Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Langkah kaki Elanor membawanya sampai ke taman sekolah. Udara siang yang hangat terasa menenangkan, dedaunan pohon besar di tengah taman bergoyang pelan tertiup angin. Ia menghela napas panjang, lalu menjatuhkan tubuhnya di bangku kayu tepat di bawah rindang pohon itu.
Tangannya otomatis terangkat, menepuk-nepuk pipinya yang terasa panas.
“Sadar, Ela… sadar. Apa yang lo pikirin, sih?” gumamnya lirih, mencoba menegur dirinya sendiri.
Namun semakin keras ia berusaha menepis, bayangan wajah Rafael tadi—dengan tatapan serius namun lembut, menahan tubuhnya agar tidak jatuh—kembali berputar dalam kepalanya. Seketika jantungnya berdegup kencang, dan ia buru-buru menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Ya ampun, apa-apaan sih gue ini,” desisnya, suaranya meninggi penuh frustrasi. “Jangan-jangan… jangan-jangan gue beneran suka sama Rafael?”
Kalimat itu nyaris seperti bom yang meledak dalam dirinya. Elanor buru-buru menggeleng keras, rambutnya yang sudah rapi berantakan dibuatnya sendiri.
“Enggak, enggak mungkin! Gak boleh. Gak boleh suka sama dia…” bisiknya berulang, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi panas yang terus merambat di pipinya justru makin membantah kata-kata itu.
Dengan pasrah, ia akhirnya menurunkan tangannya, mengusap wajahnya yang sudah setengah merah. Dan entah kenapa, rasa kesalnya mendadak pindah ke sosok lain.
“Bella… sumpah ya, Bella, lo parah banget,” gerutunya, memandang ke arah bangku kosong di sebelahnya, seolah sahabatnya duduk di sana.
“Orangnya ada di sebelah gue, loh. Ngapain coba teriak-teriak kayak gitu di depan semua orang? Pake segala nunjuk gue segala. Ahh… nyebelin banget. Malu tauk!”
Ia menekuk bibirnya, wajahnya cemberut, lalu menyandarkan kepala ke sandaran bangku. Dedaunan di atasnya berdesir lembut, menambah suasana sendu sekaligus membuatnya semakin histeris sendiri.
Elanor menghela napas berat sekali lagi. “Kenapa juga harus ada Rafael tiba-tiba masuk sekolah ini… aduh, hidup gue kenapa jadi drama begini, sih.”
Meski mulutnya komplain, ujung bibirnya tanpa sadar terangkat, membentuk senyum kecil yang tak bisa ia cegah.
Elanor masih menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku, menatap kosong ke atas langit biru yang terbingkai dedaunan pohon. Ia berusaha menenangkan diri, membiarkan angin sepoi-sepoi menghapus sisa panas di pipinya.
Tiba-tiba, dari arah belakang bangku, terdengar suara langkah ringan. Sebelum ia sempat menoleh, sebuah suara hangat menyapa penuh keakraban.
“Ela.”
Sontak mata Elanor membelalak. Ia menoleh cepat, dan tepat di belakang bangku, Rafael muncul dengan senyum menawan terpampang di wajahnya.
“KYAAAA!!” teriak Elanor kaget, meloncat dari bangku seperti kucing yang kakinya tersiram air. Akibatnya, ia malah kehilangan keseimbangan dan… buk! terduduk di tanah.
“Aduhh~!” Elanor meringis, memegangi bokongnya yang perih karena benturan. Dengan wajah merah padam, ia langsung menunjuk Rafael.
“RAFA!! KAMU NGAPAIN SIHHH!!?”
Rafael hanya terkekeh kecil, menutup sebagian mulutnya seakan menahan tawa, lalu tanpa beban ia duduk santai di bangku yang tadi diduduki Elanor.
Sementara itu, Elanor buru-buru bangkit, merapikan roknya yang sempat kusut, lalu dengan langkah canggung ia kembali duduk di bangku itu juga—tapi menjaga jarak sejauh mungkin darinya, seakan Rafael adalah wabah berbahaya.
Hening.
Beberapa detik terasa begitu panjang, hanya suara angin dan dedaunan yang mengisi suasana.
Elanor menggigit bibir, lalu dengan suara setengah gemetar ia memberanikan diri bertanya, “Kenapa sih kamu… harus sekolah di sini?”
Rafael menoleh santai, dan tanpa basa-basi ia menjawab, “Tak tau. Pengen aja.”
Senyuman khasnya muncul lagi, membuat wajahnya terlihat semakin bersinar di bawah cahaya matahari yang menyelinap di antara dedaunan.
Elanor yang melihat senyuman itu mendadak terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak sepersekian detik. Pandangannya terpaku, tapi buru-buru ia mengalihkan wajah, menunduk sambil berpura-pura sibuk memainkan ujung roknya.
Rafael hanya tersenyum tipis, lalu memecah keheningan.
“Udah seminggu kita gak ketemu, ya. Gimana keadaanmu setelah keluar dari rumah sakit?”
Elanor menghela napas panjang, lalu menjawab lirih, “Aku… baik-baik aja kok.”
Nada suaranya pelan, tapi cukup terdengar jelas.
Elanor terdiam sejenak, menundukkan wajahnya. Jemarinya saling meremas di atas pangkuan, seolah ada beban besar yang ingin ia lepaskan. Dengan suara hati-hati, ia akhirnya bertanya,
“Rafa… kau kenal ayahku, kan?”
Rafael tersenyum tipis, mengangguk mantap.
“Tentu saja. Tuan Alexander orang yang sangat baik. Beliau… bahkan memperlakukan aku dan keluargaku bukan sekadar pekerja. Rasanya seperti… keluarga sendiri.”
Ada seberkas kehangatan di mata Rafael saat mengenang sosok itu. Namun, Elanor justru menarik napas panjang, dalam, menahan sesuatu di dadanya.
“Kalau begitu…” suaranya lirih tapi tegas, “…kau tau penyebab ayahku meninggal, kan?”
Rafael menoleh, masih dengan ekspresi tenang.
“Tentu. Semua orang tahu. Beliau terkena serangan jantung, bukan?”
Hening sesaat. Angin yang berhembus membuat rambut Elanor sedikit berantakan, namun tatapan matanya kini dingin menusuk, penuh luka.
Dengan nada rendah tapi tegas, ia berkata,
“Ayahku… tidak mati karena serangan jantung. Ayahku… dibunuh.”
Mata Rafael langsung terbelalak. Tubuhnya menegang, senyum yang tadi hangat kini lenyap seketika.
“A… apa?”
Elanor menggenggam erat rok seragamnya, matanya berkilat menahan emosi.
“Yang membunuhnya… adalah ibuku sendiri. Dia ingin merampas semua kekayaan keluarga kami. Semua yang ayahku perjuangkan… Ingin direnggut begitu saja.”
Kata-kata itu meluncur seperti pedang yang menusuk udara. Rafael menahan napas, suaranya tercekat di tenggorokan.
“Ela… kamu… kamu serius?”
Elanor hanya menatap lurus ke depan, tanpa senyum, tanpa air mata. Dingin, namun jelas penuh kepedihan yang ia sembunyikan.
Rafael masih terdiam, matanya tak lepas dari wajah Elanor. Nafasnya sedikit memburu, sulit percaya dengan kenyataan yang baru saja ia dengar.
“Ela… apa yang kamu bilang barusan… itu—itu terlalu serius. Kalau memang benar, kenapa… kenapa tidak ada yang tahu?”
Elanor menoleh ke arahnya, tatapannya dingin tapi dalam, seperti menyimpan luka yang lama terkubur.
“Karena semua sudah diatur, Rafa. Dunia hanya tahu ayahku meninggal karena serangan jantung. Padahal, kebenarannya jauh lebih dari itu.”
Rafael menelan ludah, dadanya terasa sesak. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi suara Elanor terdengar lagi, kali ini lebih tenang, namun penuh ketegasan.
“Sesuai wasiat ayahku… aku adalah pewaris sah keluarga Cromwel. Semua kekayaan, perusahaan, dan semuanya… seharusnya ada padaku. Tapi ibuku, dia ingin merampas semuanya. Itulah kenapa aku yakin, dia dalang dari semua ini.”
Rafael menunduk, kedua tangannya mengepal di atas lutut. Suara hatinya bergejolak, antara marah dan terkejut. Ia mengangkat wajahnya, menatap Elanor penuh rasa ingin tahu.
“Lalu… apa yang Nona ingin aku lakukan?”
Elanor menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian. Ia menoleh, menatap Rafael dengan tatapan yang tak main-main, pupil matanya bergetar oleh emosi yang ditahan.
“Aku butuh bantuanmu, Rafa. Tolong aku… cari bukti. Cari dalang di balik kematian ayahku. Aku tidak bisa melakukannya sendiri.”
Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Rafael terpaku menatap Elanor yang begitu rapuh namun sekaligus kuat di depannya. Ada rasa bersalah yang merayap dalam dirinya karena selama ini ia hanya menganggap semua baik-baik saja.
Perlahan, Rafael meraih tangan Elanor yang sejak tadi menggenggam erat roknya. Hangat jemarinya membuat Elanor sedikit terkejut, namun ia tidak menolak.
“Nona…” suara Rafael rendah tapi penuh keyakinan, “…kalau itu yang kamu mau, aku janji… aku akan membantumu. Kita akan bongkar semua kebusukan ibumu. Aku gak akan biarkan kamu menghadapi semuanya sendirian.”
Mata Elanor melebar, terharu tapi masih ada keraguan. Namun saat melihat ketulusan di mata Rafael, ada sedikit beban yang terangkat dari hatinya.
Elanor terdiam cukup lama setelah mendengar janji Rafael. Dadanya masih berdegup kencang, tetapi ada sedikit rasa lega yang muncul. Perlahan ia tersenyum samar, lalu dengan suara lirih ia berkata,
“Terima kasih, Rafa… benar-benar terima kasih.”
Rafael hendak menjawab, tapi sebelum sempat satu kata pun keluar, Elanor dengan cepat memiringkan tubuhnya, lalu menempelkan sebuah kecupan singkat di pipi Rafael. Hangat. Ringan. Namun cukup membuat dunia Rafael berhenti berputar sesaat.
Begitu menyadari apa yang ia lakukan, wajah Elanor langsung merona merah. Ia berdiri tergesa, merapikan seragamnya, dan dengan langkah cepat ia pergi meninggalkan taman sekolah, tanpa menoleh lagi.
Rafael masih terpaku di tempatnya. Tangannya refleks terangkat, menyentuh pipinya yang baru saja mendapat kecupan itu. Senyum hangat perlahan merekah di wajahnya—sebuah senyum yang jarang muncul, tulus dan penuh arti.
Namun senyum itu tidak bertahan lama. Dengan satu tarikan napas panjang, Rafael mengeluarkan ponselnya dari saku. Tatapannya berubah tajam, penuh keseriusan yang kontras dengan dirinya beberapa detik lalu.
Ia menempelkan ponsel di telinga, suaranya rendah dan dingin.
“Selidiki tentang Cassandra Cromwel… selidiki semuanya selama tujuh tahun terakhir.”
Klik. Sambungan telepon berakhir.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭