Seorang gadis berusia tujuh belas tahun secara tak sengaja menyelamatkan nyawa seorang raja mafia yang dingin dan penuh bahaya. Bukannya jadi korban dalam pertarungan antargeng, ia malah jadi istri dari pria yang selama ini ditakuti banyak orang.
Gadis itu polos dan manis. Sedangkan pria itu tegas dan kuat, dan hampir sepuluh tahun lebih tua darinya. Tapi, ia tak kuasa menolak perasaan hangat yang gadis itu bawa ke dalam hidupnya.
Meski membenci dunia gelap yang pria itu jalani, ia tetap tertarik pada sosoknya yang dingin dan berbahaya.
Dan sejak saat itu, takdir mereka pun saling terikat—antara gadis menggemaskan dan raja mafia muda yang tak pernah belajar mencintai...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Good work!
"Bagaimana?" tanya Lucien pelan, suaranya terdengar datar.
"Sudah selesai," jawab Aiden sambil menyerahkan sebuah dokumen kepadanya.
Lucien menerimanya dan membuka pelan-pelan. Begitu melihat isi dokumen itu, senyum tipis muncul di wajahnya.
Senyum itu tak luput dari pandangan Aiden. Meski sedikit terkejut, ia tetap menjaga ekspresinya.
Di dalam dokumen itu, tertera foto Liora dan dirinya. Meski wajah Lucien tidak terlihat jelas, sosoknya tetap memberi kesan kuat sekaligus tegas.
"Kerja bagus," ucap Lucien, menutup dokumen itu dengan tenang. "Bulan ini, naikkan gaji seluruh karyawan dua kali lipat."
Aiden sempat terdiam, lalu menunduk sedikit sambil menahan senyum.
"Terima kasih. Akan segera saya atur."
"Hari ini aku nggak akan ke kantor. Kamu urus semuanya," ucap Lucien sebelum menaiki tangga ke lantai atas.
Aiden menatap punggung pria itu yang makin menjauh.
"Tuan, masih banyak urusan penting yang menunggu Anda di perusahaan," serunya, sedikit menahan napas.
Tak lama kemudian, Nathaniel, kepala pelayan, datang menghampiri sambil membawa nampan kosong. Ia melirik Aiden dan tersenyum kecil.
"Jarang sekali Lucien menunjukkan ketertarikan pada seseorang. Bagus juga kalau ada yang bisa melembutkan hatinya," ucapnya, suaranya ringan namun penuh makna.
Aiden menghela napas, lalu menjawab dengan nada setengah mengeluh. "Tapi dia santai-santai di rumah, sementara aku harus lembur. Biasanya, dia sendiri yang turun tangan langsung."
"Kamu seharusnya bersyukur. Situasi sekarang jauh lebih baik dari pada dulu," ujar Nathaniel dengan senyum penuh arti.
Aiden hanya menggeleng, lalu berkata, "Sudahlah, aku balik ke kantor dulu. Masih banyak yang harus dibereskan."
"Baik. Hati-hati di jalan," balas Nathaniel sambil tersenyum.
Begitu Aiden pergi, pria tua itu menoleh ke arah lantai tiga dan kembali tersenyum pelan.
Lantai tiga.
Lucien sudah berganti pakaian rumah, tapi tetap memilih warna gelap, seperti biasa.
Sementara itu, Liora mulai terbangun. Perlahan, matanya terbuka dan pandangannya langsung menatap langit-langit kamar.
Di atasnya, lampu kristal mewah tergantung diam, memantulkan cahaya lembut yang menenangkan.
Liora tetap berbaring, menatap lampu itu dalam diam. Ia belum sepenuhnya sadar di mana dirinya sekarang, tapi pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan.
Saat ia larut dalam pikirannya, suara seseorang tiba-tiba menyapanya.
"Kamu sudah bangun," suara itu terdengar pelan.
Liora langsung duduk dan menoleh, pria itu berdiri tak jauh darinya. Ia mengenakan pakaian rumah yang sederhana tapi tetap terlihat rapi.
Lucien mulai mendekat, dengan langkah tenang.
Ia duduk di tepi ranjang dan menatapnya sambil tersenyum tipis. "Kali ini kamu nggak melarikan diri lagi?" ucapnya santai.
Liora tersipu mendengar ucapannya barusan.
Lucien menatap gadis itu, lalu terkekeh pelan.
"Apa yang lucu?" tanya Liora sambil cemberut.
Liora menoleh ke samping, berusaha menghindari tatapan pria itu. Tapi saat ia berpaling, sebuah tas berisi dokumen tiba-tiba disodorkan ke arahnya.
Liora menoleh lagi dan menatapnya dengan bingung.
"Apa ini?" tanya Liora pelan.
"Lihat saja, nanti kamu juga tahu," jawab Lucien dengan tenang.
Liora mengambil dokumen itu dan membukanya. Saat melihat tulisan “surat nikah”, matanya langsung membulat, lalu menatap Lucien dengan kaget.
"Ini… surat nikah?" suaranya terdengar ragu.
"Iya. Bukankah kamu bilang ingin menikah denganku?" balas Lucien, santai.
Gadis itu kembali menunduk, menatap dokumen itu lekat-lekat. Rasanya masih sulit dipercaya.
Ia mengangkat kepala dan menatap pria itu dengan serius. "Kalau kita memang sudah menikah, kamu nggak boleh umumin soal ini ke publik! Dan kamu juga nggak bisa seenaknya lakuin hal-hal yang nggak aku suka."
Lucien hanya menatapnya dalam diam. Ia tahu persis apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
"Jangan khawatir. Aku akan menunggu sampai kamu siap. Aku cuma ingin kamu tahu satu hal—aku nggak akan pernah menyakitimu," ucap Lucien lembut.
Liora terdiam.
Tatapannya tak lepas dari wajah Lucien. Ia tak menyangka pria itu akan mengatakan hal seperti itu.
"Ya, kita bisa bicarakan ini lagi nanti," ucapnya pelan.
Lucien mengulurkan tangan, mengusap lembut rambut Liora. "Mulai sekarang, anggap ini rumahmu," ucapnya pelan.
Mendengar kata “rumah” membuat hati Liora hangat. Meski belum ada rasa pada pria itu, ia benar-benar menghargai ketulusan Lucien.
Dalam diam, ia berharap mereka bisa menjalani hari-hari yang baik ke depannya. "Aku akan mencoba terbiasa," balasnya sambil tersenyum kecil.
"Pergilah mandi, lalu turun untuk makan," ucap Lucien.
Sebelum pergi, gadis itu sempat menoleh ke arahnya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat pintu sebelah yang terbuka lebar. Di dalamnya, sebuah walk-in closet mewah terbentang. Semua perlengkapan wanita—dari tas, baju, sepatu, hingga parfum—sudah tertata rapi di sana.
"Aku sudah siapkan semuanya. Gunakan yang kamu suka," ujar Lucien.
Liora menatapnya sejenak, lalu mengangguk. Tanpa berkata apa-apa, ia segera berjalan ke kamar mandi.
Lucien memperhatikan punggungnya, lalu tersenyum pelan.
--
Dua puluh lima menit kemudian.
Gadis itu muncul dengan pakaian santai—kaus putih longgar dan celana jeans ketat. Rambutnya di kuncir kuda tinggi, membuat wajahnya terlihat segar dan lebih muda.
Meski penampilannya terkesan biasa, harga kedua pakaian itu bisa mencapai jutaan. Semua itu dibuat khusus untuk Liora—dirancang dan disiapkan langsung oleh Lucien.
Saat menuruni anak tangga, gadis itu melihat meja makan yang penuh hidangan, matanya langsung berbinar.
"Banyak sekali hidangannya," ucap Liora dengan wajah senang.
Lucien memandangi senyumnya.
Sepertinya gadis itu sudah melupakan semua hal buruk yang terjadi kemarin.
"Ayo makan," ucapnya sambil tersenyum kecil.
Liora langsung duduk dan mulai menyantap hidangannya dengan lahap.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Ia melirik Lucien dengan rasa penasaran. "Apa kamu gak mau melepaskan topengmu itu?" tanyanya pelan.
Lucien menghentikan gerakannya. Ia menatap gadis itu, lalu menjawab tenang, "Aku udah bilang... aku ingin kamu yang melepasnya sendiri. Tapi hanya saat kamu benar-benar jatuh cinta padaku."
Liora terdiam. Ia tahu maksud dari ucapannya. Tanpa berkata apa-apa, ia hanya memandangi pria tersebut.
ditunggu up nya lagi...😊