Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 #Terbongkar
Pagi itu, rumah besar keluarga Raymond terasa begitu sunyi, seolah menahan napas. Daren berdiri di teras, membiarkan istrinya merapikan dasi dengan telaten. Tatapan mereka bertemu sejenak dan penuh makna. "Papa pergi kerja dulu, Ma. Kalau ada apa-apa sama cucu kita atau Ayah berulah lagi, langsung telfon Papa," bisik Daren, suaranya sarat akan kekhawatiran yang disamarkan. Mauren hanya mengangguk, isyarat tanpa kata yang mereka berdua pahami.
Tak lama setelah mobil Daren melaju, giliran Zander yang tampak tergesa-gesa. Suara langkahnya terdengar tidak sabar di lantai marmer. "Mau ke mana, Zan?" tanya Mauren, heran melihat putranya begitu terburu-buru.
"Ada urusan di markas, Ma. Aku pergi dulu. Tolong jaga bayiku dan… Sahira," jawab Zander, kalimatnya dipotong oleh tergesanya dia mengejar mobil Hansel yang sudah menunggu di luar.
Mauren terdiam, alisnya bertaut. "Sahira? Bukannya Balchia?" gumamnya, kebingungan. Pikirannya melayang, mencoba memahami kalimat Zander. "Sebenarnya, istrimu Sahira atau Chia sih, Nak?" Ia menggeleng pelan, lalu berbalik untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Baru saja kakinya menapaki anak tangga pertama, sebuah ketukan terdengar. Mauren mendesah, kembali berbalik, dan membuka pintu perlahan. Senyum ramah menyambutnya. "Selamat pagi, Tante," sapa Devan, raut wajahnya tenang dan bersahaja.
"Oh, Devan! Kebetulan sekali kamu datang. Tante mau kamu periksa Chia," ucap Mauren, nada suaranya kini dipenuhi kecemasan.
"Ada apa dengan adikku, Tante?" tanya Devan, ikut melangkah masuk. Mauren berjalan di sampingnya, perlahan menjelaskan kondisi Chia yang murung dan pucat kemarin. Dia juga menceritakan bagaimana menantunya itu mengurung diri dan tak menyentuh sarapannya.
"Kalau begitu, aku ke Chia dulu. Setelah itu baru ke kamar Tuan Raymond," putus Devan. Ia memang datang untuk memeriksa Raymond, tapi ia tidak bisa mengabaikan kondisi adiknya.
"Tante tunggu di kamar Kakek Zan, ya," sahut Mauren. Mauren berbelok ke arah kamar Ayahnya, sementara Devan melesat cepat ke kamar Balchia.
Namun, saat berbelok di koridor, ia tanpa sengaja menabrak seseorang. "Ah, maaf, Dok! Saya buru-buru jadi tidak melihat Anda," ucap Sahira. Wajahnya tertutup masker, dan ia langsung berlari ke dapur untuk mengambil ASI yang tersimpan di kulkas. Kondisinya yang belum stabil membuat Sahira tak bisa menyusui langsung kedua bayinya, dan ia tak ingin flu-nya menular pada si kembar Zee dan Zaena.
"Suara itu... kenapa terasa familiar?" Devan bergumam, merasa ada yang janggal. Ia menghela napas, kecewa karena tidak sempat melihat wajah perempuan itu.
Setibanya di kamar Balchia, Devan sedikit terkejut melihat adiknya terbaring lemas dan tampak kacau. "Chia..." panggilnya lembut, mendekat perlahan.
Balchia hanya mengangkat wajahnya sebentar, lalu menunduk lagi. "Apa yang terjadi padamu? Apa Zander melakukan sesuatu yang jahat?" Devan duduk di tepi tempat tidur. "Ceritakan padaku."
Balchia menggenggam erat selimut, matanya yang sembap menatap Devan penuh ketakutan. "Kak, aku takut."
"Takut? Sama siapa?" Devan mengernyitkan dahi. Ini pertama kalinya ia melihat adiknya sepanik ini. "Sama Zander?" tebaknya.
Balchia mengangguk kecil, lalu menggeleng, membuat Devan semakin bingung. "Chia, jawab yang jelas. Kamu takut sama siapa?"
"Wanita gila itu, Kak. Dia ada di sini."
"Wanita gila? Maksudmu siapa? Aku tidak melihat orang gila di rumah ini," ujar Devan, kebingungan.
"Pengasuh bayiku! Dia harus keluar dari sini. Aku takut posisiku direbut sama wanita itu," Balchia berujar lirih.
Devan menghela napas, berdiri. "Chia, kamu terlalu banyak menonton sinetron. Jangan pikirkan hal-hal aneh. Tak mungkin wanita itu bisa merebut posisimu. Zander juga tak mungkin menerimanya."
Balchia ikut berdiri. "Kak, aku serius! Dia bisa melakukannya. Zander pasti akan menerimanya. Dia sahabat Zander. Hubungan mereka lebih dalam daripada pernikahanku." Air mata menetes, membasahi pipinya yang sembap. "Bahkan semalam Zander masih menolak tidur bersamaku, Kak."
Devan tak tega. Ia memegang bahu adiknya. "Baiklah, kakak akan coba bicara dengan Zander agar dia lebih memperhatikanmu. Tapi, bagaimana kalau kamu ikut kakak pulang? Ayah merindukanmu," bujuk Devan.
"Aku tidak mau! Aku takut sama Nenek," tolak Chia, suaranya bergetar.
"Jangan takut. Kakak akan melindungimu dari Nenek. Ayah yang ingin bertemu denganmu, bukan Nenek. Sekarang, pergilah mandi. Nanti susul kakak di kamar Tuan Raymond," ucap Devan, tersenyum menenangkan.
Setelah Devan keluar, Chia beranjak bersiap. Ada keraguan di hatinya, namun ia yakin Devan akan melindunginya. "Aku akan tinggal di sana beberapa hari sampai aku menemukan cara mengusir wanita itu dari sini," tekadnya.
Beberapa jam kemudian, Sahira keluar dari kamar baby Zee. Ia menengok ke belakang, memastikan si kembar sudah terlelap. Ia ingin bertanya kepada Mauren tentang pencarian anak kembarnya, tapi rumah terasa sepi. Hanya beberapa pelayan yang berlalu-lalang.
"Mbak, cari siapa?" tanya Tiara, salah satu pelayan, menepuk pundak Sahira.
"Oh, Tiara. Aku cari Nyonya Mauren. Ke mana dia?"
"Nyonya Mauren mengantar Nyonya Chia ke rumahnya. Kata Dokter Dev, Ayahnya merindukan putrinya. Nyonya Mauren baru pulang nanti malam," jawab Tiara.
"Oh, jadi pria yang aku tabrak itu dokternya Tuan Raymond? Tapi kenapa dia masuk ke kamar Nyonya Chia dulu?" Sahira bergumam pelan.
Tiara tersenyum geli. "Dokter Dev itu kakak tirinya Nyonya Chia, Mbak. Orangnya baik dan ramah ke semua orang."
"Dia memang kelihatan baik, tidak seperti Nyonya Chia yang galak dan seram," celetuk Sahira, tak sadar. "Bayinya saja hampir dibunuh."
"Serius, Mbak?" Tiara terkejut.
"Lupakan saja," jawab Sahira, kembali masuk ke kamar.
"Tunggu!" Tiara masih ingin bertanya tentang perhatian Zander pada Sahira, tapi pintu sudah tertutup. Tiara hanya bisa mendesah, lalu melangkah menuju halaman belakang. Langkahnya terhenti saat melihat Tuan Raymond menerima berkas dari salah satu anak buahnya. Diam-diam, Tiara bersembunyi di balik akuarium besar, menguping.
"Tuan, semua yang Anda perintahkan sudah kami kumpulkan dalam berkas ini," lapor anak buah itu.
"Bagus. Sekarang pergilah," perintah Tuan Raymond.
Setelah anak buahnya pergi, Tuan Raymond duduk di sofa dan membuka berkas itu. Seketika, matanya membelalak. Jantungnya berdetak kencang, terhenti saat membaca rahasia yang terkuak.
"Tuan!" Tiara berteriak panik, mendekat saat Tuan Raymond meremas dadanya kesakitan sebelum akhirnya pingsan. Tiara mencoba menghubungi Mauren dan Daren, tetapi tidak ada yang bisa dihubungi.
"Duh, bagaimana ini?" gumam Tiara, berusaha membangunkan Tuan Raymond. Pandangannya jatuh pada berkas yang terbuka. Ia membisu sejenak, terkejut. Namun, ia tersadar saat Zander datang dan berteriak, "Kakek?! Apa yang terjadi padanya?"
Zander berlutut, meletakkan tangannya di dada Raymond. Jantung kakeknya berdetak lemah. "Tuan Muda, jangan salah paham dulu. Tuan pingsan setelah membaca berkas ini," Tiara bergegas menjelaskan.
Zander merebut berkas itu, membacanya sekilas, dan raut wajahnya berubah menjadi penuh amarah.
"Apa-apaan ini? Apa maksudnya ini?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Saya tidak tahu, Tuan. Tapi sebaiknya bawa Tuan Raymond ke rumah sakit," saran Tiara. Tanpa pikir panjang, Zander segera membawa kakeknya ke rumah sakit.
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀