NovelToon NovelToon
Cassanova - Dendam Gadis Buta

Cassanova - Dendam Gadis Buta

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Balas Dendam / Horror Thriller-Horror / Dendam Kesumat
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Wida_Ast Jcy

Casanova seorang gadis cantik. Namun sayang sekali dengan parasnya yang cantik ia memiliki kekurangan. Kedua matanya buta. Meski ia buta ia merupakan kembang desa. Karena kecantikannya yang luar biasa. Walaupun ia buta ia memiliki kepandaian mengaji. Dan ia pun memiliki cita cita ingin menjadi seorang Ustadzah. Namun sayang...cita cita itu hanya sebatas mimpi dimana malam itu semuanya telah menjadi neraka. Saat hujan turun lebat, Casanova pulang dari masjid dan ditengah perjalanan ia dihadang beberapa pemuda. Dan hujan menjadi saksi. Ia diperkosa secara bergantian setelah itu ia dicampakan layaknya binatang. Karena Casanova buta para pemuda ini berfikir ia tidak akan bisa mengenali maka mereka membiarkan ia hidup. Namun disinilah awal dendam itu dimulai. Karena sifat bejad mereka, mereka telah membangkitkan sesuatu yang telah lama hilang didesa itu.

"Mata dibayar mata. Nyawa dibayar nyawa. Karena kalian keluarga ku mati. Maka keluarga kalian juga harus mati.

Yuk...ikuti kisahnya!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wida_Ast Jcy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 BU RAHMI MENDADAK SAKIT

Di dalam rumah, duka lebih terasa menggigit. Udara seolah berat untuk dihirup. Casanova baru saja sadar dari pingsannya, tubuhnya masih gemetar dan tatapannya kosong. Luka batin jauh lebih dalam daripada luka fisik yang membekas di kulitnya.

Ia menatap langit-langit rumah dengan mata sembab, tak mengucap sepatah kata pun. Hanya sesekali air mata mengalir, diam-diam, seperti bisu yang menjerit dalam diam. Bu Rahmi duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang dingin.

“Sayang, Ibu ada di sini... semua akan baik-baik saja,” bisiknya dengan suara parau, mencoba menenangkan, meski hatinya sendiri sedang runtuh.

Bu Rahmi tampak begitu rapuh, seolah dunia telah runtuh di hadapannya. Tapi siapa yang bisa benar-benar menenangkan seorang ibu yang hatinya dicabik oleh penderitaan anaknya sendiri?

Tangisnya tak kunjung reda. Bukan karena rumahnya porak poranda atau makanan berserakan di lantai tanah, melainkan karena hatinya terasa hancur melihat putri semata wayangnya, Casanova, meringkuk dalam ketakutan dan luka yang tak kasat mata.

“Ibu…” suara Casanova akhirnya terdengar, nyaris seperti bisikan yang dipaksa keluar dari rongga dada yang sesak.

“Aku takut… Aku takut sekali bu.” rintihnya.

Bu Rahmi menggenggam tangan putrinya, lalu mengelus lembut keningnya yang dingin.

“Ibu juga takut, Nak. Tapi kita harus kuat. Kita akan hadapi semua ini… bersama sama ya.” jawab nya sambil memeluk Casanova.

Malam itu, rumah Bu Rahmi terasa sepi meski beberapa tetangga datang. Mereka yang hadir bukanlah orang-orang yang ingin terlihat peduli di mata orang lain, melainkan segelintir jiwa tulus yang datang tanpa banyak kata, duduk diam di ruang tamu, lalu melafalkan doa sederhana untuk Kayano.

Mereka datang bukan untuk makan atau membawa bingkisan, melainkan karena empati yang murni. Dalam kesederhanaan, mereka menjadi penguat.

Namun di luar itu, banyak pula yang memilih menjauh. Mereka yang biasanya lantang bersuara soal tetangga, kini mendadak bisu dan membalikkan badan. Ada yang tak nyaman dengan suasana duka, ada pula yang enggan datang hanya karena tahu tak ada makanan yang bisa dibawa pulang.

“Ah, kalau tidak ada yang bisa dimakan, buat apa datang?” gumam salah satu warga, sambil berjalan menjauh tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Tapi di tengah luka dan kecewa yang menggumpal, cahaya harapan akhirnya datang. Ustadzah Laila melangkah masuk ke rumah Bu Rahmi dengan tenang, seperti sinar pagi yang menembus gelapnya malam.

Kedatangannya bukan hanya membawa doa, tapi juga keteduhan dan harapan baru bagi keluarga yang hampir kehilangan semangat hidup. Ustadzah Laila memasuki rumah Casanova dengan langkah ringan namun penuh wibawa.

Ketika ia memberi salam, suaranya lembut namun dalam, menenangkan hati siapa pun yang mendengarnya. Wajahnya berseri, namun matanya menyimpan kesedihan yang tulus. Ia langsung menghampiri Bu Rahmi dan Casanova, dia duduk di dekat mereka, menghadirkan kehangatan yang seketika meredakan sedikit sesak di dada.

“Assalamu’alaikum, Bu Rahmi… Casanova. Saya turut berduka dengan semua yang terjadi. Semoga Allah memberikan kekuatan dan ketabahan untuk kalian berdua,” ucapnya lembut, seolah membelai luka yang belum sempat mengering.

Bu Rahmi berusaha menjawab, namun suaranya tertahan oleh tangis yang kembali pecah. Air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Ia merasa sedikit damai dengan kehadiran Ustadzah Laila, namun bayang-bayang kehilangan yang menggantung membuatnya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

“Saya akan menemani kalian malam ini,” ujar Ustadzah Laila kemudian, suaranya tenang namun pasti.

“Mohon maaf ustadz Zaenal belum bisa pulang. Ibunya kondisinya semakin menurun. Ia bahkan sudah tak merespons apa-apa.” ucapnya lagi.

Casanova yang sejak tadi diam dalam pelukannya sendiri, perlahan mengangkat pandangan. Matanya sembab, basah oleh tangis yang belum sempat reda. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, mencari genggaman.

Ustadzah Laila langsung menyambutnya, menggenggam erat, seolah menguatkan tanpa perlu banyak bicara.

“Ustadzah…” Casanova berbisik, suaranya pecah.

“Apa yang harus aku lakukan? Aku merasa… semuanya terlalu berat. Aku tidak sanggup lagi. "rintihnya.

Ustadzah Laila menatapnya dengan penuh kasih. Ia mengusap lembut punggung tangan Casanova sebelum menjawab.

“Nak… kamu sudah berbuat banyak. Allah tahu hatimu, Allah tahu perjuanganmu. Sekarang, yang bisa kamu lakukan adalah bertahan. Teruslah berdoa, teruslah percaya. Allah tidak akan pernah meninggalkanmu, meskipun dunia seolah menjauh.” jawab ustadzah Laila.

Casanova menggigit bibirnya, menahan sesak yang kembali naik ke dada. Tapi genggaman tangan Ustadzah Laila terasa seperti jembatan, yang menghubungkannya kembali dengan harapan yang sempat putus.

Beberapa tetangga dekat Bu Rahmi dengan sigap saling bahu-membahu membereskan kamar yang telah porak poranda, seperti kapal karam dilanda badai. Namun, ketika salah seorang dari mereka hendak membuka pintu kamar Bu Rahmi untuk dibersihkan, ia segera mengangkat tangan, menahan dengan nada lembut namun tegas.

“Tidak usah, Bu. Kamar saya biar nanti saya saja bereskan sendiri,” katanya pelan.

Senyumnya sekilas terukir, tapi sorot matanya menyimpan kepedihan yang dalam. Ucapannya itu membuat beberapa tetangga saling pandang dalam diam, menyimpan tanya yang tak terucap.

Bu Rahmi kembali duduk di samping Casanova. Di luar, suara pengajian dari masjid yang terus mengalun menjadi latar belakang yang lirih, seperti ikut meresapi kesunyian hati mereka.

Tangannya mengelus pelan kening putrinya, seolah mencoba meredakan badai yang bergemuruh dalam dada. Di tengah kepedihan yang merayap dari segala arah, Bu Rahmi berusaha menjadi satu-satunya benteng yang masih berdiri.

“Ya Allah… kuatkanlah kami. Berikan kami jalan keluar dari semua ini…” bisiknya lirih dalam doa yang nyaris seperti desah napas terakhir harapan.

Namun jauh di dalam hatinya, Bu Rahmi mulai merasa lelah. Lelah yang tidak hanya menguras fisik, tetapi juga meluluhkan keteguhan yang selama ini ia peluk erat.

Serasa ujian datang berganti, menghantam dan merobohkan apa pun yang masih tersisa dari kekuatan dirinya. Dalam benaknya, mengalir tanya yang tak berani ia suarakan. Apakah aku masih sanggup berdiri? Masih adakah cahaya untuk kami temukan di ujung semua ini?

Malam itu begitu senyap. Keheningan menyelimuti rumah Bu Rahmi seperti selimut dingin yang berat. Di luar, angin berembus lembut, sesekali menggeram lirih melewati celah-celah jendela, mengisi keheningan dengan bisikan yang mencekam.

Casanova terbaring lemah di samping Ustadzah Laila. Tubuhnya kecil, meringkuk dalam posisi menyamping seperti anak kecil yang mencari kehangatan di tengah badai. Meski matanya terpejam, pikirannya tetap berkelana, dihantui bayang-bayang musibah yang terus membayangi keluarga mereka.

Jam menunjukkan pukul tiga dini hari, di saat malam mencapai titik tergelapnya. Malam itu, kamar sunyi menyelimuti rumah Bu Rahmi. Namun di balik keheningan, tubuhnya tiba-tiba terbangun dari lelap dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan.

Perutnya terasa bergejolak hebat, seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalam sana terasa panas, menekan, dan mengaduk-aduk isi perutnya hingga membuatnya ingin muntah.

Dengan napas tersengal, Bu Rahmi bangkit dari ranjang. Tangannya refleks memegangi perut yang kini terasa nyeri luar biasa, nyeri yang menusuk-ngilu seperti dipukul benda tumpul dari dalam tubuhnya sendiri.

Keringat dingin merembes deras di pelipisnya, dan tubuhnya mulai bergetar. Dalam sekejap, rasa mual itu tak terbendung lagi dan ia memuntahkan isi perutnya dalam semburan yang kasar dan menyakitkan.

“Casanova… nak...” suara itu keluar nyaris tanpa tenaga, bergetar dan putus-putus.

BERSAMBUNG...

1
Susi Santi
bgus
Wida_Ast Jcy: tq untuk 5star nya ya😘😘😘
total 1 replies
Susi Santi
up yg bnyak dong thor
Wida_Ast Jcy: ok... say. tq sudah mampir.
total 1 replies
Anyelir
hai kak aku mampir
mampir juga yuk kak ke karyaku
Wida_Ast Jcy: ok say. baiklah...tq ya sudah mampir dikaryaku. 🥰
total 1 replies
Susi Santi
plis lanjut thor
Wida_Ast Jcy: Hi... say. tq ya sudah mampir. Ok kita lanjuti ya harap sabar menunggu 🥰
total 1 replies
Wida_Ast Jcy
jangan lupa tinggal kan jejak nya yah cintaQ. TQ
Wida_Ast Jcy
Jangan lupa tinggal kan jejak nya disini ya cintaq. coment dan like
Wida_Ast Jcy: tq say.... atas komentar nya. yuk ikuti terus cerita nya. jgn lupa subscribe dan like yah. tq 😘
Nalira🌻: Aku suka gaya bahasanya... ❤
total 2 replies
Wida_Ast Jcy
Hi.... cintaQ mampir yuk dikarya terbaruku. Jangan lupa tinggal kan jejak kalian disini yah. tq
Wida_Ast Jcy
😘😘😘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!