"Ada sebuah kisah kuno dari gulungan tua... tentang seekor naga yang tak mati meski semesta memutuskan ajalnya."
Konon, di balik tirai bintang-bintang dan bisikan langit, pernah ada satu makhluk yang tak bisa dikendalikan oleh waktu, tak bisa diukur oleh kekuatan apa pun—Sang Naga Semesta.
Ia bukan sekadar legenda. Ia adalah wujud kehendak alam, penjaga awal dan akhir, dan saksi jatuh bangunnya peradaban langit.
Namun gulungan tua itu juga mencatat akhir tragis:
Dikhianati oleh para Dewa Langit, dibakar oleh api surgawi, dan ditenggelamkan ke dalam kehampaan waktu.
Lalu, ribuan tahun berlalu. Dunia berubah. Nama sang naga dilupakan. Kisahnya dianggap dongeng.
Hingga pada suatu malam tanpa bintang, seorang anak manusia lahir—membawa jejak kekuatan purba yang tak bisa dijelaskan.
Ia bukan pahlawan. Ia bukan penjelajah.
Ia hanyalah reinkarnasi dari sesuatu yang semesta sendiri pun telah lupakan… dan takutkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Tiga bulan telah berlalu sejak kehendak semesta memilih untuk memberi tubuh baru bagi Sang Naga Semesta. Namun, tak ada yang bisa mempersiapkan makhluk purba sepertinya menghadapi satu kenyataan baru: menjadi bayi... dari seorang ibu manusia yang sangat menyayangi 'dan sangat menakutkan.'
Apartemen kecil itu berada di lantai 9 sebuah menara hunian distrik Seoul yang padat. Matahari siang menyelinap melalui tirai, menyinari ruangan yang rapi, penuh mainan, popok, dan aroma khas bayi.
Dan di tengah semua itu—sebuah suara lembut terdengar dari ruang tengah.
“Bintang kecil kesayangan ibu… di mana kamu, nak~?
Langkah kaki ringan terdengar menyusuri lantai parket. Suara kain geser, desahan napas, dan dengungan kecil dari mainan di ruang bayi mengiringi.
Sementara itu… di balik keranjang pakaian kotor
“Ini… sangat menakutkan…”
Sosok kecil dengan mata besar berkilau dan pipi bulat bersembunyi di balik tumpukan baju lembut dan handuk bayi. Napasnya tertahan.
Asterion, sang naga semesta yang dulu ditakuti seluruh penjuru kosmos, kini… sedang bersembunyi dari ibunya sendiri.
“Dia mencariku… lagi… Astaga…”
Ia menggigit bibir mungilnya. Kedua tangannya mencengkeram baju putih susu dengan tulisan “Little Star”. Jubah neraka! Apa-apaan ini?
“Ini sudah jam makan siang dan kau harus tidur siang, bintang kecil ibu~”
Suara ibunya semakin mendekat.
Di dalam benaknya…
“Manusia… makhluk yang mengerikan.”
“Tuan Revenant saja tidak pernah mengendap-endap sambil tersenyum mengerikan begitu.”
Baju bayi yang ia pakai kini seperti rantai kutukan. Lembut, hangat, dan menggemaskan—tapi bagi Asterion, itu seperti baju hukuman.
“Aku tidak nyaman memakai ini… Sisik jauh lebih unggul. Tahan panas. Tahan ledakan. Anti pelukan.”
Dan lagi… masalah terbesarnya belum datang.
“Kalau aku tertangkap… aku akan dipaksa lagi minum air itu…”
Wajahnya memucat. Napasnya tertahan.
“Air manis yang keluar dari… bagian tubuh… manusia…”
Tubuh mungilnya bergetar.
“Aku pernah menyerap plasma dari inti bintang. Aku pernah meminum lahar hitam dari planet Ner'goth. Tapi ini… ini adalah ketakutan pertamaku sejak dimarahi oleh Tuan Revenant karena menghancurkan dimensi ke-12!”
Tiba-tiba…
KRUSAK!
Tumpukan baju di atasnya terangkat.
Asterion menoleh pelan… dan di hadapannya…
Muncul wajah itu.
Wajah dengan senyum yang terlalu lembut untuk jadi manusia biasa. Rambut yang diikat rapih. Mata penuh kasih… namun di mata Asterion—itu wajah iblis lembut penuh niat peluk-peluk menyeramkan.
“Daaaan… disini kau rupanya, bintang kecilku yang nakal~”
Asterion membeku. Seluruh sistem sarafnya panik.
“Kabur? Terlambat. Teleportasi? Tidak bisa. Menghilang? Aku hanya bayi—!!!”
Dia digendong.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah ritual penyiksaan manusia versi domestik:
“Kau mulai nakal ya… Kalau terus nakal… pipi tembemmu akan menjadi korbannya~”
“TIDAAAAAAK!!”
“PIPIKU SANGAT RENTAN!!”
Ibunya pun mencubit pipinya… dengan penuh cinta. Pipi tembem Asterion memerah, bukan karena sakit, tapi karena kehancuran martabat.
“Lihatlah kamu. Lucunya… Astaga~”
“Lucu katamu!? Aku pernah menghapus kehidupan dari sistem bintang hanya dengan satu napas! Aku pernah diukir di altar suku Eldros sebagai Dewa Penghancur! Aku—”
“…aku tidak tahan lagi…”
Tangannya mengepal pelan. Namun, efeknya hanya membuat jarinya terdorong ke wajah sendiri.
Ibunya duduk di sofa ruang tengah. Ia mengatur posisi bayi di pangkuannya dengan santai, lalu menatap anaknya dengan senyum paling murni.
“Baiklah, bintang kecilku… Waktunya makan ya~”
Asterion yang sempat hampir pingsan karena pencubitan pipi… langsung membelalak.
“TIDAK. AKU MOHON. JANGAN AIR ITU LAGI.”
“Jangan buka bajumu—OH TIDAK SUDAH TERBUKA!!!”
Ibunya membuka kancing bajunya perlahan, dan dari sana, keluarlah sumber ketakutan Asterion yang paling besar… ASI.
“AKU TIDAK BISA. AKU MAKHLUK PURBA. AKU TIDAK PERNAH MINUM DARI… DARI… UJUNG YANG WARNA PINK ITU!!!”
Ia berontak, menolak dengan segala tenaga yang dimiliki tubuh bayi. Tapi sia-sia.
Karena dalam satu gerakan elegan penuh cinta…
Mulutnya sudah menempel.
“TIDAK!! Aku belum setuju! Ini melanggar kesepakatan eksistensial! Aku—hmphh—”
Dan di tengah protes batinnya… rasa itu datang.
Manis. Hangat. Damai.
“…Astaga… ini… ini enak…”
“…SIAL.”
Ibunya mengelus kepalanya dengan penuh kasih, mengusap lembut rambut halus yang baru tumbuh.
“Makanlah sampai kenyang ya, bintang kecilku.”
“Kau pikir aku akan kalah dengan—hnggh… rasa ini… kenapa rasanya… menenangkan… seperti… awal kelahiran bintang…aku mengantuk.."
Matanya mulai tertutup. Tangannya lemas.
Sang naga semesta yang pernah membuat Elder Star gemetar kini perlahan… tertidur dengan damai di dada ibunya.
Asterion tertidur.
Tangannya menggenggam udara kosong, mulutnya masih sedikit terbuka, dan wajahnya…
Ya Tuhan. Bahkan planet-planet akan luluh jika melihat wajahnya yang seperti marshmallow surgawi.
Ibunya menatapnya lekat-lekat, lalu mendesah pelan.
“Kenapa kamu bisa selucu ini, sih…”
Senyumnya mengembang kecil. Ia menunduk pelan, lalu mencium kening Asterion dengan lembut.
“Tidur yang nyenyak ya, bintang kecil ibu…”
Dengan hati-hati, ia menggendong tubuh kecil itu ke kamar bayi. Suara langkahnya lembut, bahkan angin pun tak akan bangun. Ia meletakkan Asterion di kasur, menyelimutinya, lalu mengusap pipinya yang tembem sekali lagi.
“Jangan bangun sampai matahari ganti shift ya, Nak…”
Ia lalu berjalan keluar dari kamar dengan langkah diam-diam ala ninja. Saat menutup pintu...
BRUKK.
Pintu utama apartemen terbuka.
“Aku pulang~!”
Ibunya—yang bernama Elsha—menoleh kaget.
“Hah?”
Dari balik pintu, muncul sosok gagah dengan seragam armor tempur penuh emblem keemasan. Helmnya menyala pelan, sistem senjata otomatis di bahunya menutup.
Komandan Ryu, suaminya, baru saja pulang dari stasiun orbit.
Ia melepaskan helm, senyumnya mengembang begitu melihat Elsha, lalu membuka bagian atas armornya yang langsung berdesis, melepaskan uap pendingin.
“Huaaah. Akhirnya bisa lepas dari itu… Berat banget sumpah.”
Elsha menghampiri dengan tatapan campur aduk antara senang dan curiga.
“Kau sudah pulang, Sayang? Tapi bukankah ini… terlalu cepat?”
Ryu terkekeh, menggaruk kepalanya dengan tangan kosong.
“Hehe... Aku… minta izin kerja setengah hari. Aku bilang ke pusat bahwa aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Asterion.”
“Ryu...”
Nada itu... langsung membuat Ryu berdiri tegak.
Refleks. Sudah seperti kode militer.
“Kau itu komandan unit elite Armada Bintang. Kau pikir pekerjaan bisa ditinggal semudah itu? Di luar sana masih banyak laporan, koordinasi dengan sektor Nebula Timur, dan... jangan bilang kau menyerahkan semuanya ke wakilmu lagi?”
“Err… Aku… mungkin…”
Elsha melipat tangan di depan dada, tatapannya langsung membuat suhu ruangan turun beberapa derajat.
“Kau tahu aku sayang kamu. Tapi jangan terlalu egois. Aku juga ingin kau pulang cepat, tapi tanggung jawabmu itu besar, Ryu. Kalau semua komandan seperti kamu, planet kita sudah dikuasai bajak laut interdimensi dari waktu lalu!”
Ryu meneguk ludah.
“Iya, iya, maaf... aku cuma kangen Asterion…” katanya dengan suara pelan seperti anak sekolah disemprot guru BP.
Elsha mendesah panjang. Ia melirik suaminya yang tiba-tiba terlihat seperti remaja tanggung baru ketahuan bolos.
“Ya ampun... kau itu bisa perang melawan Leviathan Nebula tapi tidak bisa melawan omelanku ya?”
“Kekuatanmu... jauh lebih mengerikan...” bisik Ryu dengan nada sangat pelan.
Elsha menepuk pundaknya dengan senyum menyebalkan.
“Nah. Sekarang, mau makan atau mau aku omeli lagi soal laporan satelit kemarin?”
“MAKAN. MAU MAKAN.” jawab Ryu cepat seperti menjawab kode merah dari pangkalan.
Ryu duduk di sofa, melonggarkan armornya, lalu memejamkan mata sebentar. Rumah ini... damai. Tidak ada ledakan. Tidak ada komando keras. Hanya... bau susu bayi dan wewangian lavender dari diffuser. Rasanya seperti surga bagi pejuang veteran.
“Ngomong-ngomong…” katanya sambil membuka satu mata.
“Asterion di mana?”
Elsha, yang sedang ke dapur untuk mengambil air minum, menjawab tanpa menoleh.
“Baru tidur.”
“Oh…”
“Dan jangan coba-coba mengganggunya.”
Ryu langsung menutup mulut. Lalu mematung.
“…Apakah… dia bisa membaca pikiranku barusan?”
Ia tadi memang berpikir untuk mengintip Asterion sebentar. Tapi bagaimana Elsha tahu?
“Aku tahu tatapanmu, Sayang,” kata Elsha dari dapur sambil menuang air.
“Itu tatapan ‘aku cuma lihat sebentar kok’.”
“Tapi... cuma satu menit…”
“Satu menit bisa jadi seabad buat bayi. Mau kau tanggung jawab kalau dia bangun dan ngamuk kayak terakhir kali?”
Ryu langsung mengingat kejadian itu.
Asterion menangis.
Tangisan itu... membuat seisi rumah panik
Pihak rumah sakit menyebut itu sebagai "fluktuasi dari bayi sensitif".
Ryu menyebutnya: hari paling menyeramkan dalam hidupnya.
“Baik. Aku menyerah. Aku tidak akan mendekat. Aku akan... duduk manis.” Dia lalu bergumam.
“Tapi aku tetap ingin lihat pipinya... sebentar aja...”
“RYU.”
“OKAY!”
Sementara itu… di balik pintu kamar bayi…
Asterion yang tadi tertidur... membuka satu mata perlahan.
“Ada… ancaman aura perang domestik di luar sana…”
“Sepertinya… ibuku jauh lebih kuat dari yang kukira.”
Ia menguap kecil. Pipinya menggelinjang. Dan dia berbaring ke kanan.
“Dan ayahku… pasrah seperti domba…hoam..”
Lalu ia menutup matanya kembali.