Rumah tangga yang kelihatan harmonis hanya topeng belaka.
Hutang orang tua yang menumpuk kepada mertua, membuat terjadinya perjodohan yang terpaksa dan membuat Jihan terpenjara oleh kekerasan bathin dan fisik.
Sakit hati yang dialami jihan, sampai melupakan apa arti cinta yang sesungguhnya.
Dari rasa nyaman saling bertukar cerita, membuat dua insan yang dimabuk asmara terjebak oleh cinta terlarang, sehingga membuat keduanya susah untuk berpisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menikmati panorama pantai berdua
Hembusan angin kencang mulai menerpa sekujur tubuh, dan itu cukup membuat bulu kuduk meremang semua. Suasana yang sangat kuinginkan. Tenang namun bisa memanjakan mata.
"Terima kasih kamu sudah membawaku ke sini, Satria!" ucapku padanya.
"Sama-sama, Jihan. Aku tahu kalau kamu suntuk akibat banyak masalah yang terjadi padamu belakangan ini, dan mungkin dengan membawa kamu ke sini bisa meredakan pikiran yang kusut itu," jawabnya sudah tersenyum ramah ke arahku.
"Iya, makasih."
Kami berdua sudah sama-sama menatap lurus kedepan, melihat ombak yang terus saja bergelombang menjalankan airnya. Tubuh terus kudekap dengan kedua tangan, saat dinginnya terasa mulai menusuk badan. Seumur hidup tidak pernah merasakan pantai, sehingga tarasa aneh saja berada disini. Keadaan yang miskin membuat keluarga harus menghemat uang demi makan, daripada membazir dan dihamburkan untuk jalan-jalan seperti ini.
"Apa kamu lapar?" tanya Satria.
"Sedikit."
"Sebentar, kamu tunggu disini. Aku akan membelikan beberapa makanan untuk menganjal perut kita. Pasti kamu belum makan sama sekali 'kan dari mengajar tadi," ujarnya.
"Tapi--? Lebih baik tidak usah 'lah," Aku berusaha mencegah agar Satria tidak repot.
"Santai saja. Sebentar ya, tunggu disini."
Untuk mencegahnya lagi tidak bisa, sebab Satria sudah melenggang berlari kencang untuk memenuhi maksudnya tadi. Mata kembali seksama melihat demburan ombak, yang terus saja bertarung saling berlomba mengelombangkan airnya.
Sebab lelah, maka aku mencoba duduk diatas pasir yang sedikit agak basah. Rasa nyaman dan tenang seperti ini sangat aku butuhkan.
Beberapa detik kemudian Satria sudah kembali dengan membawa sebuah kantong kresek putih, yang mungkin berisikan makanan dan minuman.
"Ini ambil 'lah," Satria menyodorkannya padaku.
"Terima kasih!" Kantong kresek itu langsung kubuka dan mengambil sebungkus roti serta teh botol.
Satria mengikuti sikapku yang duduk diatas pasir. Wajah kami lagi-lagi fokus ke arah air laut.
"Apa kamu akan bertahan sama mas Bayu?" tanya Satria.
"Hhhh, entahlah."
"Kamu seharusnya jadi wanita harus kuat dan berani sama dia, kalau tidak pasti selamanya dia akan menindasmu karena dia tahu kamu adalah wanita lemah," Satria berbicara sambil terus meneguk air soda dalam kaleng.
"Aku tahu itu. Masih bingung apa yang harus kulakukan pada mas Bayu. Dulu aku menganggap dia adalah pria yang terbaik untukku, tapi sekarang semua terkuak sebab telah salah menyetujui pernikahan ini. Setiap hari aku terus berdoa agar dia bisa berubah dan akan menyayangiku, tapi pada kenyataannya itu semua hanyalah mimpi. Aku tidak tahu kenapa dia begitu membenciku dan itu bagaikan musuh dia saja. Yang jelas dia kelihatan begitu puas terus menyiksa. Sakitku ini kutahan sebab ada keluarga yang perlu aku pikirkan juga. Hutang yang menumpuk belum juga lunas, kalau kami berpisah pasti ibu bapak dan keluarga akan kena imbasnya," Curhatku menumpahkan segala sesak didada.
"Tidak tahu apa yang terjadi padamu sebenarnya, yang jelas aku tidak tega melihat wanita selemah kamu itu terus-terusan diperlakukan dengan tidak baik."
"Aku tahu dalam diri sisi mas Bayu ada sedikit kebaikan, tapi entah sampai kapan akan menunggu hari sifatnya itu datang. Bagiku kalau bisa menikah hanya cukup sekali saja seumur hidup, dan jangan sampai ada perceraian sebab Allah sangat membencinya, tapi apakah aku harus bertahan lama begini sampai benar-benar hancur?" Airmata tiba-tiba luruh, ketika menceritakan rumah tangga yang ambyar sukar untuk ditata lagi.
"Sampai kapan kamu harus menunggu. Sampai kamu akan sekarat akibat penyiksaan dan kekejamannya, hah! Jangan 'lah menunggu sampai kamu babak belur baru bisa meninggalkannya," Suara Satria terdengar ada untaian emosi.
"Entahlah, Satria. Aku rasanya juga bingung, bertahan sakit kalau tidak bertahan ada keluargaku yang harus diselamatkan, saat kamu tahu sendiri kami dari keluarga tak berpunya. Makan saja kadang harus mencari sisa-sisa panen padi disawah," balasku yang terus mengalirkan airmata.
"Sudah ... sudah, kita tidak usah bahas masalah ini lagi. 'Kan kamunya jadi menangis begini," Tangan besarnya sudah menghapus airmata dipipi yang terus saja mengalir.
Begitu nyaman sekali sentuhan tangan Satria, sehingga tetesan embun kian deras tidak terbendung lagi. Suara terus saja sesegukan menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dada.
Mungkin akibat tidak tega, Satria memelukku dengan tangan sudah mengelus pelan-pelan kepala. Rasanya begitu enak dan plong sekali apa yang dia lakukan dan berikan.
"Tumpahkan segala yang sesak didadamu sekarang," Kata-katanya begitu menangkan jiwa.
"Astagfirullah, apa yang kulakukan?" guman hati yang menyadari sikapku, saat Satria mengeluarkan suara.
"Maafkan aku, yang sudah lancang mau dipeluk kamu," cakapku tak enak hati, ketika sudah melepaskan pelukan yang dia berikan.
"Aku seharusnya yang harus meminta maaf, sebab sudah lancang dan berani main peluk saja tadi," cakapnya berbalik tak enak hati, sambil mengelus belakang tekuknya.
"Tidak apa-apa, mungkin kita sama-sama tidak sadar tadi."
"Iya."
Rasanya begitu malu sekali terhadap Satria sekarang. Memeluk seseorang yang bukan mukrim.
"Sudah, anggap saja kita tadi sama-sama saling khilaf. Sekarang hapuslah airmata kamu itu, kelihatan jelek banget wajah yang bagaikan bidadari itu kalau menangis," Satria sudah tersenyum lebar dengan manisnya ke arahku.
"Iya, maaf."
Apa yang Satria suruh segera kulakukan, untuk menghapus sisa air embun.
"Kalau bisa simpan semua airmatamu itu. Bagiku pantang untukmu menangisi pria yang sudah menyakiti kamu itu. Kamu menangis seharianpun mas Bayu tidak akan peduli, maka dari itu kamu harus kuat dan jangan sampai menjadi wanita lemah lagi," tutur Satria menasehati.
"Insyaallah, aku akan lebih kuat lagi mulai sekarang. Terima kasih atas semua nasehat dan semua yang kau lakukan padaku."
"Sama-sama. Tidak usah berterima kasih terus, sebab aku ikhlas menolong kamu. Sebagai keluarga terdekat dan yang hanya tahu masalah kalian, maka aku hanya bisa membantu sebatas ini saja, karena mau bertindak lebih masih memikirkan perasaan kamu dan semua pihak keluarga," terang Satria.
"Iya. Walau begitu tetap berterima kasih pada kamu."
"Iya, sama-sama."
Obrolan terus terjadi diantara kami. Apa yang menjadi ganjalan hati terus kuceritakan semuanya pada Satria. Untung saja Satria adalah pria yang sabar dan baik, mau mendengarkan semua keluh kesah pilu ini.
"Andaikan mas Bayu mempunyai sifat seperti kamu, pasti dirikulah wanita yang beruntung dan bahagia didunia ini. Terima kasih Satria, kau ada untukku saat semua kerapuhan ini mulai mengrogoti jiwa dan hatiku. Kamu adalah pria baik, semoga apa yang kamu lakukan akan dibalas lebih oleh Allah yang menciptakan alam semesta ini, amin!" guman hati kagum atas sikap Satria.
come on sattt selidiki kuyyy
hmmz bawa kabur jihan sat wkwkwk