NovelToon NovelToon
Agent Khusus Yang Diceraikan Istrinya

Agent Khusus Yang Diceraikan Istrinya

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Anak Genius / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Anak Lelaki/Pria Miskin / Penyelamat
Popularitas:539
Nilai: 5
Nama Author: Khusus Game

Yansya diceraikan istrinya karena dia miskin. Setelah menjadi agent khusus, akankah hidupnya berubah menjadi lebih baik? atau menjadi semakin buruk?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ungkapan Menyakitkan

"Jadi ini akhirnya, ya?" ucap Yansya Ardian, suaranya tercekat karena menahan pilu yang mendalam. "Kamu benar-benar menceraikanku, hanya karena gajiku tidak cukup untuk memenuhi semua keinginanmu yang tak ada habisnya?"

Sarah membuang pandang, bibirnya mengerucut tipis tanpa ada penyesalan. "Bukan cuma itu, Yansya," sahut Sarah dingin. "Aku butuh kepastian, aku butuh kemapanan, karena hidup bersamaku itu butuh uang, bukan cuma janji cinta."

Yansya tertawa hambar, rasanya sangat getir sampai ke ulu hati. "Oh, jadi uang, ya?" tanya Yansya sambil menaikkan sebelah alisnya. "Pantas saja akhir-akhir ini kamu sering pulang larut, katanya ada rapat kantor. Rupanya rapatmu itu dengan Herman di apartemennya, begitu?"

Sarah menatap Yansya tajam, tidak lagi menyembunyikan amarah yang sudah lama dipendamnya. "Kalau memang kamu sudah tahu, kenapa baru sekarang bertanya?" tantang Sarah, suaranya meninggi. "Herman bisa memberiku semua yang tidak bisa kamu berikan, Yansya, dan apa salahnya aku mencari kebahagiaanku sendiri?"

Mata Yansya berkaca-kaca, dadanya terasa sesak. "Kebahagiaan di atas kehancuranku?" Yansya bertanya dengan suara bergetar. "Kebahagiaan yang kamu bangun di atas janji suci kita, yang kamu injak-injak hanya karena ada dompet yang lebih tebal dariku?"

Sarah tidak lagi membalas ucapannya. Ia hanya berbalik mengambil tasnya yang tergeletak di sofa ruang tamu lalu melangkah cepat menuju pintu tanpa sedikit pun menoleh ke arah Yansya. Semua kata-kata pedih yang keluar dari bibir mantan suaminya itu tidak ia pedulikan sama sekali karena tidak ada lagi yang mengikat mereka. Pintu rumah tertutup rapat, meninggalkan Yansya yang kini terduduk lemas di lantai, sendirian dengan kepingan hatinya yang hancur.

"Baiklah, Sarah, pergilah," bisik Yansya pada kehampaan, suaranya parau dan sarat kepedihan. "Pergilah dengan kebahagiaan semu yang kau cari itu. Apa kamu benar-benar akan bahagia dengan uang tanpa sedikit pun ketulusan? Apa kamu pikir semua ini tidak akan kembali padamu, suatu hari nanti?"

Yansya memeluk lututnya, menenggelamkan wajahnya di antara lengan, membiarkan air mata yang selama ini ia tahan tumpah membasahi celana yang dikenakannya. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan, namun yang terasa hanyalah kehancuran tak berujung karena semua impian dan masa depan yang telah mereka bangun bersama kini lenyap begitu saja, hanya menyisakan puing-puing kepedihan yang tak tertahankan.

Dalam keheningan yang menyesakkan, ketika Yansya sedang larut dalam keputusasaannya, tiba-tiba sebuah benda keras melayang menghantam wajahnya. 'BUGH!' Sebuah buku tebal jatuh dari rak di atas kepalanya, mengenai pelipisnya. Yansya tersentak kaget. Rasa sakit yang mendadak muncul itu sejenak mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit di hati yang lebih mendalam. "Aduh!" desisnya, sambil mengangkat tangannya menyentuh area yang nyeri, lalu mengerjap bingung melihat buku yang kini tergeletak di sampingnya.

Perlahan, Yansya meraih buku itu, sampulnya terasa usang namun kokoh di genggamannya. Judulnya terpampang jelas, "Sumber Pengetahuan," dan seketika ia merasa ada dorongan aneh untuk membukanya. Begitu lembaran pertama terbuka, cahaya putih terang memancar, menyilaukan mata Yansya sesaat.

Ia merasa ada aliran energi yang tak terlihat masuk ke dalam otaknya, memenuhi setiap sudut pikirannya dengan informasi yang tak terhingga. Ketika cahaya itu meredup, Yansya menyadari sesuatu yang luar biasa: semua tulisan, gambar, dan setiap isi dalam buku itu lenyap, hanya menyisakan halaman-halaman kosong yang bersih dan tak berbekas. Kepalanya terasa penuh, seluruh ilmu yang ada dalam buku itu kini menjadi miliknya.

Namun, kebahagiaan sesaat itu sirna, digantikan nyeri luar biasa yang menusuk otaknya, terasa seperti jutaan jarum menusuk bersamaan. Kepalanya berdenyut hebat, pandangannya mulai kabur, dan telinganya berdengung nyaring. Yansya berusaha untuk mempertahankan kesadarannya, ia bergumam lemah, "Apa ini? Sakit sekali..." Akan tetapi, upayanya sia-sia. Tubuhnya terasa mati rasa, ia tak mampu lagi menopang dirinya sendiri. Seluruh penglihatannya menggelap, dan ia pun limbung, jatuh tak sadarkan diri di atas lantai.

Saat kesadarannya kembali, pandangan Yansya perlahan terbuka. Hal pertama yang ia rasakan bukan lagi nyeri di kepala, melainkan sebuah sensasi aneh di matanya, dan ia melihat dunia dengan cara yang sama sekali baru. Yansya bisa melihat pola-pola rumit di dinding yang sebelumnya tampak polos, jarak pasti antara dirinya dengan setiap benda di ruangan itu, bahkan sebuah angka muncul di benaknya memperkirakan berapa lama waktu yang ia butuhkan untuk mencapai setiap objek, lengkap dengan perkiraan jumlah langkah yang harus ia ambil. Sebuah gumaman pelan keluar dari bibirnya, "Ini... ini apa?" Ia mencoba menggerakkan jari-jarinya, dan seketika ia menghitung dengan tepat berapa sentimeter jarak antara jempol dan jari telunjuknya, karena pikirannya terhubung dengan sebuah sistem pengukuran universal yang tak pernah ia sadari sebelumnya.

Di tengah kebingungan akan kemampuan barunya, Yansya tiba-tiba mendengar suara pintu didobrak keras dari arah ruang depan. 'BRAK!' Ia tersentak kaget, jantungnya berdegup lebih cepat, dan ia langsung mencoba menganalisis pola suara serta jaraknya dengan kecepatan luar biasa. Beberapa detik kemudian, tiga sosok berpakaian serba hitam dengan senjata di tangan memaksa masuk ke dalam rumahnya. Wajah mereka tertutup masker, membuat Yansya tidak tahu siapa yang mengirim mereka.

"Siapa kalian?" teriak Yansya, meski suaranya terdengar gemetar. Ia sudah menghitung kemungkinan jarak dan waktu yang ia butuhkan untuk melarikan diri dari mereka. "Apa yang kalian inginkan dariku?"

Alih-alih melarikan diri, mata Yansya justru bergerak cepat, memindai setiap sudut ruangan dengan fokus intens. Kemampuan barunya bekerja jauh melampaui perhitungan jarak dan waktu biasa, dan ia mulai melihat pola pergerakan tubuh para penyerang, titik lemah pada postur mereka, bahkan sudut serangan optimal yang bisa ia manfaatkan. Pikirannya memproses data dengan kecepatan yang tak masuk akal, menciptakan berbagai skenario di kepalanya.

"Ada tiga orang, masing-masing dengan berat sekitar tujuh puluh kilogram, jarak dua meter dari pintu," Yansya bergumam pada dirinya sendiri, membaca data dari sebuah layar tak terlihat. "Tangan kanan mereka memegang senjata, menyisakan sisi kiri yang lebih terbuka." Ia menyusun strategi dengan presisi tinggi, setiap detail dianalisis untuk menemukan cara yang paling tepat mengalahkan dan melumpuhkan para penyerang, bukan melarikan diri dari mereka.

Yansya bertindak cepat, memanfaatkan setiap celah yang ia temukan. Dengan gerakan gesit, ia melompat ke samping, menghindari ayunan tongkat pertama dari penyerang terdepan. "Gerakan mereka bisa ditebak," pikirnya, saat pandangannya mengidentifikasi setiap sendi yang bisa dilumpuhkan. Ia lalu mendaratkan pukulan siku yang terukur tepat ke sendi siku penyerang pertama, membuatnya tersentak dan menjatuhkan senjatanya.

Berikutnya, ia membanting tubuhnya ke samping, menghindari tembakan yang meleset tipis dari penyerang kedua. Yansya kemudian menyapu kaki penyerang tersebut, menjatuhkannya ke lantai, lalu ia memutar tubuhnya dengan cepat, mengunci lengan penyerang ketiga, memelintirnya hingga terdengar suara retakan tulang dan penyerang itu menjerit kesakitan. Hanya dalam hitungan detik, tiga penyerang bersenjata itu sudah terkapar tidak berdaya, dilumpuhkan oleh Yansya yang kini berdiri tegak, napasnya sedikit terengah namun matanya penuh ketajaman.

Setelah melumpuhkan para penyerang, Yansya tidak membuang waktu. Ia segera memeriksa setiap penyerang, memastikan mereka benar-benar tidak berdaya dan tidak ada ancaman susulan. Meskipun adrenalin membanjiri tubuhnya, pikirannya tetap jernih. Kemampuan barunya secara otomatis menganalisis identitas dan motif para penyerang, meski informasi itu masih samar dan perlu diurai lebih lanjut. "Siapa yang mengirim mereka? Dan mengapa?" Yansya bertanya pada dirinya sendiri, seraya menatap buku "Sumber Pengetahuan" yang masih tergeletak di lantai, sumber kekuatan baru yang misterius itu.

"Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?" Yansya bertanya dengan suara tegas, sambil menatap tajam salah satu penyerang yang masih merintih di lantai. "Jawab aku sekarang!" Penyerang itu hanya mengerang, menolak untuk bicara.

Yansya beralih ke penyerang kedua, mencengkeram kerah bajunya. "Jangan coba-coba main-main denganku," ancamnya. "Aku tahu kalian tidak datang sendiri." Namun, penyerang itu hanya memalingkan wajah, bibirnya terkatup rapat, dan yang ketiga juga tidak jauh berbeda. Mereka semua tetap bungkam, tidak ada satu pun yang mau mengaku siapa dalang di balik penyerangan ini. Yansya mendengus frustrasi, menyadari bahwa menginterogasi mereka secara paksa tidak akan membuahkan hasil.

Tanpa ragu, Yansya memutuskan untuk menyerahkan para penyerang itu ke pihak berwajib. Ia tidak ingin mengambil risiko lebih lanjut, juga karena ia yakin investigasi resmi dapat mengungkap siapa dalang di balik penyerangan misterius ini. Yansya menghubungi kantor polisi terdekat, menjelaskan secara singkat apa yang terjadi, dan tak lama kemudian, sirene mobil polisi terdengar mendekat, memecah kesunyian malam di permukiman itu.

Beberapa petugas datang, dengan sigap mengamankan para penyerang yang terkapar, serta mulai melakukan olah TKP, sementara Yansya hanya bisa menatap buku "Sumber Pengetahuan" di tangannya, bertanya-tanya tentang apa lagi yang akan terjadi.

Yansya kemudian mengalihkan perhatiannya pada buku "Sumber Pengetahuan" yang tergeletak di lantai. Ia membolak-balik halamannya, memastikan bahwa buku itu kini benar-benar kosong, tak ada lagi tulisan atau gambar yang tersisa. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya, sebuah pemikiran yang ekstrem namun terasa benar.

Tanpa pikir panjang, ia mengambil korek api dari saku celananya. Dengan tatapan serius, ia menyulutkan api ke salah satu sudut halaman buku itu. Api dengan cepat menjalar, melahap setiap lembaran kertas hingga hanya menyisakan abu, karena Yansya ingin menghapus jejak masa lalu, atau mungkin, mengukuhkan kekuatannya yang baru.

1
Khusus Game
oke, bantu share k
Glastor Roy
yg bayak tor up ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!