NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:296
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menempa Ulang Mahkota

Pertanyaan Isabella menggantung di udara aula perjamuan yang sunyi senyap itu seperti pedang Damocles yang berkarat. "Siapa di antara kalian yang akan menjadi eksekutornya?"

Itu bukan sekadar pertanyaan. Itu adalah sebuah ujian, sebuah penempaan, sebuah ritual berdarah yang dirancang untuk memisahkan gandum dari sekam, loyalitas sejati dari kepatuhan karena kebiasaan. Para kapten yang tersisa, yang beberapa menit lalu masih tertawa dan bersulang, kini berdiri membeku. Wajah mereka adalah kanvas dari emosi yang saling bertentangan: kengerian atas pengkhianatan yang baru saja terungkap, rasa takut akan kekuasaan absolut yang ditampilkan Ratu mereka, dan konflik batin yang menyiksa karena perintah yang baru saja ia berikan.

Membunuh seorang pengkhianat adalah satu hal. Tapi mengeksekusi Antonio Valli—Paman Antonio, sang bendahara, pilar dari dunia lama yang telah mereka kenal seumur hidup—adalah hal lain. Itu adalah tindakan membunuh masa lalu.

Antonio Valli, yang tadinya duduk membeku karena syok, kini mulai gemetar. Topeng wibawanya telah hancur, menyisakan hanya wajah seorang pria tua yang ketakutan, yang rencananya yang telah ia bangun selama puluhan tahun runtuh menjadi debu dalam sekejap. "Isabella... keponakanku..." ia mulai memohon, suaranya serak. "Jangan lakukan ini. Ini salah paham. Serena... Serena yang memanipulasiku! Dia dibutakan oleh ambisi!"

Serena, yang ditodong oleh dua anggota Legiun, hanya menatap ayahnya dengan tatapan dingin yang menghina. Bahkan di ambang kehancurannya, ia tidak menunjukkan penyesalan, hanya kemarahan karena telah gagal. Ia tidak memohon. Ia hanya menatap Isabella dengan kebencian murni, seolah menantangnya.

Isabella tidak memedulikan mereka berdua. Matanya yang dingin hanya menyapu wajah para kaptennya yang masih ragu. Ia melihat keraguan di mata mereka, pertarungan antara tradisi dan perintahnya yang kejam. Ia tahu, momen ini akan menentukan segalanya. Apakah mereka akan mengikutinya ke dalam era baru yang brutal ini, atau apakah kerajaannya akan retak dan hancur malam ini juga?

Leo berdiri diam di sisinya, menjadi bayangannya yang tenang. Ia tidak ikut campur. Ini adalah momen Isabella. Ini adalah penobatannya yang sesungguhnya.

Keheningan itu begitu pekat hingga suara detak jantung terasa seperti genderang. Lalu, satu orang bergerak.

Bukan Marco, yang rahangnya mengeras karena amarah tetapi masih ragu untuk menumpahkan darah seorang "tetua". Bukan pula kapten-kapten muda yang terlalu takut untuk menjadi yang pertama. Yang melangkah maju adalah Capo Rinaldi, seorang pria berusia akhir limapuluhan, dengan rambut yang mulai memutih dan wajah yang dipenuhi kerutan. Rinaldi adalah kapten dari faksi pelabuhan, seorang pria yang jarang bicara dalam rapat dewan, lebih suka bekerja dalam diam. Ia adalah sahabat terdekat ayah Isabella.

Ia berjalan perlahan ke depan, melewati para kapten lain yang menatapnya dengan kaget. Ia berhenti di hadapan Isabella dan membungkuk dalam-dalam. "Ratu-ku," katanya, suaranya berat karena kesedihan dan resolusi. "Ayahmu pernah berkata, 'Rumah yang membiarkan ularnya hidup di dalamnya akan runtuh dari dalam'. Loyalitas utama kita bukanlah pada persahabatan, tetapi pada kesehatan dan kelangsungan hidup Keluarga ini."

Ia menegakkan tubuhnya dan menatap Antonio Valli, tatapannya tidak menunjukkan kemarahan, hanya kekecewaan yang mendalam. "Kau adalah saudaraku, Antonio. Tapi kau telah menjadi penyakit. Dan penyakit harus disingkirkan."

Isabella menatap Rinaldi, dan di matanya ada kilat pengakuan. Inilah loyalitas sejati. Loyalitas pada prinsip, bukan pada pribadi. Ia mengangguk pelan. Ia tidak menyerahkan pistolnya. Sebaliknya, ia berjalan ke sebuah lemari pajangan di dinding, di mana koleksi senjata antik ayahnya dipajang. Ia mengambil sebilah belati Stiletto Italia kuno, dengan gagang gading dan bilah yang ramping dan tajam.

Ia kembali dan menyerahkan belati itu pada Rinaldi. "Ini adalah pusaka keluarga. Digunakan untuk menyegel sumpah dan menghukum pengkhianat," kata Isabella, suaranya bergema di ruangan itu. "Lakukan dengan terhormat."

Rinaldi menerima belati itu. Ia berjalan ke arah Antonio Valli, yang kini menangis tanpa suara, tubuhnya gemetar tak terkendali. Para anggota Legiun yang menahannya memaksanya berlutut.

"Maafkan aku, saudaraku," bisik Rinaldi. Lalu, dengan satu gerakan yang cepat, tepat, dan tanpa keraguan, ia menghujamkan belati itu tepat ke jantung Antonio.

Antonio Valli tersentak, matanya yang terbelalak menatap langit-langit seolah mencari pengampunan, sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke lantai marmer putih yang dingin. Darah merembes keluar, menciptakan sebuah lukisan abstrak yang mengerikan di sekitar tubuhnya.

Kepala ular itu telah dipenggal.

Keheningan yang mengikuti eksekusi itu terasa sakral dan mengerikan. Bau darah yang samar mulai bercampur dengan aroma makanan mewah yang belum sempat disantap. Isabella telah melewati batas. Ia telah mengubah sebuah perjamuan menjadi sebuah pengadilan, dan sebuah pengadilan menjadi sebuah ritual pengorbanan.

Ia kemudian berbalik, matanya yang dingin kini tertuju pada tiga kapten pengkhianat lainnya, yang wajahnya kini pucat pasi karena ketakutan. Mereka mulai memohon ampun, menyalahkan Antonio, mengatakan bahwa mereka hanya dipaksa.

"Diam," kata Isabella, suaranya memotong permohonan mereka seperti pecahan kaca. Ia berjalan perlahan di depan mereka, seperti seekor singa betina yang sedang memeriksa mangsanya yang gemetar. "Kalian tidak akan mati malam ini," katanya, membuat mereka menatapnya dengan secercah harapan.

Harapan itu segera dihancurkan.

"Kalian tidak pantas mendapatkan kematian yang terhormat sebagai bagian dari keluarga ini," lanjutnya, suaranya sedingin es. "Kematian terlalu mudah bagi kalian. Mulai detik ini, nama kalian dihapus dari buku besar kita. Semua aset kalian—rumah, mobil, bisnis, rekening bank—semuanya kini menjadi milik Keluarga. Istri dan anak-anak kalian akan diberi waktu satu jam untuk mengemas satu koper dan diantar ke luar batas kota. Kalian sendiri akan ditelanjangi, dicap dengan tanda pengkhianat, dan dilempar ke jalanan. Kalian tidak lagi ada. Kalian adalah hantu. Jika ada di antara kalian yang pernah terlihat lagi di Jakarta, atau jika ada keluarga lain yang cukup bodoh untuk mempekerjakan kalian, maka perburuan akan dimulai. Mengerti?"

Itu adalah sebuah vonis yang lebih buruk dari kematian. Di dunia mereka, kehilangan status, nama, dan perlindungan keluarga adalah neraka yang hidup. Mereka akan menjadi mangsa bagi setiap preman kecil atau musuh lama yang ingin membalas dendam.

Mereka diseret keluar oleh anggota Legiun, tangisan dan permohonan mereka menggema sesaat sebelum akhirnya lenyap di balik pintu baja yang tertutup.

Kini, hanya tersisa Serena.

Ia berdiri dengan dagu terangkat, menantang, bahkan saat dua senjata menempel di pelipisnya. Ia tidak menangis. Matanya yang indah membakar Isabella dengan kebencian murni.

Isabella berjalan mendekatinya, langkahnya anggun dan mematikan. Ia berhenti tepat di depan Serena, begitu dekat hingga mereka bisa merasakan napas satu sama lain.

"Kau dan aku," bisik Isabella. "Kita bisa saja menjadi saudara. Kita tumbuh bersama. Aku selalu iri pada kecantikanmu, pada pesonamu."

"Dan aku selalu membenci bayang-bayangmu," desis Serena. "Kau mendapatkan segalanya tanpa berusaha, hanya karena nama ayahmu. Sementara aku... aku jauh lebih pantas."

"Mungkin," kata Isabella. "Tapi kau tidak punya satu hal yang paling penting. Loyalitas." Ia mengambil kembali belati Stiletto yang berlumuran darah dari tangan Rinaldi yang masih terguncang. Ia mengusap bilahnya hingga bersih di taplak meja sutra. "Kau selalu menggunakan kecantikanmu sebagai senjata utamamu, Serena. Untuk memanipulasi, untuk merayu, untuk mendapatkan apa yang kau inginkan."

Ia mengangkat belati itu. Serena tersentak, untuk pertama kalinya menunjukkan rasa takut.

"Aku tidak akan membunuhmu," kata Isabella pelan, suaranya kini terdengar sangat mengerikan. "Aku akan melucuti senjatamu."

Dengan satu gerakan yang cepat dan sangat presisi, Isabella menyayatkan ujung belati itu di sepanjang pipi porselen Serena, dari dekat matanya hingga ke sudut bibirnya. Itu bukan sayatan yang dalam, tetapi cukup untuk meninggalkan bekas luka permanen yang mengerikan.

Serena menjerit, bukan karena rasa sakit, tetapi karena kengerian saat merasakan darah hangat mengalir di wajahnya.

"Sekarang," bisik Isabella di telinga Serena yang gemetar. "Setiap kali kau melihat cermin selama sisa hidupmu yang menyedihkan, kau tidak akan melihat seorang ratu yang ambisius. Kau akan melihat wajah seorang pengkhianat. Bawa dia pergi. Lemparkan dia ke jalanan yang sama dengan para pecundang lainnya."

Saat Serena diseret keluar sambil menjerit histeris, Isabella akhirnya berbalik menghadap para kaptennya yang tersisa. Mereka semua menatapnya dengan ekspresi baru. Rasa takut, ya. Tapi juga rasa hormat yang mutlak dan tak tergoyahkan. Ia telah membersihkan rumahnya dengan api dan baja.

"Rumah ini telah dibersihkan," katanya, suaranya kini kembali menjadi suara seorang Ratu. "Darah pengkhianat telah menyucikan lantainya. Sekarang, kalian pilih."

Ia menatap mereka satu per satu, matanya menembus jiwa mereka. "Berlutut dan bersumpah setia pada Keluarga yang baru ini. Keluarga Rosales yang ditempa ulang malam ini dalam darah dan pengkhianatan. Bersumpah setia kepadaku, bukan hanya sebagai pewaris, tetapi sebagai Ratu kalian yang sah. Atau, pintu itu masih terbuka. Berjalanlah keluar sekarang, dan kalian akan dianggap sebagai orang asing selamanya."

Tidak ada keraguan. Dipimpin oleh Capo Rinaldi yang berwajah muram, diikuti oleh Marco yang kini tampak sepuluh tahun lebih tua namun seratus kali lebih setia, satu per satu dari mereka berlutut di atas lantai marmer yang ternoda darah Antonio Valli. Mereka menundukkan kepala mereka dan mengucapkan sumpah setia yang baru, sebuah sumpah yang disegel oleh kekerasan dan ketakutan malam itu. Sumpah yang tak akan pernah bisa dipatahkan.

Mahkota Isabella telah ditempa ulang.

Beberapa jam kemudian, aula perjamuan itu telah kembali bersih. Tim pembersih khusus telah bekerja dalam keheningan, menghilangkan setiap jejak dari drama berdarah yang baru saja terjadi. Lantai marmer kembali berkilau, meja-meja telah ditata ulang. Hanya bau samar pemutih yang tertinggal, sebuah pengingat akan dosa yang telah dicuci.

Leo dan Isabella berdiri sendirian di ruang perang, adrenalin dari malam yang panjang itu akhirnya surut, meninggalkan kekosongan yang aneh dan realitas yang berat dari apa yang telah mereka lakukan. Mereka tidak hanya membunuh seorang pengkhianat. Mereka telah meruntuhkan sebuah pilar dari dunia mereka, dan kini mereka harus membangun kembali di atas fondasi yang baru dan tidak stabil.

Isabella bersandar ke konsol, tubuhnya akhirnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan. "Apakah aku melakukan hal yang benar, Leo?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar. Untuk pertama kalinya, sang Ratu yang perkasa itu terdengar ragu.

Leo berjalan ke arahnya dan berdiri di belakangnya, meletakkan tangannya di bahu Isabella, memijatnya dengan lembut. "Kau melakukan apa yang harus dilakukan," jawabnya. "Kau menunjukkan kepada mereka bahwa ada konsekuensi dari pengkhianatan. Kau menyatukan mereka di bawah panjimu dengan cara yang paling kuat. Melalui rasa takut dan rasa hormat."

"Aku melihat wajah mereka," kata Isabella. "Mereka takut padaku sekarang."

"Mereka harus takut," balas Leo. "Itulah yang membuat seekor singa betina tetap menjadi ratu di kawanannya. Mereka tidak hanya mencintainya; mereka menghormati cakarnya."

Ia memutar tubuh Isabella untuk menghadapnya. Ia melihat ke dalam matanya yang lelah dan dihantui oleh bayangan malam itu. Di dunia yang penuh dengan kebohongan dan topeng, di antara mereka berdua, tidak ada lagi rahasia. Mereka telah melihat sisi tergelap dari satu sama lain, dan mereka tidak berpaling. Justru, kegelapan itu menarik mereka lebih dekat.

Ikatan mereka kini melampaui cinta atau hasrat. Itu adalah ikatan dua orang yang telah berbagi dosa, yang telah menyeberangi batas moral bersama-sama. Keintiman mereka lahir dari pertumpahan darah.

Leo menundukkan kepalanya dan menciumnya. Ciuman itu berbeda dari semua ciuman mereka sebelumnya. Tidak ada gairah yang meledak-ledak, tidak ada kelembutan yang menenangkan. Ciuman itu gelap, dalam, dan penuh dengan rasa memiliki yang primal. Itu adalah ciuman dua orang yang telah menjadi dewa di dunia kecil mereka, yang telah memutuskan hidup dan mati.

Gairah yang mengikuti adalah gema dari kekerasan malam itu. Itu adalah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk merasakan sesuatu yang lain selain dinginnya kematian dan pengkhianatan. Itu adalah cara untuk menegaskan kembali kehidupan di tengah abu dari dunia mereka yang lama.

Adegan cinta mereka adalah sebuah ritual yang gelap dan penuh kuasa. Itu bukan tentang kenikmatan, melainkan tentang penegasan kembali ikatan mereka sebagai satu-satunya hal yang nyata di alam semesta mereka. Di atas meja holografik yang dingin, tempat mereka merencanakan perang dan pembersihan, mereka saling mengklaim dengan intensitas yang hampir menyakitkan. Setiap sentuhan adalah sebuah sumpah, setiap erangan adalah sebuah pengakuan dosa bersama. Itu adalah gairah yang lahir dari kegelapan, sebuah tarian yang liar dan tanpa penyesalan antara Ratu yang baru dinobatkan dan sang Alkemis yang telah menjadi Raja bayangannya. Bagi pembaca, "panas" dari adegan ini adalah panas dari api neraka yang telah mereka lewati bersama, sebuah keintiman yang transgresif dan total yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.

Setelahnya, saat mereka terbaring dalam keheningan yang nyaman, tubuh mereka terjalin, Leo menatap salah satu layar yang masih menyala, menampilkan buku besar digital peninggalan Jäger.

"Apa sekarang?" bisik Isabella, suaranya lelah namun puas. "Perang sudah berakhir."

Leo menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak," katanya. "Perang yang baru saja kita menangkan hanyalah sebuah pertempuran kecil di halaman belakang rumah kita."

Ia mengulurkan tangannya dan menyentuh layar itu, membuat daftar nama klien Jäger dari seluruh dunia bergulir. "Antonio Valli hanyalah satu nama dalam daftar ini, Isabella. Dia pikir dia pemain, padahal dia hanya bidak dalam permainan yang jauh lebih besar."

Isabella bangkit, menatap layar itu dengan minat yang baru.

"Lihatlah nama-nama ini," lanjut Leo, suaranya kini dipenuhi oleh ambisi yang dingin dan tak terbatas. "Bankir, politisi, jenderal, CEO. Orang-orang yang benar-benar mengendalikan dunia. Dan kita... kita memiliki rahasia tergelap mereka. Kita memiliki tali kekang mereka."

Paradigma di benak Isabella bergeser. Visi Leo yang luar biasa terbuka di hadapannya.

"Kita berhenti menjadi gangster, Isabella," kata Leo, matanya berkilat dalam cahaya monitor. "Menjadi gangster itu kecil, kotor, dan terbatas pada satu kota. Kita akan menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih besar."

"Kita akan menjadi bank," lanjutnya. "Sebuah bank rahasia. Aset kita bukanlah uang atau narkoba. Aset kita adalah dosa. Kita akan memperdagangkan informasi. Kita akan memberikan pengaruh. Kita tidak akan lagi memperebutkan wilayah pelabuhan. Kita akan mengendalikan para politisi yang membuat peraturan pelabuhan itu. Kita tidak akan lagi menyelundupkan barang. Kita akan mengendalikan para CEO yang memiliki perusahaan pengiriman itu."

Ia menatap Isabella, matanya menyala dengan janji akan kekuasaan yang tak terbayangkan. "Kita tidak akan memerintah Jakarta. Kita akan memerintah orang-orang yang memerintah dunia, dari bayang-bayang."

Skala dari visi itu begitu besar, begitu agung, hingga membuat napas Isabella tercekat. Perang saudara yang baru saja ia menangkan kini terasa seperti pertengkaran anak-anak. Leo baru saja memberinya sebuah peta menuju penaklukan dunia.

Ia menatap daftar nama di layar itu, lalu ke wajah Leo, sang Alkemis, sang Jenderal, sang kekasihnya, sang Raja bayangannya. Senyum yang perlahan menyebar di wajahnya adalah senyum yang paling berbahaya, paling ambisius, dan paling hidup yang pernah ia tunjukkan.

Ia menelusuri satu nama di layar dengan jarinya—nama "Serigala Alpen", sang bankir Swiss. Suaranya adalah bisikan yang seduktif dan penuh dengan janji akan kekacauan global yang akan datang.

"Aku suka menu barumu, sexy chef," katanya.

Ia menatap Leo, mata mereka terkunci dalam pemahaman yang sempurna tentang masa depan mereka yang baru dan tak terbatas.

"Katakan padaku... hidangan pembuka pertama kita di panggung dunia, akan kita sajikan panas atau dingin?"

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!