Ruby Rikaya terpuruk, setelah kepergian bayi mungilnya. Dan pada saat itu ia juga mendapat perceraian dari suaminya-Ganesha Maheswara. Beberapa bulan pulih, Ruby akhirnya menerima lamaran dari mantan kekasihnya dulu-Gama.
Namun, masalah tidak berhenti disitu. Ruby terpaksa menuruti permintaan terakhir sahabatnya-Fatimah, setelah insiden kecelakaan yang merenggut nyawa sahabatnya itu. Dalih menjadi Ibu susu, Fatimah juga meminta Ruby untuk menggantikan posisinya.
Di campakan selama 2 tahun pernikahannya, rupanya hal itu membuat Ruby ingin menyerah.
Namun, suatu hal serius sedang menimpa putri sambungnya-Naumi. Bocah berusia 4 tahun itu di vonis mengidap Cancer darah (Leukimia)
Tidak ada pendonor sel darah yang cocok. "Jalan satu-satunya Bu Ruby harus hamil anak kedua!" Papar sang Dokter.
Dan hanya darah dari plasenta sang adiklah, yang nantinya akan menyelamatkan nyawa Naumi.
Cinta sudah hilang, perceraian menanti diujung jurang. Disisi lain, ada nyawa yang harus Rubi selamatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasil lab Naumi. Canser darah?!
Kalimat barusan bagaikan anak panah yang menancap dari segala sisi tubuhnya. Mahendra membeku ditempat, tak dapat melangkah lebih. "Aku semakin merasa bersalah atas kalimatmu barusan!" Jawabnya dengan netra tak luput dari ruangan sang putri.
Ardiansyah hanya mampu mendesah lemah. Meski ada perasaan tak tega melihat adiknya terpuruk, namun semua masalah itu bermula dari ulah Mahendra sendiri. "Lebih baik kau ceraikan saja Ruby, agar dia hidup dengan tenang!"
Mahendra reflek menoleh. Wajahnya menolak, hingga sorot matanya berubah tajam. "Bagaimana mungkin? Itu sama saja aku membunuh putriku secara perlahan!"
"Tapi tanpa sadar kau sudah melakukanya. Kau tidak hanya membunuh mimpi Naumi. Tapi kau sudah merusak permintaan terakhir Fatimah! Aku yakin, dia pasti menangis melihat caramu memperlakukan sahabat baiknya seperti ini!" Ardiansyah hanya mampu tersenyum getir.
"Mas, sejak dulu pun aku tidak pernah menyukai Fatimah! Aku seperti ini semua itu karena Ruby. Cintaku kepadanya hanya bertepuk sebelah tangan. Dia tidak pernah mencintaiku!" Tekan Mahendra yang kini dadanya mulai bergemuruh.
Ardiansyah berjalan pelan kesembarang arah. "Rumah tanggamu sekarang sudah berada diujung tanduk! Kau hanya tinggal menunggu saja bom waktu yang tepat. Dengan begitu, ledakannya akan membuat hidupmu semakin berantakan."
Mahendra masih tetap diam. Perasaan takut mulai menjalar kedalam darahnya. Hati kecilnya berontak, hingga membuat langkah lebarnya semakin mantab masuk kedalam.
"Aku sudah mencarimu di rumah, tapi kau pergi." Mahendra berhenti di sebelah ranjang menatap Ruby den.
Tak satu kalimat pun Ruby lontarkan. Ia masih menatap tenang, sambil mendekap putri kecilnya. 'Demi apa, aku sangat membencimu, Mahendra!' batin Ruby menatap muak.
"Aku harap kau dapat menurunkan egomu demi Naumi." Lanjut kembali Mahendra. Ia melangkah lebih dekat, sembari tanganya terulur untuk menyentuh dahi putrinya.
Hening, senyap, ruangan serba putih itu bagaikan tiada penghuninya.
Ceklek!
Pintu terbuka dari luar. Seorang Perawat datang sembari mengulas senyum hangat. "Permisi Pak, Bu ... Saya mau mengambil sampel darah Adik Naumi dulu."
Ruby sudah bangkit. Ia mengangguk, namun sorot matanya tampak resah, mengingat sang putri sedang terlelap tidur. Melihat itu, perawat tadi seakan tahu. "Anda tidak perlu cemas, Bu! Lihatlah," kata Perawat tadi.
Dan benar saja, begitu jarum, disuntikan, Naumi hanya tersentak sedikit, lalu kembali tidur lagi. Tanpa sadar, Ruby berhasil mengulas senyum tipis.
"Sudah 'kan, Bu. Kalau begitu saya permisi. Untuk hasilnya, mungkin lusa baru keluar."
"Terimakasih, Sus!" Ruby kembali merebahkan tubuhnya memeluk sang putri. Ia kecup beberapa kali, sembari mengusap kepala Naumi.
Pintu terbuka kembali. Bu Indah dan Ardiansyah masuk. "Masih tidur?" Tanya Bu Indah sembari mendekat.
"Baru saja diambil sample darahnya," kata Mahendra.
"Ruby, apa Ibu pulang tidak apa-apa? Besok Ibu akan kesini lagi." Untuk pertama kalinya Bu Indah menepuk lengan Ruby, menjabarkan kalimatnya dengan begitu lembut.
"Tidak ada yang perlu Ibu cemaskan. Pulanglah!" Ruby menjawabnya dengan menatap.
"Biar besok Sinta yang menemanimu, jika Mahendra meting. Aku pamit dulu!" Kata Ardiansyah menatap Ruby.
Ruby hanya mengangguk lemah. Dua orang tadi sudah keluar, dan tinggallah keluarga kecil itu. Mahendra hanya diam menatap kearah ranjang. Sementara Ruby, ia mencoba memejamkan matanya, menyusul sang putri didalam mimpi.
***
Pengadilan Agama Bandung
Pagi ini sesuai permintaan Clientnya, pengacara Ruby yang di temani Arman, kini mereka berdua mendaftarkan gugatan cerai Ruby ke pengadilan. Seharusnya Ruby pagi ini mengikuti jalannya proses pendaftaran. Namun mengingat Putrinya sedang di rawat, jadi ia wakilkan saja pada pengacaranya.
"Silahkan tunggu sebentar! Ini nomor antriannya!" Ujar resepsionis didepan.
"Baik!" Ucap Pak Dio. "Mari Pak Arman, kita duduk dulu!"
Setelah menunggu beberapa menit, Pak Dio sudah menyerahkan berkas-berkas milik Clientnya. Gugatan Ruby diantaranya ...
~Tidak ada komunikasi yang terjalin dengan baik.
~Pisah ranjang sejak awal menikah (tidak pernah tidur satu ranjang semenjak menikah)
~Tidak pernah mendapat hak nafkah batin semestinya.
~Pihak tergugat lebih mementingkan teman perempuannya, dari pada rumah tangganya sendiri.
Setelah duduk perkara itu terbaca, pihak pengadilan menerima ajuan gugatan cerai yang Ruby layangkan. Dan untuk hal asuh anak, Ruby tidak memiliki kuasa apapun. Begitu juga ia tidak menggugat hak nafkah kepada Mahendra.
"Apa pihak penggugat datang, atau diwakilkan?" Tanya petugas pengadilan kembali.
"Semuanya diserahkan kepada saya!" Ucap Pak Dio.
"Baik, untuk sidang pertamanya, nanti saya kirimkan tanggalnya." Jawab kembali petugas pengadilan.
Setelah proses pendaftaran selesai, Pak Dio mengajak Arman untuk kembali. Dan saat ini mereka berpisah di halaman pengadilan.
"Terimakasih banyak, Pak Dio!" Ucap Arman setelah menjabat tangan pengacara tadi.
Pak Dio mengangguk, "Sama-sama, Pak Arman! Nanti setelah mendapat jadwal sidang, nanti segera saya kabarkan. Kalau begitu saya permisi!"
Keduanya berpisah. Arman langsung masuk kedalam mobilnya. Pria itu segera mengeluarkan gawai miliknya untuk menghubungi sang Adik.
Sementara di Rumah Sakit, Ruby baru saja selesai menggantikan baju untuk Naumi. Dan kebetulan pukul 9 tadi Sinta sudah datang.
Drttt!!
Mendengar gawai Ruby bergetar diatas nakas, Sinta langsung memberitahu Iparnya itu. "Arman menelfon!"
Ruby segera mengambil gawainya. "Titip Naumi sebentar. Aku keluar dulu!" Sinta mengangguk, dan membiarkan Ruby keluar sejenak.
Setelah memastikan pintu itu tertutup rapat, Ruby mulai menjawab panggilan sang Kakak. "Bagaimana, Mas?"
"Semuanya berjalan lancar! Kita tinggal menunggu jadwal sidang perdanamu saja. Mas rasa hanya itu. Oh ya, nanti Mas akan mampir kesana setelah menjemput Mamah." Ujar Arman disebrang.
Ruby mencoba membesarkan hatinya. Rela tidak rela, ia harus melakukan hal yang semestinya. "Ya sudah, aku matikan."
Dari lorong, Mahendra sempat melihat Istrinya tampak privat melakukan panggilan itu. Rasa curiga semakin besar, hingga mempercepat langkah kakinya mendekat. Pukul 11 itu, ia baru saja selessi meting dan langsung kembali lagi ke Rumah Sakit.
Ruby tersentak. Tapi beruntunglah ia sudah mengakhiri panggilan itu. Berwajahkan datar, ia hanya melenggang masuk kedalam. Namun belum sampai pintu, tangannya ditahan Mahendra.
"Lepaskan!" Tekan Ruby.
Bukanya melonggar, Mahendra semakin menguatkan cengkraman tanganya. "Siapa yang menelfon mu, sampai kau harus mengangkatnya di luar?!"
"Kau menuduhku sementara kau sendiri juga melakukanya!" Tanpa menatap, Ruby tersenyum kecut.
Mahendra merasa terpojokan. "Aku sedang berbicara denganmu, Ruby! Tataplah wajahku!"
Ruby semakin tertantang dengan dorongan kalimat suaminya itu. Ia kini mendongakan sedikit wajahnya, mengunci tatapan mata Mahendra. "Ingat Mahendra, aku bukan dirimu yang mencari pelampiasan karena suatu perkara! Jadi stop mencurigaiku dengan pikiran kotormu itu!" Ruby sampai menunjuk dada suaminya.
Begitu genggaman itu melonggar, Ruby langsung masuk kedalam begitu saja. Ia tahan nafas dalam-dalam, seketika raut wajahnya berubah ceria.
Mahendra menyunggar kasar rambut kepalanya. "Arghhh!" Dadanya bergemuruh, hingga nafasnya terlihat naik turun.
Tak berselang lama, Perawat wanita datang.
Ceklek!
"Ibu, Pak Mahendra. Anda sudah ditunggu Dokter di ruanganya. Hasil lab Naumi sudah keluar. Saya permisi!" Pamit Perawat tadi.
"Kau tinggal saja. Cepat keluarlah!" Sinta mengerti akan kecemasan wajah Ruby. "Semoga saja hasil labnya membaik. Jangan terlalu berpikir lebih." Diusapnya lengan Ruby.
Ruby menoleh Sinta sekilas. Ia mengangguk lemah, kembali menatap kearah sang Putri yang masih asik bermain. Baru kali ini Naumi mau bermain, setelah tadi ia rewel kembali.
Mahendra membuka separu pintu. "Ayo, Dokter sudah menunggu kita!" Panggilnya pada sang Istri.
Ruby tak menyahut apa-apa. Ia keluar bukan karena ajakan Mahendra, melainkan memang perintah sang Dokter tadi. Keduanya berjalan berdampingan, naik kedalam lift menuju ruangan Dokter anak.
Begitu tiba, Ruby masuk terlebih dulu, baru diikuti Mahendra dari belakang. Keduanya sudah dipersilahkan Dokter untuk duduk.
"Hasil lab pasien Naumi sudah keluar, Pak, Bu! Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Naumi pernah mengalami mimisan yang berlebihan?" Raut wajah Dokter pria itu tampak serius menatap kedua orang didepanya secara berganti.
Perasaan Ruby sudah mulai tak enak. Wajahnya seketika berubah cemas, menatap sang Dokter dengan sorot mata sendu. "Sepertinya tidak pernah, Dok! Tapi, setelah masuk rumah sakit pertama, keadaan Putri saya jadi lebih mudah lelah. Dan suhu tubuhnya juga sering meningkat."
"Apa terjadi sesuatu yang serius, Dok?" Mahendra yang sudah resah, tanpa basa-basi langsung bersuara.
Dokter menyodorkan hasil lab milik Naumi. "Saya harap, Bapak dan Ibu dapat tabah menerima. Silahkan di buka!"
Ruby mengambil surat hasil lab itu. Tanganya sudah gemetar dan perlahan surat lab itu terbuka. Ada satu titik kalimat yang membuat pandangan Ruby seketika kabur. Matanya melebar, bahkan jantungnya berhenti berdetak. Dunianya seketika runtuh dalam sekejap.
Cancer Darah!
kmrn sudah menginjak harga diri dan mengusirmu dari rumah
terimakasih sudah mengikuti kakak2ku semua🙏😍
drpd tiap hari hnya jd pengasuh