Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Siapa itu sayang?" Tanya Ghina berbisik-bisik di belakang telinga Dila, ketika memandangi wanita yang berjalan ke arah mereka. Namun, Dila yang kaget karena kedatangan wanita itu pun sampai tidak mendengar pertanyaan mertua.
Begitu dekat, Silfia menatap Dila tidak suka, lalu masuk rumah begitu saja tanpa permisi kepada Ghina yang ia anggap ART di rumah itu. Mungkin, karena saat ini Ghina menjelma menjadi wanita biasa yang hanya mengenakan daster dan rambut pun diikat asal. Karena udara di Jakarta panas tidak seperti di Bogor, pakaian daster batik menjadi solusi.
Sontak Ghina kaget karena wanita itu sungguh tidak sopan sekali. Setidaknya mengucap salam atau permisi walaupun sudah kenal sekali pun.
Sementara Dila hanya memandangi Silfia hingga tidak terlihat lagi, sepertinya wanita itu sudah biasa datang ke rumah ini, nyatanya dengan santainya masuk ke kamar Abdullah.
"Siapa wanita itu Dila?" Ghina mengulangi pertanyaan.
"Dia itu istri Kak Abdullah, Ma."
"Astagfirullah..." Ghina rasanya ingin semaput saking kagetnya. Ternyata seperti itu wanita pilihan putranya. Dia kecewa karena menantunya ternyata wanita yang tidak punya tata krama.
"Mama ke kamar dulu sayang..." Ghina ingin segera melaporkan kepada sang suami seperti apa menantu pertamanya.
"Nanti kita makan siang bareng ya, Ma" pesan Dila sebelum Ghina masuk rumah.
Ghina mengacungkan jempol, lalu sama-sama meninggalkan teras. Tiba di dalam mereka berpisah, Ghina ke kamar, selanjutnya Dila ke dapur karena perabot bekas masak belum ia cuci.
"Pa" panggil Ghina mendekati suami yang duduk bersila di tempat tidur, memangku laptop.
"Apa" jawabnya tanpa menoleh ke arah istri.
Ghina pun duduk di pinggir tempat tidur lalu menceritakan seperti apa Silfia. "Masa, Mama tidak ditegur sih, Pa. Tidak sopan sekali anak itu."
"Bilang saja sama Abdullah Ma, biar diajari istrinya itu" Ahmad sendiri masih malas bertemu menantu pertamanya.
"Benar juga Pa" Ghina akan menemui Abdullah, tapi nanti. Ia akan memberi kejutan kepada menantu yang tidak tau sopan santun itu.
Sementara di kamar Abdullah, pria itu tetap bekerja karena Barra baru saja telepon, walaupun tidak ke kantor pekerjaan harus selesai hari ini juga.
"Bang" Silfia tiba-tiba saja sudah berdiri di depan Abdullah. Karena sibuk mantengin laptop Abdullah tidak menyadari kehadiran Silfia.
"Silfia, kenapa kamu datang kesini?" Abdullah bertanya ngegas, seketika berdiri dari duduknya.
"Kenapa kaget gitu Bang, salahnya dimana kalau aku datang ke rumah suamiku sendiri" jawab Silfia santai sembari meletakkan tas di meja kecil.
"Bukan begitu Silfia, Dila kan di rumah ini" Abdul menarik napas berat, bakal ada perang padahal mama sama papa pun berada di rumah ini.
"Abang sih berbohong, katanya mau ke kantor tapi malah enak-enakan disini bersama Dila" Silfia terpaksa datang ke rumah ini. Ia sejak pagi sudah berusaha memasak atas permintaan Abdullah. Setelah matang, ia pergi ke kantor hendak mengantar makanan tersebut. Tetapi tidak ada Abdullah di sana, justru bertemu Barra yang bersikap angkuh kepadanya.
"Kamu kan bisa telepon Silfia..." Abdullah berdecak kesal. Saat berupaya untuk ambil hati Dila agar membatalkan niatnya untuk bercerai, tetapi kedatangan Silfia ke rumah ini sudah jelas membuat kemarahan Dila semakin menjadi-jadi.
"Jadi, kamu marah hanya karena aku datang kesini? Aku tahu karena kamu dengan Dila tidak mau diganggu bukan?! Keterlaluan kamu, Bang!" Silfia marah lalu menarik tali tas yang baru saja ia letakkan di atas meja, kemudian keluar kamar.
Ia mengedarkan pandanganya ke seluruh ruangan rumah itu, ternyata banyak fasilitas. Di ruang keluarga terdapat sofa empuk, begitu juga di ruang tamu. Belum lagi udara yang berasal dari tembok sebelah dapur terdapat kolam ikan terasa sejuk membuatnya betah. Sementara ia tinggal di kontrakan sempit, dan gerah. Niatnya mau kabur karena kesal dengan Abdullah pun tidak jadi, ingin juga rasanya merasakan duduk santai di sofa. "Pokoknya aku harus membujuk Abang agar rumah ini menjadi milikku" ia berbicara sendiri. Sebenarnya Silfia pernah datang ke rumah ini ketika Dila di rumah sakit, tapi di malam hari hingga tidak memperhatikan isi rumah.
Terdengar suara gemerincing sendok dan piring beradu, Silfia menuju ke arah suara. Begitu dekat, tatapan matannya tertuju kepada seorang wanita yang sedang mencuci piring. "Sok menjadi perempuan rajin, padahal dia melakukan itu hanya untuk mencari simpati Abdullah. Jika tidak, untuk apa punya art tapi mencuci piring sendiri" gumam Silfia dari persembunyian.
Silfia tidak tahu jika Martini hanya bekerja pagi hari saja. Wanita itu pun akhirnya mendekati Dila yang masih menggosok panci berlemak bekas memasak ayam rica-rica. Gelang imitasi yang lucu di tangan Dila menyita perhatian Silfia, ia pikir gelang tersebut emas.
"Ini gelang pasti pemberian Abang bukan? Enak saja, sudah diberi rumah, mobil, masih juga dibelikan perhiasan!" Silfia merampas gelang tersebut lalu duduk di kursi sofa ruang keluarga, sembari memasang gelang di tangan.
"Silfia... Silfia, jual saja gelang itu pasti kamu akan kena malu" gumam Dila menatap Silfia dari kejauhan yang sedang senyum-senyum mengamati gelang yang memang menarik. Padahal gelang tersebut, Dila beli di pasar tradisional seharga lima belas ribu. Dila membayangkan jika Silfia menjual di toko emas pasti disangka ingin menipu atau calon pembeli akan tertawa lebar.
Waktu berganti siang, jam makan siang pun tiba. Dila sudah menata piring karena sebentar lagi mertuanya pasti akan keluar dari kamar.
Namun, Dila kaget ketika tiba-tiba saja Silfia pindah dari sofa lalu menarik kursi di depanya. Seperti nyonya besar yang tidak percaya dengan masakan pembantu, Silfia menyendok kuah ayam rica-rica lalu mencicipi. "Masakan kamu biasa saja Dila, tapi kok bisa, Abang selalu memuji masakan kamu, pasti kamu pakai guna-guna untuk melet suami saya" ucapnya sembari menarik kursi kemudian duduk dengan santai.
Dila sudah membuka mulut hendak membantah tuduhan Silfia, tapi menutup kembali karena Ghina sudah keluar dari kamar bersama Ahmad. Dila tersenyum menatap mertuanya yang sudah memperbaiki penampilan hingga tampak elegan dan cantik.
"Makan sudah siap Ma, Pa" Dila menarik kursi untuk mertuanya.
"Terima kasih sayang... kamu memang menantu pilihan" Ghina mengusap kepala Dila, lalu melirik Silfia yang hanya duduk membatu di tempat.
"Dila memanggil wanita paruh baya itu Mama? Jangan-jangan..." batin Silfia, tubuhnya tiba-tiba berkeringat.
...~Bersambung~...
jangan sampai balikan lagi ke Abdul apalagi kalau masih mempertahankan silfia.
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
usir ajh dri rumah biar tau kelakuan istrinya
pokoknya ditunggu banget kelanjutannya author