada di lingkaran mereka.
Namun tak peduli berapa banyak orang yang mencibir atau membencinya, satu hal tetap tak bisa diubah—Nayara adalah satu-satunya pewaris sah keluarga Harrison. Cepat atau lambat, ia yang akan menggantikan posisi sang ayah sebagai kepala keluarga. Sekalipun seluruh dunia menentangnya, posisi itu tidak akan berpindah ke tangan siapa pun, karena hukum pun berpihak padanya.
“Iya, aku ada urusan dengan Papa. Oh iya, di mana beliau? Kenapa rumah gelap begini?” tanya Nayara heran, pandangannya menyapu ruangan yang hanya diterangi cahaya remang.
“Tuan mungkin sedang berada di ruang kerjanya, Nona. Tadi beliau memang meminta Bibi untuk menyiapkan jamuan, tapi tidak mengatakan bahwa yang datang adalah Nona. Lampu sengaja diredupkan karena tadi Tuan sempat duduk di sini,” jawab Yeni dengan sopan. Ia sangat memahami kebiasaan sang majikan yang memang tidak menyukai cahaya terang di ruang utama.
“Ah, begitu... Tolong atur pencahayaan jadi normal, Bi. Dan siapkan jamuannya untuk mereka, biar aku saja yang panggil Papa,” ujar Nayara tenang.
Yeni mengangguk cepat, lalu membungkuk kecil sebagai isyarat pamit sebelum melangkah pergi untuk menjalankan perintah Nayara. Saat itu pula lampu kristal di tengah ruangan mulai berubah—dari cahaya kekuningan yang temaram menjadi putih terang, menampilkan kembali kilau ruangan megah tersebut. Itu semua berkat pengaturan otomatis yang dikendalikan Yeni dari panel pengatur pencahayaan.
Menyadari bahwa ia telah membuat keluarga dari calon suaminya menunggu tanpa kepastian, Nayara segera berbalik dan menatap mereka dengan tatapan meminta maaf.
“Maaf sudah membuat kalian menunggu. Silakan duduk... sekali lagi, aku minta maaf,” ucap Nayara dengan nada lembut dan penuh kesopanan. Setelah melihat semua tamu mulai duduk, Nayara kembali berbicara sambil memberi sedikit senyum sopan.
“Aku minta maaf, tapi aku harus memanggil Papa terlebih dahulu. Mommy dan semuanya, anggap saja ini rumah sendiri, ya. Kalau butuh apa pun, mintalah pada Bibi Yeni, beliau akan melayani kalian,” tambahnya sebelum melangkah pergi meninggalkan ruangan, menuju arah ruang kerja sang ayah.
Semua yang mendengarnya hanya mengangguk pelan. Meski suasana masih terasa kaku, namun sikap tenang dan sopan Nayara berhasil mencairkan sedikit ketegangan yang ada sejak kedatangan mereka.