NovelToon NovelToon
Lahir Kembali Di Medan Perang

Lahir Kembali Di Medan Perang

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Balas Dendam / Time Travel / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi / Penyelamat
Popularitas:4.3k
Nilai: 5
Nama Author: zhar

Seorang pria modern yang gugur dalam kecelakaan misterius terbangun kembali di tubuh seorang prajurit muda pada zaman perang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34

Yang memimpin sekitar selusin perempuan kerabat pejuang adalah seorang perwira wanita muda bernama Laras… Surya mengenalinya sebagai salah satu tokoh penting di lingkaran pertahanan Yogya.

Mungkin di negara lain seorang perempuan tidak akan diberi posisi komando, tetapi dalam perjuangan gerilya melawan Belanda, siapa saja yang mampu memimpin pasukan bisa diangkat jadi komandan peleton, bahkan kompi.

Tak perlu dikatakan lagi, keadaan darurat membuat banyak pejuang yang masih muda harus mengisi peran strategis. Panglima besar yang biasanya diisi oleh kolonel di tentara Belanda, dalam laskar republik cukup dipegang oleh seorang mayor atau bahkan kapten.

Saat itu, Laras sedang berdiskusi dengan Komandan Peleton Purwanto seorang pejuang senior yang pernah jadi bekas serdadu KNIL lalu membelot dan kemudian Purwanto memanggil Surya yang berjarak sekitar sepuluh meter dengan nada tidak sabar:

“Surya!” teriak Purwanto sambil mengangkat kepalanya menunjuk para perempuan itu. “Aku punya tugas untukmu. Kau yang bertanggung jawab atas keselamatan mereka!”

“Apa?” Surya terperanjat mendengar itu.

Kalau matanya tidak salah lihat, semua perempuan itu bersenjata lengkap: ada yang memegang pistol, ada pula yang membawa senapan karabin. Mereka jelas bukan sosok yang lemah dan tak butuh perlindungan.

Namun, Purwanto memerintahkan tanpa penjelasan lebih lanjut: “Mereka kupercayakan padamu, Surya!”

“Siap, Komandan!” jawab Surya sambil memberi hormat.

Petugas wanita itu lalu berjalan mendekat dengan langkah percaya diri, mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri:

“Nama saya Laras.”

Surya menegakkan tubuh, memberi hormat, dan memperkenalkan diri, “Saya Surya, Mbak Komandan!”

Laras terkekeh, tidak kuasa menahan tawa: “Lebih baik kau lupakan saja hubungan atasan-bawahan itu, Surya! Kalau tidak, kau akan kesulitan menjalankan tugasmu.”

Surya makin bingung. Pangkat Laras jelas lebih tinggi darinya, sudah sewajarnya ia harus tunduk.

Melihat wajah Surya yang ragu, Laras menjelaskan: “Tenang saja, Surya. Aku ini cuma mengelola gudang senjata dan perpustakaan rahasia. Aku jarang sekali maju ke garis depan...”

Sambil bicara, Laras menyandarkan senapannya ke dinding bambu, lalu duduk santai, diikuti bawahannya.

Laras tampak muda, mungkin baru awal dua puluhan, berambut pendek, dan sangat bersemangat dalam balutan seragam pejuang. Ia terlihat jauh lebih segar dibanding kerabat perempuannya yang hanya mengenakan pakaian seadanya dari sobekan kain dan selimut.

“Aku nggak paham, Mbak,” kata Surya ragu. “Kenapa Komandan Purwanto bersikap kayak gitu? Seolah...”

“Seolah membuang kami seperti tumpukan beban?” Laras tertawa kecil, lalu menoleh. “Ada rokok?”

Surya melirik temannya, Okta. Pemuda itu mengangkat bahu pasrah. “Habis. Rokok terakhir sudah kuisap sebelum tembakan mortir tadi.”

“Sudahlah, lupakan!” Laras menghela napas. Lalu ia menatap Surya dengan serius. “Begini saja. Sebenarnya tugasmu bukan benar-benar melindungi kami. Tapi… kalau saat terakhir tiba, kau pasti mengerti, kan?”

Wajah Surya tampak tegang.

Tentu saja ia mengerti maksud ucapan Laras barusan jika Belanda berhasil menembus benteng, tugas terakhirnya adalah memastikan para perempuan pejuang itu tidak jatuh hidup-hidup ke tangan musuh. Tapi apakah ia sanggup mengangkat senapan, mengarahkan ke kepala mereka, dan menarik pelatuk?

Laras, seolah membaca isi hatinya, menatap tajam dan berkata pelan, “Kau harus melakukannya, Surya. Mengerti? Kita semua.”

Surya tercekat. Ia menoleh ke arah Komandan Peleton Purwanto, berharap ada bantahan. Namun, Purwanto justru menunduk, tak berani membalas tatapan matanya. Seakan merasa malu karena memang itulah kenyataan pahit di medan perang ini.

Kesulitan lain pun segera muncul: persediaan makanan.

Tidak ada lagi cadangan beras dan singkong di markas pertahanan. Memang Surya sempat menemukan gudang kecil beberapa hari lalu, tapi semua sudah dibagi-bagikan kepada warga yang kelaparan setelah rumah mereka dibakar Belanda.

“Kita harus cari makan lagi!” seru Mayor Wiratmaja—pejuang yang membelot dan bergabung dengan republik.

Komisaris Zulfan menggelengkan kepala. “Semua dapur umum sudah kita periksa. Kecuali kita bisa bongkar reruntuhan pasar yang kena bom, mungkin ada yang tersisa...”

Beberapa prajurit pun mencoba mengobrak-abrik lemari dan peti tua di ruang bawah tanah benteng. Bahkan Fauzi, bekas maling pasar yang kini jadi pejuang, kembali memakai keahliannya. Dengan kawat bekas, ia congkel kunci pintu samping gudang yang tertutup puing.

Begitu pintu terbuka—brukkk!—tumpukan barang berjatuhan.

“Wah, jackpot!” seru Fauzi sambil mengangkat helm baja peninggalan KNIL. “Lihat, kita dapat helm Belanda! Lumayan, bisa buat gaya!”

“Kalau bisa, aku lebih senang setumpuk roti atau beras, Dasar maling!” gerutu veteran tua Malik.

“Tenang, Lik!” Fauzi terkekeh sambil melempar helm ke arah Malik. Tapi Malik tak menangkapnya, helm itu justru menggelinding dan berhenti di depan kaki Surya.

“Ups, maaf, Ketua Regu!” kata Fauzi asal.

Surya memungut helm itu. Benda itu terasa berat dan dingin. Meski bukan makanan, setidaknya bisa melindungi kepala dari pecahan mortir.

“Apa yang kau pikirkan, Surya?” tanya Laras curiga, melihatnya menatap helm itu lama. “Kau sudah sering lihat helm, bukan?”

“Ya… tentu saja,” jawab Surya cepat, meski sebenarnya ia belum pernah melihat helm asli dari dekat.

Laras tertawa kecil. “Percuma saja, Surya. Helm itu tidak akan menghentikan peluru Belanda.”

“Tidak,” jawab Surya lirih sambil mengepalkan helm di tangannya. “Tapi mungkin ini bisa menyelamatkan seseorang, meski sebentar.”

Laras tersenyum samar, tapi kemudian senyumnya pudar saat melihat keseriusan wajah Surya.

“Apa yang kau katakan… jangan-jangan maksudmu…” Agata berhenti bicara.

Surya berdiri, helm masih di tangannya, lalu berkata lirih namun tegas:

“Aku mungkin tidak bisa menyelesaikan tugas itu, Laras.”

“Apa maksudmu?” Laras tertegun. Baru setelah Surya berbalik pergi, ia sadar. Yang dimaksud Surya adalah misi terakhir itu menarik pelatuk ke arah kawan sendiri.

Laras terdiam, menatap punggung Surya yang menjauh. Di luar, suara dentuman meriam Belanda mengguncang dinding benteng. Serangan besar sepertinya akan segera dimulai.

Surya akhirnya menemukan Mayor Wiratmaja.

Sang Mayor tengah berdiskusi serius bersama beberapa komandan batalyon rakyat, membentangkan peta usang di atas meja kayu. Mereka menunjuk ke sungai kecil dan sumur-sumur tua yang mungkin masih bisa diakses. Topik pembicaraan mereka hanya satu: bagaimana cara mendapatkan air.

Kualitas kepemimpinan Mayor Wiratmaja benar-benar patut diacungi jempol. Dalam situasi genting seperti ini, ia tidak larut dalam rasa putus asa atau menyerah begitu saja. Justru ia tetap bersemangat, mengatur strategi, mengatur giliran regu untuk mengangkut air, mencari sisa makanan di reruntuhan pasar, hingga menenangkan moral pasukan.

Ia tahu betul bahwa mereka sedang memegang “kartu As” di meja pertempuran, tapi sebisa mungkin ia memaksimalkan keadaan.

Surya sempat terpaku. Dirinya sendiri hampir saja menyerah, nyaris yakin mereka tak akan bisa bertahan lebih lama. Namun, di depan matanya, Mayor Wiratmaja berdiri tegak, seakan semangatnya tidak pernah padam.

Dalam hatinya, Bima sadar: apa yang dilihatnya hanyalah sebagian kecil dari ketangguhan Mayor Wiratmaja.

Sejarah lisan para pejuang menyebutkan bahwa Mayor Wiratmaja pernah bertahan sendirian di reruntuhan benteng lama selama berminggu-minggu, meski pasukan lain sudah habis. Pertempuran gerilya di sudut-sudut gang Yogya berlangsung berhari-hari, hingga akhirnya Wiratmaja terluka parah dan ditawan. Mustahil orang biasa sanggup bertahan seperti itu.

Bima tak bisa membayangkannya. Dirinya saja sudah kelelahan hanya beberapa hari berada dalam kepungan Belanda.

Namun di hadapannya kini ada contoh nyata seorang pejuang yang tidak mengenal kata menyerah.

“Mayor!” Surya memberi hormat, lalu mengulurkan helm baja peninggalan KNIL yang barusan ditemukannya. “Saya pikir… Anda harus melihat ini.”

Mayor Wiratmaja menoleh, menerima helm itu dengan alis terangkat. Matanya yang tajam lalu beralih menatap Surya, seakan ingin membaca maksud tersembunyi di balik ucapannya.

1
Nani Kurniasih
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻lanjut Thor yg banyak
Nani Kurniasih
berasa ikutan perang
RUD
terima kasih kak sudah membaca, Jiwanya Bima raganya surya...
Bagaskara Manjer Kawuryan
jadi bingung karena kadang bima kadang surya
Nani Kurniasih
ngopi dulu Thor biar crazy up.
Nani Kurniasih
mudah mudahan crazy up ya
Nani Kurniasih
ya iya atuh, Surya adalah bima dari masa depan gitu loh
Nani Kurniasih
bacanya sampe deg degan
ITADORI YUJI
oii thor up nya jgm.cumam.1 doang ya thor 3 bab kekkk biar bacamya tmbah seru gt thor ok gasssss
RUD: terima kasih kak sudah membaca....kontrak belum turun /Sob/
total 1 replies
Cha Sumuk
bagus ceritanya...
ADYER 07
uppppp thorr 🔥☕
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!