Masa remajaku tidak seindah remaja lain. Di mana saat hormon cinta itu datang, tapi semua orang disekitarku tidak menyetujuinya. Bagaimana?
Aku hanya ingin merasakannya sekali saja! Apa itu tetap tidak boleh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
"Aleeexx!" teriakku begitu melihatnya menuju tempat bakso. Aku beranjak dari duduk dan menghampirinya.
"Makan bakso ga ngajak-ngajak," omelnya.
"Kok tau aku di sini?" tanyaku.
"Bulan yang kasih tau. Kamu dichat ga aktif, ditelpon juga ga aktif."
"HP aku mati, habis batre gegara nemenin Bulan ngantri di toko buku lama banget," jawabku.
"Aturan mah kamu tinggalin aja," ucap Alex ikut duduk di sebelahku.
"Dih, bukannya makasih udah gue kasih info ...."
"Bang, bakso satu!" teriak Alex memesan bakso dan membuat Bulan menghentikan kalimatnya.
"Tadi pas di toko buku, kita ketemu sama yang namanya Rendi Pradana yang bayarin biaya rumah sakit Wisnu," ucapku.
"Terus dia minta nomer kamu?" tuduh Alex membuat Bulan menatap wajah jijik.
"Ga lah! Dia deketin Bulan malah! Segala dikasih buku. Terus nih ya, anehnya adalah dia itu ga jawab kalo dia itu sodaranya Wisnu atau keluarganya. Nah, kan kalo dia emang kelurganya Wisnu, harusnya dia dateng dong pas neneknya Wisnu meninggal. Dan anehnya lagi, kenapa nama belakang dia sama ama namanya Wisnu? Sama-sama Pradana. Kalo bukan keluarga, kenapa namanya sama? Dan dia ga seumuran sama kita. Dia kayak udah kuliah gitu," jelasku lagi.
"Feeling gue sih, dia itu abangnya Wisnu," sambut Bulan.
"Gaaaa. Neneknya sendiri yang bilang ke gue kalo Wisnu itu anak tunggal, emak bapaknya cerai dan udah hidup sama keluarganya masing-masing dan ga ada yang mau ngurusin Wisnu, jadi dia dirawat neneknya."
"Mungkin kenal karena namanya mirip aja. Lagian Pradana kan nama pasaran banget," sahut Alex.
"Iya juga sih. Pak Dana guru Bahasa Inggris aja namanya Pradana," balasku.
"Udah jangan bahas Wisnu. Bikin ga mood makan," ucap Alex yang tiba-tiba ngambek.
"Iya iya, ga bahas lagi," ucapku.
"Cuih! Mau muntah gue. Mau keluarin isi perut ngeliat lo berdua," umpat Bulan.
***
Alex mengajakku untuk makan malam bersama keluarganya, sebab dia ketahuan memiliki pacar saat berada di Jawa Barat kemarin. Keluarganya memaksa untuk membawaku ke sana agar mereka lebih mengenal aku.
Aku merasa itu adalah sebuah kehormatan yang harus aku hargai. Dari sore tadi aku masih berdiri di depan lemari, bingung mau memakai baju yang mana.
Aku belum pernah bertemu mereka sehingga aku tidak tahu pakaian seperti apa yang biasanya mereka kenakan. Apa mungkin gaun? Atau dress? Atau baju yang lebih sopan? Apa mungkin baju yang lebih terbuka?
"Pake baju apa?" Chatku pada Alex.
"Baju apa aja yang penting sopan dan bagus. Oh iya, warna kuning ya? Biar couple kita," balasnya.
Aku mengambil salah satu baju yang Alex maksud dan mencoba mengenakannya di depan cermin. Aku merasa sangat cantik.
***
Sesampainya di rumah Alex. Aku baru tahu ternyata dia orang kaya dan rumahnya sangat besar. Aku jadi minder melihat rumah ini. Apa aku akan terlihat seperti orang miskin di sini?
Aku dijamu untuk makan malam. Semua anggota keluarga Alex berdatangan satu per satu mengisi kursi yang kosong. Tapi .... Mereka tidak menyapaku. Hanya membiarkan aku menikmati hidangan dan berada di sana.
Alex sempat pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian, sehingga aku bersama keluarganya di meja makan yang lumayan panjang ini.
"Udah berapa lama kenal Alex?" tanya ibunya membuatku terkejut.
"Belum satu tahun, Tante. Kenal pertama kali pas awal ...."
"Kamu tau kan kalo Alex itu pinter?" tanyanya lagi. Bahkan aku belum menjawab dengan utuh, sampai-sampai kalimatku terpenggal oleh pertanyaan tersebut.
"Tau, Tante," jawabku singkat.
"Prestasi kamu apa aja di sekolah?"
"Ga ada." Aku menggeleng. Meliriknya sebentar dan qajahnya tampak jelas meremehkanku.
Apa seharusnya aku pulang saja?
"Kamu tau kalo mantannya Alex itu siswi terbaik di sekolahnya? Dia menang olimpiade matematika Internasional di London, juara satu. Dia juga udah disediain beasiswa di Harvard."
Aku hanya bisa terdiam mendengar hal tersebut.
"Dia juga ga pernah dih pake baju lusuh kayak gini. Mungkin karena dia pinter ya? Jadi bisa ngetti mix and match pakaian."
Alex datang dan ibunya berdiam diri. Semua orang hanya diam. Aku tertunduk, rasanya air mataku memupuk. Aku tidak datang ke tempat ini untuk dipermalukan. Jelas-jelas aku diundang Alex. Tapi ....
Aku ingin menangis.
Alex tersenyum ke arahku, aku mencoba untuk menyembunyikan apa yang barusan terjadi. Ia duduk di sebelahku dan ikut makan malam.
"Ga habis?" tanyanya begitu melihat aku tidak lagi menyuap makanan.
Aku mengangguk. Saat kulirik semua orang, mereka sedang menatapku.
"Jadi kamu mutusin dia cuma buat cewek ini?" tanya ibu Alex. Dia yang beliau maksud adalah mantan pacar Alex.
Alex tak memberikan jawaban, dia malah semakin lahap menyantap makanan. Aku menoleh pada Alex. Yang aku inginkan saat ini hanya pulang.
Setelah Alex benar-benar mengantarku pulang, aku langsung masuk ke kamar dan menangis. Tiba-tiba air mataku terhenti dan aku tidak merasakan apapun lagi. Aku tidak sedih, aku tidak marah, aku tidak kesal. Entah kenapa aku ini.
Aku takut terjadi sesuatu yang buruk mengancam psikosku, sehingga aku menelepon Bulan dan mengajaknya untuk makan sate di depan simpang rumahku.