Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Sang pemikat.
“Kamu mau makan apa siang ini?” Tama bertanya dengan lembut. Ia mengemudikan mobil sambil sesekali melirik wanita di sampingnya itu yang tampak asik menatap ke luar jendela.
“Apa saja, Pak. Saya rasa Bapak juga tak perlu repot-repot mengajak saya makan siang seperti ini. Saya nggak enak sama karyawan yang lain,” balas Yonna segan. Wanita yang mengenakan rok span dengan model line-A dan blouse itu masih kepikiran dengan bisik-bisik yang ia dengar tadi. Tak lucu saja rasanya, baru satu hari bekerja ia sudah menjadi topik pembahasan utama di kantor.
“Kamu nggak usah pikir kan perkataan mereka. Aku dan Ed adalah saudara, kini lelaki itu menikah dengan Bianca yang merupakan sepupu kamu. Itu artinya kita saat ini bersaudara, jadi tak ada yang perlu disungkan kan, mereka saja yang terlalu heboh dengan sesuatu yang bukan urusan mereka. Dan oh ya, aku juga bilang kan sama kamu. Saat diluar jam kerja, jangan Panggil aku dengan sebutan Bapak. Cukup Tama atau Mas juga boleh,” jelas Tama santai.
Tama memarkirkan mobilnya di salah satu café yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor. Café dengan konsep indoor dan outdoor, mereka berdua memasuki tempat tersebut dan beralih ke arah samping.
Menaiki anak tangga ke lantai atas tempat di mana ruangannya lebih privat, bagian luar tersusun payung-payung kecil terpasang di atas meja dengan view jalan raya. Tetapi Tama mengajaknya di bagian dalam saja, udara panas yang terik tak bagus untuk mereka makan di luar. Tak lama pelayan datang menanyakan menu makanan apa yang mereka inginkan.
Tama memberikan daftar menu terlebih dahulu pada Yonna, perlakuan pria itu sangat baik sekali padanya. Yonna memberitahukan menu apa yang ia mau begitupun dengan Tama. Pelayan menganggukan kepala sopan dan pamit pergi. Tak berapa lama pesanan mereka pun sampai, beberapa menu seafood yang menjadi kesukaan Yonna.
Dentingan sendok yang sesekali terdengar menjadi music pengiring acara makan siang yang menurut Yonna biasa saja, ia tak mengerti kenapa bosnya mengajak makan di lantai atas yang sunyi dibandingkan lantai bawah yang terdapat live music.
Saat ini hanya ada delapan orang dengan tiga meja dalam ruangan yang cukup luas. Dalam kesunyian mereka berdua, telinga Yonna menangkap ketukan sepatu yang mendekat. Pandangan matanya teralihkan pada sepatu hitam mengkilat itu, bergerak naik hingga wajah pemilik sepatu itu pun tampak di matanya.
Yonna terpaku. Lelaki yang memberikan rasa cinta dan sakit dalam waktu bersamaan, luka hatinya belum kering hingga saat ini bersamaan dengan rasa yang belum pudar. Tama mengikuti arah mata Yonna yang menatap lelaki berkemeja biru. Lelaki itu duduk di hadapan Yonna searah jarum jam angka 10.
“Apa kau mengenal pria itu?” tanya Tama. Yonna mengalihkan pandangan matanya lagi, ia tampak sedikit gelagapan.
“Nggak, aku nggak kenal. Hanya sempat ketemu di bandara, ada insiden kecil yang membuat kami sedikit bertengkar.” Yonna menolehkan wajahnya pada kaca bening yang ada di sampingnya.
Gavin berbincang dengan patner bisnisnya, ia duduk ditemani asisten yang sedang menikmati makan siangnya yang langsung sampai. Ekor matanya tak sengaja menangkap wajah seseorang, Gavin pun sedikit menoleh. Ia tersenyum mendapati wajah Yonna yang kini menatap ke arah jendela.
Gavin yang hendak berdiri tertahan niatnya setelah menyadari ada lelaki lain yang ada di hadapan wanita itu.
“Apa itu kekasihnya atau suaminya? Tapi melihat pakaiannya formal yang ia kenakan, bisa jadi hanya patner bisnis atau bosnya,” pikir Gavin. Ia senang bisa bertemu wanita itu kembali setelah pertemuan pertama mereka yang cukup tak mengenakkan.
Menyadari ada yang menatapnya, Yonna pun kembali menatap, untuk sesaat pandangan mata mereka bertemu dan terpaku.
Mereka berdua seperti menyelami pikiran masing-masing, dari tatapan mata dan gerakan alis, Gavin seolah bertanya “siapa lelaki yang ada di hadapanmu itu?. Yonna yang menyadari maksud dari kode mata hanya menanggapi dengan senyuman.
Tama mengikuti pandangan mata Yonna, melihat Gavin dengan pandangan tak suka. Ada rasa tak nyaman di hati melihat mereka berdua saling bertatapan.
“Aku rasa sudah saatnya kita balik. Jam makan siang sudah habis!”
“Oh, baik kalau begitu, ayo!”
Mereka berdua bersiap untuk beranjak pergi, Yonna meraih tasnya dan mengeluarkan sesuatu yang kini ia genggam di tangan. Ia berjalan di belakang Tama dengan anggun, menjatuhkan sesuatu tersebut tepat di sebelah meja Gavin. Gavin yang mengerti langsung mengambilnya. Selembar kartu nama.
“Alexandra Kiyonna,” gumam pria itu. Kedua pria yang ada di sampingnya pun hanya memperhatikan seraya tersenyum simpul.
"Nama yang cantik secantik parasnya!"
Hujan turun dengan derasnya membasahi kota, Mobil sedan BMW keluaran terbaru berjalan dengan santai membelah jalan. Yonna mengerutkan dahinya, ia masih berasumsi karena hujan mobil itu berjalan dengan sangat lamban.
Sejak keluar dari restoran tersebut Tama masih diam seribu bahasa, ia belum membuka suaranya. Suasana canggung tercipta di antara mereka, dengan malas Yonna lebih memilih melemparkan pandangan matanya ke luar jendela. Ia tersenyum puas di dalam hati akan apa yang ia lakukan pada Gavin.
Apa yang dikatakan Vano memang benar, ia pulang ke Indonesia bukan tanpa rencana walau pada akhirnya ada beberapa bagian dari rencananya harus ia rubah; salah satunya membawa Noah kembali pulang. Saat ini Vano sudah dalam perjalanan ke Jerman. Mungkin satu minggu ke depan Yonna sudah bisa bertemu dengan putra kesayangannya itu.
“Apa kau selalu bersikap ramah pada semua lelaki?” suara Tama akhirnya memecah kesunyian di antara mereka.
“Maksudnya?” jawab Yonna singkat sembari melihat bosnya.
Dari balik kemudi stir Tama melihat sekilas lalu kembali fokus ke jalan raya. “Ya, seperti sama lelaki tadi, tersenyum dengan ramahnya!”
“Oh, tidak juga. Aku hanya tersenyum saat aku ingin saja, jika tidak ya tidak. Memangnya kenapa?” Yonna tampak begitu santai dan ambigu menjawab pertanyaan Tama.
Lelaki itu berdecak geram tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Memangnya siapa dia yang boleh ikut campur urusan wanita itu?
“Tiga hari lagi kamu akan menemaniku terbang ke Lombok, aku akan bertemu dengan seseorang di sana dan memantau perkembangan resort yang baru saja di bangun.”
“Berapa lama, pak?” Sontak Yonna bertanya. Ia hanya tak ingin saat putranya sampai ke Indonesia ia tak ada untuk menjemputnya.
“Paling dua atau tiga hari. Memangnya kenapa?” tanya Tama balik. Ia pun kembali melirik wanita di sampingnya dengan tatapan aneh. Mobil akhirnya berbelok memasuki kawasan gedung tinggi pencakar langit, itu artinya sebentar lagi mereka akan sampai ke kantor.
“Tidak ada, Pak. Saya kan perlu tahu agar bisa menyiapkan keperluan saya saja,” jawab Yonna.
Tama mengangguk. “Aku heran, kenapa kalian para wanita suka sekali membawa perlengkapan yang begitu banyak saat bepergian. Satu hari saja perlengkapan bisa untuk satu minggu!” cibir Tama. Menarik kedua sudut bibirnya.
“Because of the main appearance!” jawab Kiyonna dengan bibir yang merengut. Tampak imut di mata Tama.
“Pengen menyeret ke penghulu!” batin pria itu bersorak gemes.