Meluluhkan Hati Tuan Ferguson
Lima tahun adalah waktu yang abadi bagi seorang ibu yang terpisah dari anak-anaknya. Bagi Isabella Rosales, lima tahun terasa seperti goresan luka yang tak pernah kering, sayatan pedih yang menandai setiap detik sejak ia dipaksa membuat pilihan paling mustahil dalam hidupnya. Dari jendela apartemennya yang kecil dan usang di distrik terpencil ibu kota, ia memandangi hujan yang turun tanpa ampun, sama seperti air mata yang telah habis ia tangisi.
Di atas meja kayu reyot di hadapannya, tergeletak satu-satunya harta yang ia miliki, satu-satunya pengingat dari kehidupan yang telah direnggut darinya. Sebuah foto yang sudah sedikit kusam di bagian tepinya, dilindungi oleh bingkai perak murah. Di dalam foto itu, tiga malaikat kecilnya tersenyum ke arah kamera, merayakan ulang tahun kelima mereka beberapa minggu yang lalu. Foto itu ia dapatkan dengan susah payah dari seorang informan bayaran, serpihan kebahagiaan curian yang menjadi penopang hidupnya.
Adrian, si sulung, berdiri tegak dengan ekspresi serius yang merupakan warisan sempurna dari ayahnya. Rambutnya yang gelap dan tatapannya yang tajam sudah menunjukkan karisma seorang Ferguson bahkan di usianya yang masih belia. Di sampingnya, Eren, putri satu-satunya, tersenyum manis dengan dua kuncir kuda yang menggemaskan, matanya berbinar penuh keceriaan. Dan Alden, si bungsu yang jahil, tertangkap kamera saat sedang berusaha mencolek kue ulang tahun, senyumnya penuh kemenangan dan noda cokelat.
"Selamat ulang tahun, sayang-sayangku," bisik Isabella, jemarinya yang kini lebih kurus dan kasar mengelus permukaan foto itu dengan lembut. "Maafkan Ibu..."
Setiap hari adalah ritual penyiksaan yang sama. Ia akan bangun, bekerja serabutan—membersihkan kedai kopi, mencuci piring di restoran—lalu pulang ke apartemen sepinya untuk memandangi foto itu hingga tertidur. Ia adalah hantu. Arwah penasaran yang bergentayangan di pinggiran kehidupan keluarganya sendiri, terikat oleh janji mengerikan yang ia buat kepada ayahnya sendiri, kepala keluarga Rosales.
"Kau akan pergi dan tidak akan pernah kembali," kata ayahnya lima tahun lalu, matanya sedingin es. "Kau akan membiarkan Alex Ferguson percaya kau meninggalkannya karena bosan. Jika kau mencoba menghubungi mereka, sekali saja, aku tidak akan segan-segan menghancurkan Alex dan ketiga anak haram itu. Kau tahu aku bisa melakukannya."
Dan Isabella tahu. Kekuatan keluarganya sama besarnya dengan kebencian mereka terhadap keluarga Ferguson. Jadi, ia pergi. Ia merobek hatinya sendiri, memerankan peran sebagai wanita tak berperasaan, dan berjalan menjauh dari suami dan bayi-bayi kembarnya yang baru berumur beberapa bulan. Ia memilih untuk menanggung kebencian Alex daripada melihatnya hancur. Ia memilih untuk hidup dalam neraka agar anak-anaknya bisa hidup aman di istana mereka.
Malam itu, hujan semakin deras. Panggilan dari manajer restoran tempatnya bekerja paruh waktu memaksanya untuk keluar menembus badai. Dengan mengenakan mantel tipis satu-satunya, ia berlari menyusuri jalanan yang basah. Di persimpangan jalan besar, langkahnya terhenti. Sebuah layar berita digital raksasa di fasad gedung pencakar langit menampilkan wajah yang paling ia rindukan sekaligus paling ia takuti untuk lihat.
Alex Ferguson.
Wajahnya masih setampan dewa, rahangnya tegas, bahunya lebar. Ia tampak lebih berkuasa, lebih dingin dari sebelumnya. Ia sedang diwawancarai tentang kesuksesan terbaru Ferguson Corp. Tapi Isabella tidak peduli tentang itu. Ia hanya menatap mata suaminya. Mata yang dulu selalu menatapnya dengan penuh kehangatan dan cinta, kini tampak kosong, sedingin musim dingin yang tak berkesudahan. Luka yang ia tinggalkan masih ada di sana, membeku menjadi lapisan es yang tebal.
"Aku merindukanmu, Alex," lirihnya pada angin dan hujan, sebuah pengakuan yang tak akan pernah sampai.
Di seberang jalan, seorang wanita muda lain juga sedang berjalan menembus hujan. Namanya Celine Severe. Seorang desainer yatim piatu yang jiwanya terasa sama lelahnya dengan tubuhnya. Ia baru saja diusir dari apartemen sewanya karena tidak mampu membayar. Di tangannya, ia memeluk seekor anak kucing yang ia temukan gemetar di gang sempit. Menyelamatkan makhluk kecil itu terasa seperti satu-satunya hal benar yang bisa ia lakukan hari itu. Baginya, hidup adalah rangkaian perjuangan tanpa akhir. Ia lelah.
Takdir menarik benang mereka pada detik yang sama.
Saat Isabella melangkah dari trotoar, matanya masih terpaku pada wajah Alex di layar, sebuah mobil sport yang melaju kencang kehilangan kendali di jalanan yang licin. Pada saat yang sama, Celine, saat mencoba menyeberang untuk membawa anak kucing itu ke tempat yang lebih hangat, tersandung dan jatuh di jalur mobil itu.
Suara decitan ban yang memekakkan telinga merobek malam, diikuti oleh suara benturan yang mengerikan.
Bagi Celine, semuanya menjadi gelap seketika. Damai.
Bagi Isabella, saat tubuhnya terlempar, waktu seolah melambat. Pikirannya tidak dipenuhi rasa takut akan kematian. Hanya ada satu hal, satu keinginan yang begitu kuat hingga terasa membakar sisa-sisa kesadarannya.
Tidak... Anak-anakku... mereka masih membutuhkanku... Aku belum siap... Adrian... Eren... Alden...
Kegelapan menelannya.
Kesadaran datang kembali, bukan sebagai cahaya atau suara, tetapi sebagai perasaan. Perasaan mengambang di kehampaan yang hangat. Isabella membuka mata spiritualnya dan melihat dirinya sebagai gumpalan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut putus asa. Di dekatnya, ada cahaya lain, cahaya perak yang lembut dan tenang, berkedip perlahan seolah hendak padam.
Itu adalah jiwa Celine.
Tidak ada kata-kata yang terucap, tetapi pemahaman mengalir di antara mereka. Jiwa Celine memancarkan perasaan damai, kelegaan, dan keikhlasan. Perjalanannya telah usai. Sedangkan jiwa Isabella meraung tanpa suara, memancarkan gelombang cinta ibu yang begitu dahsyat, sebuah permohonan yang ditujukan pada semesta itu sendiri. Permohonan untuk kembali.
Cahaya perak Celine berkedip lembut, seolah mengangguk. Ia mendekat, lalu menyatu dengan cahaya keemasan Isabella. Bukan sebuah pengambilalihan, melainkan sebuah pemberian. Sebuah warisan. Jiwa yang lelah memberikan jalannya pada jiwa yang memiliki alasan terkuat untuk terus berjuang.
Bau antiseptik.
Itulah hal pertama yang menyambutnya. Dengan susah payah, Isabella membuka matanya. Langit-langit putih dengan retakan. Ia mencoba menggerakkan tangannya dan melihat jemari kurus yang bukan miliknya. Kepanikan mulai menjalari dirinya. Ia memaksa tubuh yang terasa ringkih ini untuk bangkit dan berjalan tertatih ke kamar mandi.
Ia mengangkat kepala dan menatap cermin.
Jeritan tertahan di tenggorokannya. Wajah orang asing balas menatapnya. Wajah seorang wanita muda yang tampak lelah namun baik hati. Wajah Celine Severe.
Ia mencengkeram tepi wastafel, napasnya tersengal. Ingatan akan kecelakaan itu... kematian... lalu keajaiban yang tak bisa dijelaskan ini...
Isabella Rosales telah tiada. Dunia akan menganggapnya mati. Itu artinya... ia bebas. Ayahnya, keluarganya, ancaman mereka tidak bisa lagi mengendalikannya.
Air mata mulai mengalir di pipi wajah barunya. Bukan air mata ngeri atau sedih. Ini adalah air mata kelegaan, harapan, dan rasa syukur yang begitu dalam. Ini adalah kesempatan kedua.
Ia kembali ke ranjang dan menemukan beberapa barang milik Celine di meja nakas. Dompet usang, buku sketsa, dan sebuah koran lokal yang terlipat. Matanya terpaku pada halaman lowongan pekerjaan. Pada sebuah iklan kecil yang telah dilingkari dengan pulpen merah, seolah takdir telah menandainya untuknya.
Dibutuhkan: Pengasuh/Pendamping Pribadi untuk Tiga Anak Kembar. Tinggal di dalam. Gaji Istimewa. Hubungi Kantor Pusat Ferguson Corp.
Jantungnya, jantung Celine, berdetak kencang penuh harapan. Ini bukan kebetulan. Ini adalah jalan pulang yang diberikan takdir.
Ia menyentuh wajah barunya di cermin sekali lagi, menatap mata cokelat yang hangat itu. "Terima kasih, Celine," bisiknya pada jiwa damai yang telah memberinya keajaiban ini. "Aku bersumpah, aku tidak akan menyia-nyiakan hidupmu. Aku akan menjalaninya dengan baik."
Dengan tekad baru yang membakar sisa-sisa keputusasaannya, ia menggenggam koran itu erat-erat.
Adrian, Eren, Alden... Ibu akan pulang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments