Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hotel
"Mau langsung kuantar pulang atau mau jalan-jalan dulu sebentar?" Max membantu Laura mengenakan mantelnya. Laura tidak bisa membohongi dirinya jika dia menikmati semua perhatian yang diberikan Max dan dia menyukainya. Dia juga tidak memungkiri jika dia memang dia haus akan perhatian.
Kurasa menikmati hal ini bukan masalah besar? Ia bermonolog dalam hati.
Max tiba-tiba menjentikkan jari di hadapan wajahnya, membuatnya tersentak.
"Melamun?" Max mengamatinya dengan intens, seolah sedang berusaha mencari apa yang ia pikirkan. Dan omong-omong, dia juga suka cara Max menatapnya.
Laura tersenyum seraya menggeleng. "Jalan-jalan kurasa bagus," katanya kemudian.
Max menukik alisnya, menandakan dia tidak puas dengan jawaban yang diberikan Laura. Tapi pria itu tidak memaksa, Max tidak pernah menuntut, atau tepatnya cara kerja Max memang demikian?
"Baiklah, ayo," Max mengulurkan tangan, menuntun Laura ke luar dari resto.
"Aku akan mengganti uang keluarmu malam ini," bisik Laura di telinga Max yang membuat pria itu berdeham. Entah karena ucapan Laura atau cara Laura berbisik di telinganya. Hanya Max yang tahu jawabannya.
"Tidak perlu," Max menjawab setelah mereka sampai di depan mobil.
"Tidak perlu?" Laura mengerutkan hidungnya.
"Makan malamnya, aku yang traktir, Lau." Max menjelaskan seraya membuka pintu mobil. "Masuklah dan hati-hati dengan kepalamu," Max melindungi kepalanya dengan tangan.
See? Bagaimana aku tidak tersentuh dengan semua ini, batin Laura sambil mendongak, menatap tangan besar Max di atas kepalanya. Hal sekecil ini benar-benar berhasil membuatnya meleleh.
"Lau..." Max menyentuh bahunya.
"Ahh..." Ia kembali tersentak. "Harusnya aku yang membayar makan malammya." Laura buru-buru naik ke mobil.
Max menutup pintu dengan hati-hati, lalu mengitari mobil dan duduk di belakang setir kemudi. "Kenapa harus kamu?"
"Karena aku yang disenangkan di sini," kata Laura dengan lugunya.
"Kamu senang?" Max menahan senyumnya.
Laura mengangguk dengan semangat. "Ya. Kamu melakukan tugasmu dengan sangat baik dan epik."
Senyum yang berusaha Max sembunyikan perlahan menghilang. Max mengerutkan kening, terlihat seakan sedang mempertimbangkan sesuatu. Yeah, dia sedang menduga-duga dan bertanya-tanya, apakah semua yang dia lakukan bersama Laura hanya sebuah tugas semata? Dan apakah Laura memang menganggap semua yang dia lakukan hanya sebatas kesepakatan? Kenapa Max terganggu dan penasaran dengan apa yang benar-benar dirasakan oleh Laura?
"Max?" Laura menyentuh lengannya. "Sekarang kamu yang melamun."
"Kenakan sabuk pengamanmu," Max mengabaikan ucapan Laura. Dia mencondongkan tubuh, membantu Laura memasang seat belt. Tubuh mereka terlalu dekat hingga Laura bisa mencium aromanya dan menatap wajahnya dalam jarak yang teramat sangat dekat. Baru dia perhatikan ada bekas luka samar di rahangnya. Tanpa sadar Laura menyentuh bekas luka tersebut. Sentuhan tersebut terlalu tiba-tiba hingga membuat keduanya sama-sama kaget. Manik Laura membeliak begitu menyadari apa yang sedang dia lalukan, sementara Max menatapnya dengan tatapan yang sulit dimengerti.
Untuk beberapa detik yang terasa begitu sangat lama, keduanya saling menatap. Laura bahkan sampai menahan napas.
"Ma-maafkan aku," butuh usaha kuat untuk mengeluarkan suaranya. Tangannya yang lemah mendorong tubuh Max untuk menjauh.
"Jangan pernah lupakan untuk mengenakan sabuk pengamanmu, Lau. Pastikan kamu selamat saat berada di dalam mobil. Jangan pernah terluka."
Laura hanya mengangguk. Bukan Max namanya jika tidak bisa mengalihkan topik dan mencairkan suasana kembali. "Siap berangkat, Nyonya?"
Laura hanya menganggukkan kepala.
Max melajukan mobil dengan kecepatan yang nyaman, membawa Laura menikmati malam yang mulai semakin sepi. Lampu-lampu kota berpendar di kaca jendela, menciptakan bayangan berkilauan yang menambah suasana tenang namun hangat di dalam mobil.
Laura membuka jendela, membiarkan angin malam menyapu wajahnya. Hembusan udara yang sejuk membuatnya merasa lebih ringan, seakan semua beban yang menggelayut di pikirannya perlahan menghilang. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, tapi dia tidak peduli. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan senyum yang merekah di bibirnya.
“Ini menyenangkan sekali,” katanya dengan suara penuh kelegaan.
Max meliriknya dari sudut mata, matanya mengamati ekspresi Laura yang terlihat begitu bebas. Sesuatu dalam dirinya terasa hangat melihat gadis itu tertawa tanpa beban.
“Jangan bilang kamu tidak pernah menikmati malam seperti ini sebelumnya?” godanya, menahan senyum.
Laura menoleh ke arahnya dengan tatapan yang sedikit menantang. “Tentu saja pernah,” katanya cepat.
“Oh ya?” Max menaikkan alisnya, jelas tidak percaya. “Kapan terakhir kali?”
Laura membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Dia mencoba mengingat, tapi jawaban yang diharapkannya tidak kunjung muncul. Kenyataan bahwa dia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali menikmati malam seperti ini membuatnya terdiam.
Max tertawa pelan, puas dengan reaksinya. “Itu dia. Kamu bahkan tidak ingat, kan?”
Laura mendengus kesal, tapi senyum tetap bermain di bibirnya. “Baiklah, mungkin aku jarang menikmati malam seperti ini. Puas?”
Max menggeleng sambil terkekeh. “Belum. Aku baru akan puas kalau melihatmu menikmati malam ini lebih lama.”
Laura menghela napas pasrah, tapi tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Entah sejak kapan, tapi dia mulai menyukai kebersamaannya dengan Max lebih dari yang dia duga.
Max membawa mobilnya memasuki area hotel yang tampak begitu megah di bawah cahaya malam. Laura langsung mengenali tempat itu—hotel tempat mereka pertama kali bertemu di acara makan malam kala itu. Dahinya berkerut, kepalanya sedikit menoleh ke arah Max.
“Kenapa kita kemari?” tanyanya dengan nada penuh selidik.
Max hanya tersenyum kecil, bisa membaca pikirannya seolah mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.
"Kamu jangan takut," katanya, suaranya terdengar ringan tapi ada nada menggoda yang terselip di sana. "Untuk sesuatu yang lebih intim, aku lebih suka tempat yang lebih privat, bukan hotel."
Laura terdiam sesaat, tapi jantungnya sempat berdegup lebih cepat. Pria ini… benar-benar tahu cara bermain dengan kata-kata.
Max meliriknya sekilas sebelum menambahkan dengan nada lebih santai, “Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu padamu di sini.”
Tanpa memberi Laura kesempatan untuk bertanya lebih jauh, Max turun lebih dulu lalu berjalan ke sisi pintu penumpang, membukanya dengan santai. Laura, yang masih belum sepenuhnya mengerti apa yang ada di pikiran pria itu, akhirnya ikut turun dengan rasa penasaran yang semakin besar.
Saat mereka memasuki lobi, suasana terasa sedikit berbeda dari yang Laura bayangkan. Beberapa karyawan hotel yang mereka lewati tampak menundukkan kepala dengan hormat. Ada yang menyapa dengan sopan, ada yang sekadar memberi anggukan penuh respek.
Laura melirik sekeliling, memperhatikan reaksi orang-orang di sekitar mereka. Dari cara mereka memperlakukan Max, seolah pria itu adalah seseorang yang harus dihormati di tempat ini.
“Sering ke sini?” tanyanya akhirnya, tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama.
Max hanya tersenyum, tanpa terburu-buru menjawab. Ia melangkah menuju lift, menekan tombol, lalu menoleh pada Laura dengan tatapan penuh misteri.
“Aku cukup familiar dengan tempat ini,” jawabnya santai, seolah tidak ingin terlalu banyak mengungkapkan sesuatu.
Laura menyipitkan mata, merasa Max sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, pintu lift terbuka, dan Max melangkah masuk, menunggu Laura untuk mengikutinya.
“Percayalah, kamu akan menyukainya,” katanya sambil menekan tombol menuju rooftop.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?