Huang Yu, seorang juru masak terampil di dunia fana, tiba-tiba terbangun di tubuh anak petani miskin di Sekte Langit Suci—tempat di mana hanya yang bertubuh suci kuno bisa menyentuh elemen. Dari panci usang, ia memetik Qi memasak yang memanifestasi sebagai elemen rasa: manis (air), pedas (api), asam (bumi), pahit (logam), dan asin (kayu). Dengan resep rahasia “Gourmet Celestial”, Huang Yu menantang ketatnya kultivasi suci, meracik ramuan, dan membangun aliansi dari rasa hingga ras dewa. Namun, kegelapan lama mengancam: iblis selera lapar yang memakan kebahagiaan orang, hanya bisa ditaklukkan lewat masakan terlezat di alam baka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jasuna28, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 – Bayangan Pertemuan Rahasia
Langit masih gulita saat Nian berdiri di depan reruntuhan kuil tua di pinggiran pasar gelap. Hanya suara burung malam dan desiran angin yang menemani, namun aura yang menggantung di tempat ini terasa menekan. Simbol rasa hitam yang ditemukan Sari kemarin kini terpahat samar di batu altar kuil, menunjukkan bahwa ini adalah titik temu yang telah ditentukan.
Sari dan dua anggota tim lainnya bersembunyi dalam bayang-bayang, siap menyergap jika diperlukan. Tapi kali ini, Nian harus bertindak sendiri. Ia membawa kristal rasa tak bernama di dalam kantong jubahnya, denyutannya kian kencang, seakan bereaksi terhadap sesuatu yang tak terlihat.
Langkah perlahan terdengar. Dari celah kegelapan, sosok bertudung muncul, diikuti tiga bayangan lainnya. Mata mereka tersembunyi, namun aura mereka mengguncang. Salah satunya membawa tongkat yang memancarkan rasa dingin seperti kematian, lainnya menggenggam kendi kecil yang berisi cairan hitam yang berkilau seperti tinta.
"Kau pembawa rasa asing itu?" tanya si pria bertudung di depan.
Nian mengangguk. "Aku datang untuk menjual rasa yang tidak bisa dijelaskan."
Pria itu tertawa pelan. "Menjual? Tidak, anak muda. Kau datang untuk diuji. Hanya mereka yang benar-benar memahami rasa yang bisa menjamah sesuatu seagung itu."
Satu dari mereka mengeluarkan gulungan kertas tua dan mulai membaca mantra. Di sekeliling altar, formasi mulai menyala, membentuk lingkaran rasa yang mengelilingi mereka. Nian bisa merasakan pancaran rasa dari tiap simbol: amarah, kesedihan, kegembiraan, ketakutan, cinta, dan kebencian. Namun, tak satu pun dari rasa itu yang cocok dengan kristal di dalam jubahnya.
"Taruh kristalmu di tengah lingkaran. Biarkan rasa memilihmu."
Nian menatap mereka sejenak, lalu melangkah maju dan meletakkan kristal rasa tak bernama di tengah formasi. Begitu ia mundur, formasi mulai berdenyut. Cahaya dari setiap simbol rasa mulai memancar, mencoba menyentuh kristal tersebut—namun semuanya terpental.
Hening. Tak satu pun rasa yang diterima.
Tapi kemudian, muncul rasa baru. Sebuah kilatan rasa yang tak bisa digambarkan—bukan emosi biasa, melainkan gabungan dari semuanya. Rasa penciptaan. Rasa awal. Cahaya putih keperakan membuncah dari kristal, menenggelamkan formasi rasa hitam dalam sekejap.
Bayangan di sekitar Nian terhuyung. Satu dari mereka jatuh berlutut, matanya melebar ketakutan.
"Itu... itu bukan rasa... itu kekuatan primordial!"
Sosok bertudung utama segera mengangkat tangannya. "Tangkap dia! Jangan biarkan kekuatan itu kabur!"
Namun sebelum mereka bergerak, Sari dan tim menyergap dari bayangan. Pertarungan meledak. Cahaya rasa berbenturan dalam kilatan-kilatan seperti petir. Suara jeritan dan ledakan memenuhi udara malam.
Nian melompat mundur, mencoba menjaga kristal tetap aman. Tapi salah satu musuh menyerang langsung ke arahnya. Tongkat hitam itu memancarkan rasa kehampaan, mencoba menguras rasa dari tubuhnya.
Nian memfokuskan hatinya. Dalam sekejap, ia merasakan denyutan kristal menyatu dengannya. Ia mengulurkan tangan, dan dari telapak tangannya, semburan cahaya tak bernama meledak, menembus tongkat dan menjatuhkan lawannya.
Sari menghampiri, wajahnya berdarah namun penuh kemenangan. "Kita harus pergi sekarang. Mereka akan memanggil bala bantuan."
Mereka melarikan diri melalui lorong tersembunyi di bawah kuil. Sementara itu, sosok bertopeng yang selama ini mengamati dari kejauhan, hanya tersenyum dalam kegelapan.
"Rasa itu telah memilih tuannya. Pertunjukan sesungguhnya akan segera dimulai."
Keesokan harinya, Nian kembali ke Paviliun Rasa Agung dengan luka ringan, namun matanya penuh cahaya baru. Para tetua yang menunggu sudah mengetahui segalanya.
"Kau telah membangunkan sesuatu yang bahkan kami sendiri tak mengerti," ujar Penjaga Resep Leluhur. "Mulai sekarang, hidupmu takkan lagi damai."
Nian menatap mereka satu per satu. "Aku tak pernah mencari kedamaian. Aku hanya ingin tahu... siapa aku sebenarnya. Dan mengapa rasa ini memilihku."
Senyap menyelimuti ruangan. Tapi jauh di dalam tanah, di balik lapisan batu dan rahasia, sebuah segel tua mulai retak.
Dan dari celahnya... aroma rasa yang telah lama terlupakan perlahan menyusup ke dunia kembali.
Bab 25 – Jejak Terakhir Sang Pencicip
Pagi itu, langit diliputi kabut keperakan. Di pelataran Paviliun Rasa Agung, para murid tengah melakukan pelatihan harian, namun atmosfer terasa berat. Desas-desus tentang pertempuran malam kemarin telah menyebar cepat, dan nama Nian mulai dibisikkan bukan sebagai pecundang... melainkan sebagai calon pemegang rasa primordial.
Nian tidak muncul di pelatihan. Ia duduk termenung di ruang meditasi, memandangi kristal rasa tak bernama yang kini bersinar lembut. Pikiran-pikirannya bergejolak. Ia tahu, ini lebih dari sekadar misi menjual rasa. Ini adalah pertanda bahwa ia ditarik ke dalam pusaran rahasia besar yang telah lama tersembunyi.
Ketukan di pintu memecah lamunannya.
"Masuk," katanya lirih.
Sari masuk, membawa gulungan tua dan wajah serius. "Ini ditemukan di dalam kuil saat kami menyisir kembali reruntuhan tadi pagi. Gulungan ini berisi petunjuk tentang asal-usul kristalmu. Tampaknya, ini pernah dimiliki oleh seseorang yang dikenal sebagai Sang Pencicip Pertama."
Nian membuka gulungan itu perlahan. Di dalamnya tertulis catatan kuno:
"...hanya satu dari sejuta rasa yang mampu melahirkan rasa penciptaan. Hanya satu keturunan darah yang bisa membangkitkan memori awal rasa. Jika kristal itu menyatu, maka jejak Sang Pencicip akan hidup kembali..."
Tatapan Nian menajam. "Sang Pencicip Pertama? Siapa dia?"
Sari menggeleng. "Nama itu telah hilang dari catatan resmi. Tapi kabarnya, dia adalah yang pertama kali mampu merasakan semua rasa dan menciptakan rasa baru. Ia dihormati, sekaligus ditakuti."
Nian menggenggam kristal itu lebih erat. "Kalau begitu, aku harus mencari tahu lebih lanjut. Tentang dia. Tentang kristal ini. Dan tentang diriku."
Sore itu, ia pergi ke Ruang Arsip Leluhur. Tempat terlarang bagi murid biasa, namun dengan izin langsung dari Penjaga Resep, ia diizinkan masuk. Deretan rak tua menjulang seperti gunung rasa, penuh dengan catatan kuno.
Di sana, ia menemukan fragmen-fragmen catatan tentang Sang Pencicip. Lukisan wajahnya yang disegel. Kisah pengkhianatan. Hilangnya rasa agung yang ia ciptakan.
Namun yang paling mengejutkan adalah satu potongan puisi kuno:
"Dari rasa ke rasa ia menjelma, dari kekosongan lahirlah makna. Jika rasa awal bangkit kembali, maka dunia akan terbalik berdiri."
Nian menatap langit-langit ruangan. Sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan membuncah dari dalam dadanya. Seakan ia tidak hanya menemukan jejak seseorang, tapi juga jalan takdirnya sendiri.
Di luar, senja telah tiba. Tapi cahaya di mata Nian baru saja menyala.
Dan di sudut langit, awan kelabu mulai berputar.
Menyambut datangnya badai rasa yang akan mengguncang dunia.