Pernikahan siri antara Nirmala Wongso dan juga Seno Aji Prakoso membuahkan hasil seorang anak laki-laki yang tidak pernah diakui oleh Seno, karena ia takut keluarga besarnya akan tahu tentang aibnya yang diam-diam menikahi gadis pelayan di club malam.
Setelah dinyatakan hamil oleh dokter Seno mulai berubah dan menyuruh Nirmala untuk menggugurkan kandungannya jika masih tetap ingin menjadi istrinya.
Namun Nirmala memilih jalan untuk mempertahankan buah hati dan meninggalkan kemewahannya bersama dengan Seno.
Penasaran?? ikuti jalan kisah Nirmala yang penuh dengan lika-liku kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Nadira semakin tak terkendali, hatinya sudah di kuasai oleh amarah dari pada akal sehat, perempuan paruh baya itu sudah kehilangan cara, agar sang anak tidak bertemu dengan Alaska, tapi pada kenyataannya mereka semua nekad melawan perintahnya.
Wanita itu menempelkan ponsel ke dadanya seolah itu sumber luka yang tak tertahankan. Matanya menyala, suaranya masih bergetar. “Kau tahu, Pi, ini bukan soal ‘anak’ lagi. Ini soal wajahku, harga diriku. Orang-orang akan mulai bertanya, siapa yang sebenarnya tubuh di samping anak-anak kita.”
Seno menelan ludah. Raut wajahnya memperlihatkan penyesalan yang di kubur dalam. Ia tahu keputusan masa lalu membuat luka yang kini menganga, tetapi melihat Alaska bersama anak-anaknya, ada ketulusan di sana yang membuatnya tak tega. “Nadira… kita harus hati-hati. Kalau kau melakukan sesuatu yang terang-terangan, itu bisa balik ke kita juga.”
“Nekad itu pilihan terakhirku,” Nadira mendesis. Ia lalu berdiri, berjalan mondar-mandir, memegang tasnya seperti menyiapkan alat perang. “Kalau kau tak bisa bertindak, aku akan cari orang yang mau. Aku akan buat semua orang tahu siapa sebenarnya dia. Biar mereka memilih, dan biar anak-anakmu tahu, ke mana sebenarnya kesetiaan mereka harus tertuju.”
Seno menutup mata sejenak. Rasa bersalah dan tanggung jawab beradu. “Kalau itu terjadi, kau tak hanya melukai dia, Nadira. Kau bisa melukai anak-anak juga. Aku tidak mau itu.”
Nadira menatapnya dingin. “Terserah. Aku sudah muak merasa dipermalukan. Kalau kau tak mau membantu, biarkan aku yang menyelesaikannya sendiri.”
☘️☘️☘️☘️
Masih di tempat bakti sosial, setelah pelukan itu usai, Alice masih memegang tangan Alaska erat-erat. Alula kini lebih tenang, tetapi matanya sesekali menoleh ke arah bayang-bayang pohon. “Kak, kau lihat orang itu?” bisik Alice, suaranya nyaris tak terdengar.
Alaska menatap ke arah bayangan. Orang itu sudah tak terlihat. Hanya ada jejak langkah di tanah lembab, dan rasa dingin yang tiba-tiba merayap di punggungnya. “Mungkin hanya orang lewat,” jawabnya, mencoba menenangkan diri. Namun sesuatu di dadanya mengeras, naluri berkata lain.
"Baiklah Kak, acara sudah mau selesai, dan terima kasih atas pertemuan ini," ucap Alice.
Alaska tersenyum tulus, baru kali ini ia merasakan hangatnya diakui. "Aku yang seharusnya berterima kasih, karena kalian berdua mempunyai hati yang cukup luas, mau menerimaku," sahut Alaska.
"Kami tidak peduli bagaimana konflik orang tuamu dan orang tua kita, yang kita tahu kau dan aku mempunyai darah yang sama," ungkap Alice, yang benar-benar membuat Alaska meneteskan air mata.
Siang itu, ketika mereka pulang hendak pulang Alula dan Alice, suasana berubah menjadi rapuh namun penuh tekad. Mereka makan seadanya, berbincang, merencanakan hal-hal sederhana, kapan akan bertemu lagi, bagaimana cara memperkenalkan satu per satu ke keluarga besar secara bertahap, dan paling penting, bagaimana menjaga satu sama lain bila badai datang.
Alice menatap Alaska. “Kak, aku akan menghadapi Mami. Aku akan bilang yang sebenarnya. Aku tak mau ada kebohongan lagi di antara kita.”
Alaska menarik napas panjang. “Kalau kau siap, aku akan berdiri di sampingmu. Tapi jangan bertindak terburu-buru. Kadang kemarahan membuat orang melakukan hal yang menyesalkan.”
Alula menambahkan, “Kak, kalau mereka menyerang, kami tak akan mundur. Kami keluarga sekarang.”
Di siang itu Alaska mulai melepas kepergian kedua adiknya dengan perasaan yang haru, dan di siang ini pula ia merasakan hangatnya dekapan saudara yang selama ini tidak terpikirkan sama sekali di hidupnya.
☘️☘️☘️☘️
Sementara itu, dari balik bayangan pohon, sosok yang tadi mengamati berbalik pergi. Ia mengeluarkan ponsel, mengetik cepat, kemudian tersenyum tipis. Di ujung nada suaranya ada panik yang disamarkan dengan puas. “Sudah kubilang, kalau Mami tahu, ini akan kacau. Biarkan aku yang atur sedikit drama, biar semua terlihat alami.”
Ia menekan kirim. Pesan yang sama meluncur ke beberapa nomor, foto-foto potongan dari pertemuan tadi, dikompilasi sedemikian rupa agar menimbulkan tafsir yang memojokkan. Di bawahnya, sebuah kalimat singka. “Waktu yang tepat. Biarkan mereka memilih. Mami harus tahu.”
☘️☘️☘️☘️
Keesokan paginya, ponsel Alaska berbunyi beberapa kali. Notifikasi menumpuk seorang teman lama mengirim screenshot, akun gosip lokal membagikan ulang, dan sebuah akun anonim menandai banyak orang dalam satu unggahan, foto Alaska dipeluk Alice dan Alula dengan judul provokatif.
Rasa dingin yang semula samar kini menjadi nyata. Alaska menatap layar, napasnya tercekat. Di sela-sela pesan-pesan itu ada satu pesan pribadi, foto cetak hitam-putih dirinya kecil, ditempel di samping kutipan samar. “Ingat asalmu.” Di bawahnya, hanya satu kata. “Pergilah.”
Tidak berselang lama dari rasa sesak yang merayap di dada ... handphone Alaska berdering, seketika ia mulai melihatnya, ternyata dari Alice entah apa yang akan dibicarakan oleh gadis itu.
Alaska mulai menekan tombol hijau itu. "Iya Alice ada apa?" tanya Alaska yang berusaha untuk tenang dalam menghadapi situasi ini.
"Kak ... Mama mulai beraksi, aku khawatir dia akan menyerang Kakak lebih dari ini," tutur Alice, yang memang tahu selentingan kabar itu dari orang kepercayaannya.
"Barusan aku juga dapat kiriman foto kita kemarin, dan juga foto kecilku," sahut Alaska.
Alice yang mendengar itu langsung terkejut. “Kak, jangan lihat. Kita bisa lawan. Aku akan bicarakan semua ini dengan Mami.”
Sementara Alula yang berasa di samping kakaknya langsung menggigit bibir, matanya memerah. “Kita harus bersiap. Kalau mereka ingin berperang, biar mereka tahu kami tak akan jatuh.”
Di seberang sana Alaska menutup mata, menahan gelombang emosi yang ingin tumpah. Ia tahu satu hal, ini bukan hanya soal pengakuan darah lagi. Ini soal harga diri, keselamatan, dan masa depan. “Kita hadapi ini bersama. Tapi aku ingin satu hal, jangan kita balas dengan kebencian. Kita tunjukkan pada mereka bahwa kasih sayang lebih kuat dari segalanya."
Sementara itu kedua adiknya yang berada di seberang sana, hanya bisa menuruti apa kemauan Alaska. "Baiklah kalau itu inginmu Kak, aku hanya bisa mendukung setiap langkahmu," sahut Alice yang diangguki oleh Alula.
"Makasih banyak untuk semua hal yang kalian berdua beri," ucap Alaska sebelum akhirnya mengakhiri panggilannya.
Di tengah-tengah rasa sesak yang melanda, dengan adanya dukungan dari dua saudaranya itu dada Alaska merasa sedikit kelengahan.
☘️☘️☘️☘️
Sementara di sisi lain kota, Nadira sudah mulai mengatur rencana. Ia menelepon seorang kenalan yang biasa mengatur suasana di media sosial. Suaranya dingin, tegas. “Siapkan semuanya. Besok pagi, aku mau unggahan itu viral. Bikin mereka bertanya. Biar malu itu jatuh pada yang pantas!" perintahnya dengan kuat.
"Tenang saja, itu tugas kecil, besok pagi dunia pasti akan tahu," sahut suara itu dengan licik.
Nadira menutup telepon dengan raut wajah yang begitu puas, aura kelicikan wanita itu sangat kental terasa, bara yang sudah ia padamkan bertahun-tahun kini mulai dinyalakan kembali.
"Wanita kampung besok kau dan anakmu akan mendapatkan kejutan hangat dari ku," ucapnya dengan seringai di wajahnya.
Bersambung ....
😂😂😂😂