Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Kelopak mata Lira bergetar sebelum akhirnya terbuka. Pandangannya buram beberapa saat, lalu perlahan fokus—ia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang besar dengan kanopi putih transparan. Kamar itu begitu luas, penuh perabotan mewah berukiran emas, langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal berkilau. Aroma kayu cendana samar memenuhi udara.
Dengan napas tersengal, Lira mencoba bangkit, namun rasa berat di tubuhnya menahan. Pandangannya beralih ke sisi ranjang—dan di sanalah Yash duduk, bersandar santai di kursi dengan kaki terlipat, matanya yang merah menyala menatap tajam lurus ke arahnya.
“Dimana ini…?” suara Lira serak, nyaris berbisik.
“Rumahku,” jawab Yash datar, nada suaranya seakan tidak memberi ruang bantahan.
Lira menggigit bibirnya. “Apa yang terjadi padaku? Cahaya apa tadi…?”
Tatapan Yash menusuk lebih dalam, seolah ingin membaca isi pikirannya. “Itu cahaya yang kuceritakan. Kau hampir mati karenanya.”
Lira terkejut, tubuhnya menegang. “Apa? Tapi… aku bisa kalahin siluman ular tadi, kan?”
Yash menyeringai tipis, namun sorot matanya dingin. “Iya. Tapi kau harus tahu cara mengendalikannya, atau cahaya itu akan menghancurkanmu dari dalam. Kau ingat kan, aku pernah bilang—kalau cahaya itu dibangunkan sebelum waktunya, tubuhmu belum siap mengimbangi energinya.”
Keheningan turun. Lira menunduk, menatap jemarinya yang bergetar. Napasnya memburu, ada ketakutan bercampur amarah di sana.
Tiba-tiba Yash mencondongkan tubuhnya, mendekat begitu dekat hingga Lira bisa merasakan hembusan napasnya. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang menyerang syaraf.
“Lira… mulai sekarang, kau jangan jauh-jauh dariku.”
Mata Lira membulat, lalu ia mengeraskan rahangnya. “Enggak,” katanya dingin, penuh penolakan. “Aku nggak mau dekat-dekat dengan monster munafik sepertimu.”
Sekejap suasana kamar menjadi mencekam. Senyum tipis di bibir Yash menghilang, berganti sorot mata yang lebih gelap, lebih berbahaya. Jemarinya terulur, menyentuh dagu Lira dengan tekanan lembut tapi mengikat.
“Mulutmu selalu tajam…” bisiknya, nada suara bergetar dengan amarah yang ditahan. “Tapi ingat, tanpa aku, kau sudah mati berkali-kali.”
Lira menepis tangannya kasar, menatap Yash dengan mata berkilat penuh perlawanan. “Lebih baik mati daripada hidup sebagai boneka milik monster sepertimu.”
Yash menahan napasnya sejenak, lalu perlahan tertawa rendah—suara itu menggema di kamar, membuat bulu kuduk berdiri.
“Kau benar-benar mirip Arum… keras kepala, selalu menantangku. Tapi kali ini, aku tidak akan membunuhmu terlalu cepat.”
Ia mendekat lebih lagi, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Lira. Senyumnya kembali muncul, samar namun berbahaya.
“Karena aku ingin lihat… sampai kapan kau bisa bertahan melawan pesonaku.”
“Kau terlalu percaya diri, Yash,” suara Lira bergetar, tapi tatapannya tajam menusuk. “Kau pikir aku gampang jatuh cinta? Tidak. Justru kau yang sudah terobsesi lebih dulu padaku. Kau mencintaiku, Yash… begitu dalam, hingga kau rela menungguku bereinkarnasi ratusan tahun. Lihat dirimu sekarang—makhluk abadi yang jatuh cinta pada manusia, berusaha melawan takdir.”
Mata Yash membelalak, wajahnya menegang. Rahangnya mengeras saat ia berbisik parau, “Tutup mulutmu, Lira…!”
Namun Lira tak berhenti. “Itu kelemahanmu. Obsesi. Kau bisa menguasai dunia, Yash, tapi kau tak bisa menguasai perasaanmu sendiri.”
Dalam sekejap Yash meraih kedua pergelangan tangannya, menekannya ke ranjang dengan kekuatan yang membuat Lira meringis. Matanya merah menyala, nafasnya memburu.
“Kau pikir aku tak bisa memaksamu sekarang?” bisiknya dingin. “Kalau aku mau… kau sudah tak berdaya bahkan sebelum sempat sadar dari pingsanmu tadi.”
“Brengsek!” Lira meronta, napasnya terengah. “Lepaskan aku!”
Senyum tipis muncul di wajah Yash, senyum yang lebih menyeramkan daripada ancaman terbuka. “Kau selalu menantangku… dan sepertinya aku sudah tak bisa menahan diri lebih lama. Mungkin… aku harus membuktikan padamu, Lira.”
“Yash! Hentikan!” teriak Lira, matanya membara dengan campuran ketakutan dan amarah.
“Kenapa?” bisik Yash, wajahnya semakin dekat, suara serak penuh obsesi. “Bukankah kau sudah tahu aku memang terobsesi denganmu? Dan barusan, dengan menantangku, kau seolah mengizinkanku menyentuhmu…”
“Yash!” Lira berteriak lagi, berusaha melepaskan diri.
“Sejak awal kau menantangku…” bisik Yash, wajahnya mendekat. “Dan kau tahu, aku tidak pandai menolak tantangan.”
“Yash! Hentikan!” suara Lira parau, matanya membara dengan amarah bercampur ketakutan.
Yash terdiam sesaat, menatapnya begitu lama hingga udara di sekeliling terasa menekan. Lalu, tanpa diduga, ia melepaskan cengkeramannya. Perlahan ia berdiri, membalikkan badan.
“Aku bisa memaksamu kapan pun aku mau,” katanya datar, namun nada suaranya sarat dengan ancaman terselubung. “Tapi aku tidak akan melakukannya. Bukan sekarang.”
Lira menelan ludah, bulu kuduknya meremang. Kata-kata itu terdengar lebih berbahaya daripada ancaman tadi.
“Tidurlah, Lira,” ucap Yash lembut, nyaris menenangkan. “Kau akan butuh banyak tenaga untuk… semua yang akan terjadi nanti.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar kamar. Pintu besar itu menutup pelan di belakangnya, menyisakan Lira dalam kebingungan dan ketakutan.
Setelah yash benar benar keluar dari kamar lira tak kembali tidur dia melihat sekeliling mencari tasnya dan ponsel lalu dia membuka pintu perlahan mengamati situasi disekitar dan langsung berjalan cepat ke pintu utama,
namun langkahnya langsung terhenti saat suara berat yash memperingatkannya. "Keluarlah jika kau ingin bertemu siluman harimau"
Lira melotot lalu belik badan menatap yash. "Kau pikir aku anak kecil yang bisa kau tipu?"
"terserah kalau tak percaya coba saja buka pintu itu"
Lira dengan tatapan menantang langsung membuka pintu perlahan namun pasti dan benar saja diluar sana sudah ada seekor harimau bahkan tidak hanya itu ada banyak makhluk makhluk lain yang berjejer di halaman dan mereka memukul mukul sebuah perisai transparan.
"Oh god" Lira langsung menutup pintu, yash yang melihat itu langsung menyeringai.
"Kau gila yash? Kau yang memanggil mereka, kau sengaja kan kurang ajar monster tak tahu diri sialan"
Suara tawa rendah Yash bergema, membuat udara di ruang besar itu semakin menyesakkan.
“Lira… Lira… kau sungguh menggemaskan. Padahal kau sendiri yang memanggil mereka dengan cahayamu.”
Mata Lira membelalak. “Aku? Bagaimana bisa—”
Yash melangkah maju, suaranya berat, dalam, nyaris berbisik di telinganya.
“Energi itu… cahaya yang hampir membunuhmu tadi… dialah yang menjadi suar, pemanggil, penuntun. Semua siluman lapar itu mengejarmu, karena kekuatanmu.”
Lira menelan ludah, tenggorokannya kering. “Jadi… aku benar-benar terjebak di sini?”
“Tentu saja,” jawab Yash dingin. “Tidak ada tempat aman untukmu, kecuali di sisiku.”
Namun Lira tidak mundur. Ia berbalik cepat, menatap Yash dengan sorot mata yang menyala penuh perlawanan.
“Tapi kau bisa saja membawa kita pergi, kan? Kau bisa terbang, kabut, apa pun itu. Kalau kau memang peduli padaku, lakukan!”
Yash terkekeh, senyum menyeringai menghiasi wajahnya.
“Tidak mungkin. Kau lupa barusan? Katamu aku terobsesi padamu. Dan sekarang, lihatlah… keadaan ini menguntungkan bagiku. Dunia di luar ingin membunuhmu, sementara aku satu-satunya yang bisa melindungimu.”
Lira mendengus tajam, darahnya mendidih.
“Brengsek! Jadi ini rencanamu sejak awal? Menyelamatkanku hanya untuk mengurungku di sini? Kau pikir aku akan ketakutan dan bersimpuh padamu? Kau salah besar, Yash! Kau hanya monster haus cinta, licik, tak punya hati!”
Tatapan Yash menggelap, tetapi Lira tidak berhenti. Kata-katanya meluncur seperti anak panah, penuh luka dan kebencian.
“Aku tidak tahu kenapa Arum pernah jatuh cinta padamu, tapi dengar aku baik-baik—aku berbeda. Aku Lira. Aku lebih kuat, lebih berani, dan jauh lebih cantik darinya! Dan aku tidak akan membiarkanmu mengulang kebodohanmu. Kau bisa saja membunuh Arum, tapi aku? Aku tidak akan pernah kalah pada obsesi gilamu!”
Dadanya naik turun, napasnya terengah. Mata Lira berkilat, suaranya pecah tapi penuh keyakinan.
“Cinta itu melindungi, Yash. Cinta itu merawat, bukan menghancurkan! Kau bahkan tidak tahu apa itu cinta. Kau hanya tahu cara memenjarakan, memaksa, dan mengakhiri. Obsesi buta yang kau sebut cinta itu menjijikkan!”
Suasana membeku. Kata-kata Lira menghantam keras, membuat rahang Yash mengeras.
“Cukup, Lira.” Suara Yash berat, dingin, nyaris gemetar menahan emosi.
Namun Lira justru melangkah mendekat, menantangnya habis-habisan.
“Kenapa? Takut mendengar kebenaran? Kau bukan penyelamatku, Yash. Kau hanyalah penjara lain, dan aku akan hancurkan penjara ini, sekalipun aku harus mati bersamanya!”
Yash menutup mata sejenak, seolah mencoba menahan diri. Tapi begitu kembali terbuka, sorotnya liar—terbakar oleh campuran amarah dan hasrat.
Dalam satu gerakan cepat, ia menyambar lengan Lira, menarik tubuhnya keras ke dinding. Suara hentakan punggung Lira membentur marmer menggema di ruangan megah itu.
Lira menjerit, “Lepaskan aku!”, meronta sekuat tenaga. "Yash, kau jangan seenaknya—"
Tapi sebelum ia bisa melanjutkan makiannya, bibir Yash sudah menekan bibirnya dengan brutal. Ciuman itu kasar, penuh tekanan, seolah Yash ingin membungkam setiap kata yang menusuk jantungnya barusan.
Lira meronta, memukul dada Yash, tapi genggamannya tak bergeming. Nafasnya memburu, tubuhnya bergetar, rasa panas dan dingin bercampur memenuhi dirinya.
Yash hanya semakin menekan, napasnya berat di antara desakan itu.
“Diam, Lira… jangan katakan apa pun lagi. Kau membuatku kehilangan kendali.”