NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Menyusun Lego

“Selamat malam, Om,” Bagas menyapa Pak Agam dengan anggukan hormat.

Pak Agam membalas ramah, lalu menepuk pundak Aruna. “Malam. Mau bertemu Aruna? Papa masuk dulu, ya. Silakan, Bagas.”

Lalu dengan langkah santai, ia meninggalkan dua remaja itu di depan pintu, sambil tersenyum kecil—senyum seorang ayah yang tahu ada hal-hal yang tak perlu ia campuri.

Aruna membuka pintu rumah, menoleh sebentar pada Bagas.

“Mau masuk, atau mau drama di depan pintu kayak film?”

Bagas terkekeh. “Kayaknya lebih dramatis kalau duduk di taman.”

Ia melirik ke arah taman kecil yang dihiasi lampu taman dan bangku kayu.

“Silakan, Tuan Drama,” kata Aruna sambil jalan duluan.

Keduanya duduk di bangku taman. Bagas meletakkan paperbag di meja kecil di hadapan mereka.

“Mau minum?” tawar Aruna.

Bagas menggeleng. “Nggak usah. Aku takut kalau minta teh, kamu kasihnya air cucian piring.”

Aruna mendesis pelan. “Syukurlah, kamu tahu diri.” Tapi matanya mulai menghangat, senyum setengah menahan tawa muncul di wajahnya.

“Ini buat kamu.” Bagas mendorong paperbag itu ke hadapan Aruna. Aruna menatapnya curiga.

“Hadiah? Dalam rangka mau minta maaf atau ulang tahun kamu yang kelewat dua bulan lalu?”

“Hadiah enggak perlu nunggu hari spesial. Anggap aja… hadiah karena kamu udah cukup sabar jadi Aruna.” Bagas mengangkat bahu santai.

Aruna mengangkat alis. “Kamu sadar nggak sih betapa absurd kalimat barusan?”

Namun ia tetap mengambil paperbag itu dan menarik isinya.

Sebuah kotak Lego.

Aruna menatapnya beberapa detik. “Serius? Ini… Lego? Untuk remaja tanggung seperti aku?”

“Lego itu abadi,” kata Bagas dengan mantap. “Enggak kenal umur. Dan kamu pernah bilang suka bikin-bikin sesuatu, kan?”

Aruna menatapnya, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran bangku.

“Aku juga pernah bilang suka mie instan, tapi kamu malah melarang.”

Bagas mengangguk dramatis. “Karena mie instan berbahaya. Tapi Lego? Aman secara fisik dan emosional.”

Aruna tertawa. “Wah, kamu pintar juga ya sekarang merayu pakai edukasi.”

“Aku serius, Aruna. Aku nggak mau melihat kamu... Cemberut malam ini. Tapi aku pengen kita tetap bisa… ngebangun sesuatu. Kayak Lego.” Bagas tersenyum.

Aruna menatap kotak itu lagi. “Kamu tahu, ini cheesy banget.”

“Tapi manis kan?” ujar Bagas, menaikkan alis.

Aruna membuka kotak Lego dengan hati-hati. Potongan warna-warni kecil tersebar di meja taman seperti potongan teka-teki hidup yang harus disusun dengan sabar.

Bagas ikut duduk lebih dekat, mengambil buku panduan Lego.

“Oke. Ini kepala, ini badan, ini… oh, ini kaki ayam.”

“Itu jelas bukan kaki ayam. Itu bagian menara.” Aruna melirik sinis.

“Yakin?” Bagas menjatuhkan potongan kecil dari tangannya. “Yah, makanya aku anak IPS.”

Aruna tertawa kecil, lalu mulai menyusun potongan demi potongan. Bagas ikut membantu, sesekali membetulkan posisi atau menyodorkan bagian yang dibutuhkan.

Beberapa menit dalam keheningan yang nyaman, Bagas membuka suara.

“Kamu masih marah sama aku?”

Aruna melirik sekilas, lalu kembali fokus ke Lego-nya.

“Nggak tahu. Mungkin.”

Bagas mengangguk pelan. “Adil. Soalnya aku juga masih belajar ngerti kamu.”

Aruna mendecak pelan. “Bagus. Jadi kita sama-sama belajar.”

Bagas menggulung lengan bajunya. “Lusa kamu kemah, kan?”

“Ya. Kenapa?”

“Biar aku tahu seberapa jauh aku harus menahan rindu,” ujar Bagas sambil pura-pura menatap langit dramatis.

Aruna menatapnya tak percaya. “Aku pikir kita akan bertemu di kemah. Kamu tuh manusia paling sulit ditebak yang aku kenal.”

Bagas langsung menoleh dengan wajah serius dan suara lembut, “Makanya, jangan tebak-tebak. Cintai aja langsung.”

Aruna membeku sejenak. Matanya menyipit. “Baru juga lima menit lalu kamu bilang mau belajar ngerti aku.”

Bagas mengangkat alis. “Belajar sambil jalan. Sambil nyusun Lego. Sambil jatuh cinta juga boleh, kan?”

Aruna mendengus. “Aku nggak mau.”

Bagas meletakkan satu balok terakhir di menara mini Lego mereka.

Aruna menyandarkan punggung ke kursi taman, menatap Lego miniatur menara yang setengah jadi. Suara jangkrik malam terdengar samar. Ia menoleh pelan ke arah Bagas yang masih sibuk menyusun potongan kecil seperti ahli arsitek miniatur.

“Ngomong-ngomong,” kata Aruna akhirnya, “kenapa kamu malah ke rumahku? Bukannya kamu lagi sering bareng Aletta?”

Bagas menghentikan gerak tangannya sejenak, lalu menoleh ke Aruna. “Kenapa memangnya?”

“Karena dia… ya, dia lagi butuh teman. Kamu tahu sendiri dia lagi nggak baik-baik aja,” ujar Aruna, berusaha terdengar tenang meski suaranya menggigit pelan.

Bagas mengangkat alis. “Aku yakin Aletta punya teman lain juga. Dan malam ini aku pilih ke rumah kamu. Salah?”

Aruna memalingkan wajah, menatap taman yang remang-remang diterangi lampu taman. “Kamu nggak ngerti, kan?”

Bagas bersandar ke kursi, menatap Aruna dengan serius. “Yang mana yang aku nggak ngerti?”

Aruna menggigit bibirnya sebentar sebelum menjawab. “Kamu lebih ngerti Aletta daripada aku.”

Bagas terdiam sejenak, lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Ia menghela napas sebelum berkata, “Tunggu. Ini karena aku bantu Aletta, terus kamu jadi...”

Ia menoleh dan menatap Aruna.

“...kamu cemburu?”

Aruna mendelik. “Nggak.”

Bagas menatap Aruna lama. “Cemburu.”

“Enggak.”

“Cemburu,” ulang Bagas dengan senyum jahil, “Sampai bikin tuduhan tiba-tiba dan dramatis kayak sinetron jam lima sore.”

Aruna mendengus. “Kalau kamu pengen ketemu aku, bilang aja. Nggak usah pakai hadiah segala. Aku bukan anak TK.”

Bagas tertawa pelan. “Tapi kamu suka, kan?”

Aruna mencoba menahan senyum. “Nggak.”

Bagas menunjuk boneka koala dari mesin capit yang tadi dibawa Aruna dari mal. “Itu boneka siapa?”

Aruna menjawab datar, “Itu beda. Itu dari Papa.”

Bagas mengangkat bahu. “Berarti tinggal aku kasih kamu boneka juga. Biar adil.”

Aruna menatapnya malas. “Jangan lebay, Mas Bagas.”

Bagas terkekeh. “Tapi kamu cemburu. Itu fakta.”

Aruna menutup wajah dengan tangan, gemas sendiri. “Ya ampun, kamu tuh… nyebelin banget.”

Bagas mendekat pelan, suaranya lebih rendah. “Tapi kamu sayang, kan?”

Aruna menjawab dengan satu gerakan: melempar satu balok Lego ke arah Bagas. Kena pundaknya.

“Aduh!” teriak Bagas dramatis. “Luka hati lebih perih daripada Lego dilempar.”

Aruna tertawa juga akhirnya. “Udah sana, pulang. Aku mau tidur.”

Bagas berdiri sambil mengambil Lego yang terlempar. “Oke. Tapi lain kali, kalau cemburu, bilang. Jangan pakai acara drama sinetron.”

Aruna menjulurkan lidah, lalu bangkit dan mengantar Bagas sampai depan pintu. Saat Bagas pergi, ia menatap langit malam dan tersenyum kecil.

Mungkin ia memang cemburu. Tapi mungkin juga… ia mulai jatuh cinta. Lagi.

"Aruna, kenapa kamu marah dengan pertanyaan tadi siang?"

Aruna menatapnya datar, menyandarkan tubuh ke kusen pintu. “Marah? Marahnya adalah kamu datang, bikin aku makin bingung, lalu bertingkah seolah nggak ada yang aneh.”

“Aruna…”

“Pulanglah, please,” potong Aruna lembut tapi tegas. “Makasih untuk Lego-nya. Tapi aku nggak mau dengar apa-apa lagi malam ini.”

Bagas terdiam. Tangannya mengepal pelan, lalu mengendur lagi. Wajahnya sulit dibaca—antara ingin membela diri dan memilih untuk diam demi tidak memperkeruh.

"Baik," katanya akhirnya. Suaranya pelan. “Kalau itu yang kamu mau.”

"Ya, pulanglah. Besok kamu harus ke sekolah."

Bagas tersenyum. Malam itu sudah cukup dengan bertemu Aruna, melihat senyumnya ataupun duduk bersamanya. Aruna menatapnya sampai masuk mobil.

Ia melihat ke arah Lego setengah jadi di meja taman, lalu tersenyum miris.

“Kadang yang paling bikin lelah itu bukan menyusun Lego, tapi menyusun hati sendiri.”

Ia berbalik, masuk ke rumah, dan menutup pintu pelan. Tapi hatinya? Masih terbuka, meski sedikit kacau.

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!