Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
AUTHOR POV – APARTEMEN ZAYN, MALAM
Hujan deras menampar jendela kaca apartemen. Suaranya nyaring, tapi buat Zayn dan Amira… dunia tetap terasa sepi.
Amira duduk di sofa, hoodie abu-abu kebesaran menutupi tubuhnya yang kecil. Tangannya masih gemetar tiap kali hujan jatuh terlalu keras, seperti suara pintu besi markas Brightzone yang membanting waktu itu. Zayn berdiri di depan jendela, tangan dimasukkan ke saku celana, bahunya masih tegang, luka di pelipis belum sembuh betul.
Mereka sama-sama hidup. Tapi bukan berarti mereka sama-sama baik-baik saja.
“Zayn…” suara Amira lirih, pecah di antara derasnya hujan.
Cowok itu menoleh, matanya redup. “Kenapa?”
Amira menggigit bibir, lalu berbisik, “Aku… masih denger suaranya. Robi. Wajahnya. Pisau itu. Aku takut kalau… suatu hari, aku bakal ketarik lagi ke kegelapan itu.”
Zayn mendekat, jongkok di depannya. Tangannya meraih jemari Amira yang dingin. “Lo udah keluar dari sana, Mir. Gue bawa lo keluar. Dan selama gue masih hidup, lo nggak akan balik ke neraka itu lagi.”
Air mata Amira jatuh. Tapi kali ini, dia biarkan. Karena di balik luka, ada ketegasan yang dia lihat di mata Zayn. Sesuatu yang bikin dia bisa tetap bernapas.
---
BASECAMP STARDOM
Ruang kecil itu berantakan: poster motor sobek, bekas darah di lantai, dan rokok yang padam separuh. Fatah duduk di kursi plastik, nyalain rokok baru. Reza tiduran di sofa dengan lengan diperban. Vano sibuk bongkar motor, sementara Rafi main gitar tanpa suara.
“Bro…” Fatah membuka obrolan. “Zayn udah bilang, Stardom bukan lagi geng motor. Kita harus berubah jadi pelindung.”
Reza mendengus. “Pelindung apaan? Dunia kita ini keras. Kalau kita nggak mukul duluan, kita yang dimakan.”
Fatah buang asap rokok, tenang. “Lo nggak lihat mata Zayn waktu cabut dari markas? Dia udah beda. Dia nggak main buat ego lagi. Dia main buat orang lain.”
Rafi angkat wajah. “Jadi kita… jadi tameng buat Amira?”
“Bukan cuma buat Amira,” jawab Fatah pelan. “Buat siapa pun yang pernah ngerasain diperlakuin kayak sampah.”
Hening. Hanya suara gitar yang dipetik asal. Tapi di balik hening itu, bibit baru ditanam. Stardom bukan lagi sekadar geng motor liar. Mereka lahir lagi… dari darah, luka, dan cinta.
---
POV SYIFA – KAMAR KOS, MALAM
Lampu redup. Rambut Syifa pendek, masih acak-acakan setelah dipotong asal. Di depannya laptop menyala, menampilkan folder bernama Plan C – Operasi Cermin.
Syifa tatap layar itu lama. Jantungnya berdegup aneh.
“Robi udah jatuh. Gue juga jatuh. Tapi dunia belum jatuhin gue sepenuhnya.”
Dia klik salah satu file. Rekaman suara. Suara rektor dan seorang pejabat kampus, bisik-bisik soal uang, proyek, dan manipulasi nilai mahasiswa. Bukti yang cukup buat ngeledakin nama besar kampus.
Syifa senyum miring, getir. “Kalau Zayn bangun benteng, gue bakal bangun senjata. Gue udah nggak peduli siapa yang kejebak di dalamnya.”
Jarinya ngetik cepat. Satu dokumen baru muncul:
“Manifesto – Keadilan Versi Gue.”
Tangannya bergetar, tapi bukan ragu. Lebih mirip kegilaan yang lahir dari luka.
---
AUTHOR POV – KAMPUS DANRA
Langkah Amira terasa berat ketika masuk ke gedung kampus. Semua tatapan jatuh ke dia. Bisikan terdengar dari sudut-sudut koridor.
“Itu yang diculik kemarin, kan?”
“Kasihan banget…”
“Eh, tapi katanya dia sendiri yang nyari masalah…”
Setiap kata menusuk seperti jarum. Tapi Amira jalan terus. Hari ini, dia nggak datang buat bersembunyi. Dia datang buat berdiri.
Zayn menunggu di parkiran, diskors atau tidak, dia tetap ada. Tatapannya tajam ke setiap orang yang berani bisik-bisik terlalu keras. Tapi Amira cuma genggam tangannya pelan, memberi kode: biarin.
Amira melangkah ke ruang rektorat. Suaranya tegas saat berkata, “Saya mau ajukan izin membentuk komunitas perlindungan mahasiswa, terutama perempuan. Saya nggak mau ada yang ngalamin apa yang saya alamin.”
Ruangan itu hening. Rektor menatap Amira lama. Lalu, dengan nada berat, dia menjawab, “Kamu sadar ini akan melawan banyak kepentingan?”
Amira menegakkan bahunya. “Saya sadar. Dan saya siap.”
---
POV ORANG TAK DIKENAL – LAYAR GELAP
Seseorang duduk di depan empat layar monitor. Data Amira, Zayn, Stardom, Syifa, bahkan Robi yang ditahan polisi, semuanya terbuka. Di layar lain, peta kampus DANRA bercahaya.
Suara berat terdengar dari mulutnya. “Target utama terlalu kuat. Tapi kita punya celah… dari Syifa. Gadis itu nggak sadar kalau dia pion kita.”
Telepon berdering. Orang itu angkat. “Aktifkan Operasi Sumbu. Jangan bunuh dulu. Hancurkan harga diri mereka. Baru kita habisi.”
Panggilan ditutup. Di layar monitor muncul satu file baru: “ZAYRA FINAL WAR – AGENDA DIMULAI.”
---
APARTEMEN ZAYN, MALAM
Hujan sudah reda. Tapi di dada mereka berdua, badai belum berhenti.
Zayn duduk di lantai, sandaran punggung ke sofa, sementara Amira bersandar di bahunya. Di meja kecil ada dua cangkir cokelat panas yang tinggal separuh.
“Mir…” suara Zayn rendah.
“Hm?”
“Kalau dunia ini terus jatuhin kita, lo masih mau berdiri di samping gue?”
Amira menoleh. Tatapannya lembut tapi penuh api. “Aku nggak berdiri di sampingmu, Zayn.”
Cowok itu mengerutkan kening.
Amira genggam tangannya erat. “Aku berdiri bareng kamu. Kita jatuh, kita jatuh sama-sama. Kita bangun, kita bangun sama-sama.”
Zayn menutup mata sejenak. Rasa sakit, lelah, dan takut… semuanya jadi lebih ringan.
Di luar, lampu kota Jakarta berkedip. Tenang di permukaan. Tapi retakan sudah terbentuk. Retakan yang akan membuka perang lebih besar dari sekadar cinta dan dendam.
Perang ini… baru dimulai.
---