Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror Pocong dalam Mimpi Dania
Di luar, jam dinding tetangga berdentang samar: sepuluh kali—seolah menandai jarak menuju tengah malam. Atna menoleh ke jimat di tangannya lagi, seolah menanyakan jawaban.
Ia tahu konsekuensi memilih jalan yang nyaman—uang, kemudahan—atau jalan yang berisiko tapi mungkin menyelamatkan dirinya dari kutukan yang lebih ganas.
Pocong susuk, yang selama ini berdiri diam di sudut kamar seperti matahari malam, bergeser mendekat. Suaranya seperti abu yang berderak. "Waktu berjalan. Pilihannya di tanganmu, Atna. Kau tahu apa yang harus dilakukan."
Atna menarik napas dalam. Di luar, suara motor lewat—irama biasa desa yang kini terdengar asing. Ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin di balik mata itu ada wanita yang lelah, tapi juga licik karena sudah terbiasa menjahit malam demi malam dengan janji-janji kosong.
Hatinya berbisik agar ia menolak, bahwa ritual, puasa mutih, dan peringatan bukan permainan. Namun, mulutnya juga ingin berkata pada dukun.
"Cukup, saya sudah bayar harga ini."
Ia berdiri. Tempat tidurnya masih berantakan, bantal berbau parfum dan keringat. Dengan gerakan lambat, Atna menata sesajen kecil—seikat bunga, secuil beras—di meja kecil.
Mungkin bukan ritual lengkap, pikirnya, tapi ini lebih baik daripada mengabaikan sama sekali. Ia mengangkat jimat, mengucapkan mantra pendek yang diulang dukun, meniup sedikit pada bunga, lalu menutup kedua telapak tangan di dahinya.
Sementara itu, di ujung desa, jauh dari cahaya rumahnya, angin mengubah arah. Sebuah bayang-bayang melesap lewat pematang sawah, hitam seperti tinta.
Di dalam kamar Atna, seutas bisik seakan mencatat janji dan ancaman yang baru saja dibuat. Dan jauh di dalam benak seseorang yang lain—yang belum tahu akan bahaya ini—mimpi mulai merangkak, menunggu malam menutup rapat kelopak waktunya.
Malam itu, udara terasa lebih tebal. Di rumah Dania, hujan rintik mengetuk genteng seperti jemari gelisah. Gadis itu terbangun dari tidurnya tanpa alasan jelas—napasnya berat, dan jantungnya berdetak seperti baru saja berlari.
Gadis itu melihat ke jendela tirai tipis berkibar pelan meski semua tertutup rapat. Dania mendekat, mencoba memastikan, tapi langkahnya terhenti ketika di kaca jendela itu… terlihat bayangan wajah pucat dengan kain kotor melilit kepala, menatapnya dari luar.
Wajah itu tidak bergerak, tapi matanya merah membara, seolah tak berkedip.
Dania mundur, menabrak kursi di belakangnya. Suara berderak itu menggema aneh di dalam kepalanya—bukan hanya di telinga.
"Malam Jumat Kliwon… waktunya dekat…"
Di tempat lain, jauh di balik gelap, Atna membuka matanya. Entah kenapa, ia merasa bisikan pocong tadi tidak hanya berbicara padanya.
Begitu bisikan itu menghilang, Dania merasa tubuhnya tertarik seperti jatuh ke dalam air. Pandangannya gelap, lalu terbuka di sebuah tempat asing—lapangan berlumut di tengah hutan, diterangi cahaya bulan pucat.
Kabut menggulung rendah, membuat setiap langkah terasa seperti berjalan di dalam mimpi. Namun kali ini, semuanya terlalu nyata: aroma tanah basah, dingin yang menusuk tulang, dan suara gamelan yang mengalun lambat, berat, seperti diputar dari jarak yang tak terjangkau.
Di sekelilingnya, deretan pocong berdiri diam, membentuk lingkaran. Kain kafan mereka basah, meneteskan air keruh ke tanah.
Dari celah lingkaran itu, Atna muncul. Wajahnya tenang, tapi matanya seperti menyimpan badai. Di tangannya, ia membawa sebuah bungkusan kain merah yang basah oleh darah.
“Dania Anindita Rejaya…” suaranya memecah keheningan, menggema aneh di dalam kepala Dania. “Kau sudah melangkah ke wilayah yang tak seharusnya. Malam Jumat Kliwon… kau akan mengerti artinya.”
Dania ingin berlari, tapi kakinya tak mau bergerak. Tangan-tangan dingin meraih dari tanah, mencengkeram pergelangan kakinya. Pocong-pocong itu mulai mendekat, kain kafan mereka menyeret tanah dengan suara gesekan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Atna tersenyum tipis, lalu melempar bungkusan merah itu ke arah Dania. Begitu menyentuh tanah, bungkusan itu terbuka—menampakkan sebuah kepala manusia, matanya terbelalak, bibirnya masih bergerak-gerak seperti mencoba berbicara.
Dania berteriak, tapi suaranya tak keluar. Dan di belakang Atna… pocong susuk itu muncul, kepalanya miring, matanya merah, menatap langsung ke dalam mata Dania.
Dalam sekejap, semua menghilang. Dania terbangun di ranjangnya—tapi di telapak tangannya, ada noda lumpur dan darah segar.
Dania menutup mata dan telinganya rapat-rapat. Meski ia seorang indigo, kali ini energi mereka terlalu kuat—mencekam, seperti ribuan jarum menusuk kulitnya dari segala arah. Lingkaran pocong makin rapat, desisan dan bisikan aneh terdengar bersahut-sahutan di telinganya.
Tiba-tiba, udara di sekitarnya bergetar. Suara berat dan parau, bercampur nada perintah yang tak terbantahkan, bergema dalam bahasa asing yang jarang ia dengar.
"Wie ben jij?! Durf mijn kind niet te storen!" ("Siapa kalian?! Jangan berani ganggu anakku!")
Seketika, pocong-pocong itu berhenti bergerak. Beberapa memiringkan kepala, seolah mengenali sumber suara itu.
Dania membuka sedikit matanya—dan di depannya berdiri sosok pria berpakaian militer Belanda tempo dulu. Wajahnya pucat, matanya biru, dan sorotnya tajam penuh amarah.
Suara itu terasa begitu akrab di hati Dania. Bibirnya bergetar, air mata mengalir di pipi.
"Pa… papa…" ucapnya lirih, seperti anak kecil yang menemukan pelindungnya.
Hantu Belanda itu—Hanson Van Buthjer—menatap lembut padanya, lalu kembali memandang pocong-pocong itu dengan tatapan membunuh.
"Verdwijn… of ik zal jullie verpletteren." ("Hilang… atau akan kuporak-porandakan kalian.")
Salah satu pocong mendesis marah, kain kafannya bergoyang tak sabar.
"Berani sekali kamu membawa beda dari kami!" serunya, suaranya berat bercampur kebencian.
Angin mendadak bertiup kencang, kabut berputar, dan benturan energi gaib mulai terasa di antara mereka.
Angin bertiup semakin kencang, membuat kabut yang mengitari mereka berputar seperti pusaran. Dari pusaran itu, kilatan cahaya kehijauan sesekali menyambar, memantulkan wajah-wajah pocong yang marah.
Hanson Van Buthjer melangkah maju, sepatu botnya menghentak tanah yang seolah bergetar. Tangannya menggenggam pedang pendek berukir lambang kerajaan. Suaranya rendah tapi penuh kuasa.
"Ik zal jullie naar de hel terugsturen waar jullie thuishoren!" ("Akan kukirim kalian kembali ke neraka tempat kalian berasal!")
Pocong yang tadi memprotes bergerak mendekat, kepalanya berputar 180 derajat dengan bunyi retakan tulang. Kain kafan kotor itu berkibar seperti sayap buruk.
“Kau pikir kami takut pada orang mati dari negeri jauh?” desisnya.
Hanson mengangkat pedangnya, lalu menusukkan ujungnya ke tanah. Dari titik itu, cahaya biru menyebar seperti retakan es, memisahkan Dania dari lingkaran pocong. Beberapa pocong menjerit—suara mereka seperti besi berkarat yang digores.
“Lari, Dania!” teriak Hanson.
Namun kaki Dania seperti terikat. Ia melihat tangan-tangan busuk kembali muncul dari tanah, mencoba meraih pergelangan kakinya. Ia menjerit. Hanson berlari, menebas tangan-tangan itu satu per satu. Setiap tebasan membuat cahaya biru meledak kecil, mengusir kegelapan.
Tapi pocong-pocong itu tidak menyerah. Tiga di antaranya melompat bersamaan, mencoba menerjang Hanson. Ia memutar senjata laras panjang, menebas dua di antaranya hingga kabut hitam keluar dari kain kafannya. Satu lagi berhasil mendorong Hanson mundur beberapa langkah.
Kesempatan itu dimanfaatkan Dania untuk merangkak mundur. Tapi tiba-tiba—cegghhh!—salah satu pocong memegang pergelangan tangannya. Dingin, licin, dan bau anyir menyengat hidungnya.
Hanson menjerit marah, menghunus pedangnya ke arah pocong itu. “Lepaskan dia!” teriaknya. Pistolnya itu menembus kain kafan, dan pocong itu menghilang dalam semburan asap hitam.
Namun sebelum Dania sempat bangkit, semuanya menjadi gelap. Ia merasakan tubuhnya seperti ditarik ke dalam pusaran air—dan mendadak terbangun di ranjangnya, terengah-engah, pipinya basah oleh air mata.
Tangan kanannya terasa perih. Saat ia melihatnya… ada bekas memar hitam melingkar, persis seperti cengkeraman tangan.
*
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu