NovelToon NovelToon
Rumah Hantu Batavia

Rumah Hantu Batavia

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri
Popularitas:794
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.

Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”

Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.

”Dion...”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Jumat Kelabu

“Julian, ini kesempatan sempurna bagimu untuk mengasah pengetahuan tentang arsitektur tradisional Indonesia. Lihatlah, ini adalah rekonstruksi yang nyaris sempurna dari bangunan Jawa Kuno. Ada tiga lapisan pintu masuk, bagian depan, rumah utama, rumah paviliun, koridor penghubung, dan seterusnya. Perhatian terhadap detailnya sangat mengesankan, seakan kita benar-benar dibawa kembali ke masa lalu,” ujar Tiara sambil melangkah perlahan melewati bangunan itu. Sesekali ia berhenti untuk memerhatikan detail ukiran atau tata ruang.

“Senior, kita sedang berada di dalam Rumah Hantu, bukan tur studi arsitektur. Apakah Senior tidak merasa terganggu?” Suara langkah kaki mereka bergema di halaman kosong, di mana lembaran uang kertas bertebaran di lantai. Julian tampak gelisah, matanya terus menoleh ke belakang setiap beberapa detik, khawatir sesuatu akan muncul dari sudut gelap. “Sebaiknya kita segera mencari jalan keluar, tempat ini membuatku gelisah,” ujarnya dengan nada tegang.

“Karena sudah berada di sini, tentu kita harus menikmati pengalamannya. Ingat, kita adalah pengunjung, jangan biarkan Rumah Hantu ini mempermainkan kita,” jawab Tiara tenang.

“Tapi Senior lupa? Bos tempat ini memperingatkan kita harus menemukan jalan keluar dalam waktu kurang dari lima belas menit. Berdasarkan tatapan tajamnya, aku yakin ada sesuatu yang menakutkan jika kita gagal melakukannya,” desak Julian, namun Tiara tampak tidak terpengaruh.

“Hanya ada beberapa taktik yang dapat digunakan sebuah Rumah Hantu. Paling buruk, mereka akan menakut-nakuti dengan pemeran yang menyamar sebagai hantu. Julian, kamu setiap hari berurusan dengan mayat, jangan katakan tiba-tiba takut pada hantu.” Sambil berbicara, Tiara mendorong sebuah pintu menuju paviliun kiri.

Ruang itu merupakan set properti bertema Pernikahan Hantu yang khas dengan gaya bangunan kuno. Rumah Utama biasanya ditempati orang tua dan kepala keluarga, paviliun kiri dan kanan untuk anak-anak, sedangkan paviliun lainnya digunakan para pelayan.

Begitu pintu terbuka, meja dan kursi di dalam tampak berantakan. Bantal-bantal di tempat tidur tercabik, menyisakan bulu kapas yang berterbangan di udara. Di tengah ruangan, kain putih tergantung dan bergoyang perlahan.

“Senior, aku akan berjaga di pintu. Hati-hati di dalam...” Belum sempat Julian menyelesaikan kalimatnya, Tiara menariknya masuk. Julian membeku, wajahnya memucat saat melihat kain putih itu bergoyang, meski tidak ada angin yang berembus.

“Menarik, kain ini setidaknya tergantung satu setengah meter dari lantai, tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kematian akibat gantung diri. Meja dan kursi berjatuhan, di lantai menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Mereka ingin menciptakan ilusi kematian akibat bunuh diri paksa. Namun paviliun ini seharusnya untuk para pelayan, yang berarti roh di sini tidak mengampuni siapa pun, bahkan yang tidak terkait langsung dengan kematiannya. Ia bertekad menyiksa siapa saja hingga ajal menjemput,” analisis Tiara, matanya berkilat seolah terpesona. “Desain Rumah Hantu ini cukup mengesankan, mungkin masih ada rahasia lain yang belum kita temukan.”

Ia mengitari ruangan, lalu menarik penutup tempat tidur yang telah pudar warnanya, dan di bawahnya tergeletak sebuah boneka kain.

“Boneka kain di atas ranjang orang hidup?” gumam Tiara sambil melemparnya ke lantai. Ia membalik kasur, tetapi tidak menemukan apa pun.

“Semakin besar antisipasinya, semakin besar pula kekecewaannya... sepertinya aku terlalu melebih-lebihkan Rumah Hantu ini. Ayo, jalan keluar tidak ada di sini,” ujarnya sambil mengangkat bahu dan berjalan keluar.

Julian yang masih tertinggal menatap boneka kain itu, dan bersumpah melihat boneka tersebut mengedipkan mata kepadanya. “Patung kuntilanak mulai berdarah, boneka kain berkedip… Senior, tunggu aku!” serunya tergesa.

Begitu pintu paviliun kiri tertutup, kain putih di dalam ruangan berhenti bergoyang.

“Bisakah kamu sedikit lebih tenang? Jangan berteriak seperti itu. Bersikaplah seperti laki-laki,” ujar Tiara sambil menoleh, nada suaranya terdengar kesal.

“Aku tidak takut, tapi tempat ini benar-benar membuatku merasa tidak nyaman. Semakin lama kita berada di sini, semakin kuat perasaan itu. Apakah Senior tidak merasakan ada sesuatu yang memperkuat ketakutan terdalam kita?” kata Julian dengan wajah serius.

Ucapan itu membuat Tiara terdiam, dan juga merasakan ada kejanggalan. Sebagai dokter forensik, ia terbiasa menghadapi mayat tanpa gentar. Namun tadi ia benar-benar kehilangan kesabaran ketika memarahi Julian, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

’Mungkinkah aku juga merasa takut? Tapi mengapa? Semua ini jelas hanyalah rekayasa,’ pikirnya, dan retakan kecil mulai terbentuk di pertahanan batinnya. Tidak satu pun dari mereka mampu memastikan dari mana rasa takut itu berasal. Bersamaan dengan kecurigaan yang semakin tumbuh, benih teror mulai bersemi di hati mereka.

“Katakan, apakah Senior percaya ada sesuatu atau seseorang yang benar-benar menghuni tempat ini? Lagipula, Bos tadi mengatakan tempat ini dibangun di atas kuburan massal dan dulunya adalah rumah sakit yang ditinggalkan…” ucap Julian perlahan.

“Sst! Ruang mayat di universitas kita bahkan lebih menyeramkan daripada ini. Kamu dokter forensik, bagaimana bisa begitu mudah terpengaruh?” jawab Tiara cepat, meski nada bicaranya terdengar meninggi. Ia melirik sekeliling, ada rumah tua, aula duka, pohon mati, uang kertas, semuanya hanyalah properti, tidak ada yang menakutkan. ’Lalu, apa yang sebenarnya kutakuti?’

Keduanya begitu terhanyut oleh suasana mencekam di sekitar mereka, hingga tidak menyadari musik latar yang sejak tadi berulang-ulang diputar. Lagu terlarang itu dikenal sebagai Lagu Malam Jumat Kelabu, merembes perlahan ke relung hati, memicu rasa takut yang semula hanya samar menjadi semakin nyata.

“Julian, sudah berapa lama kita berada di sini?” tanya Tiara lirih.

“Aku tidak tahu pasti, tapi firasatku mengatakan kita tidak akan berhasil keluar dalam waktu lima belas menit,” jawab Julian, nada suaranya terdengar gelisah.

“Jangan khawatir, biarkan aku memikirkannya,” ujar Tiara sambil menelusuri koridor yang remang. “Rumah Hantu ini sebenarnya tidak terlalu menakutkan, justru ketakutan kita muncul karena Bos itu telah memberikan sugesti psikologis sejak awal. Ia mengulang-ulang hal-hal seperti kuburan massal, penguburan hidup-hidup, dan hantu. Itu adalah metode klasik untuk melemahkan mental. Namun kelicikan terbesarnya adalah meski telah menetapkan batas waktu, tidak pernah memberitahu apa yang akan terjadi jika kita gagal. Kekosongan informasi itu mendorong pikiran kita membentuk bayangan terburuk.”

“Kalau begitu, menurut Senior apa yang harus kita lakukan sekarang? Rasanya Rumah Hantu ini berbeda dari yang biasa,” tanya Julian polos.

“Kamu benar, Rumah Hantu pada umumnya mempekerjakan pemeran untuk berpakaian seperti hantu, atau menata properti yang menggambarkan adegan berdarah demi menakuti pengunjung. Tetapi tempat ini berbeda, semua set sudah disiapkan sebelumnya, dan kita dibiarkan berkeliaran tanpa pemandu maupun alur cerita yang jelas. Karena tidak ada yang mengarahkan, kita tidak dapat menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.”

“Aku mengerti maksud Senior, yang paling menakutkan adalah hal yang tidak diketahui,” ucap Julian sambil mengangguk.

“Penjelasan itu masuk akal,” balas Tiara, meski keningnya sedikit berkerut. “Ayo, kita lihat ruangan berikutnya.”

Paviliun terhubung langsung ke Rumah Utama, Tiara mendorong pintu kayu yang berat, dan terbukalah pemandangan sebuah ruangan dipenuhi pakaian duka berwarna hitam dan abu-abu. Di tengahnya, berdiri sebuah keranda yang dicat merah tua, warna yang di Indonesia kerap digunakan dalam prosesi kematian tertentu.

Di sisi keranda, terpampang potongan kertas berwarna putih dengan huruf ’Bahagia’ yang ditulis aksara Jawa kuno, ironis mengingat suasana di sekitarnya muram dan menyesakkan.

Berjejer rapi di kiri dan kanan keranda, berdiri belasan manekin kertas berwajah pucat. Masing-masing dari mereka memiliki nama yang tertulis di punggung, dan semua mengenakan riasan tipis di wajah. Mata mereka tampak bersinar saat pintu didorong terbuka, dan tampak menatap dengan tenang pada dua sosok yang berdiri di pintu.

1
Gita
Membuat penasaran dan menegangkan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!