Ana yang baru masuk ke tempat kerja baru, terpikat dengan Aris, pemuda yang tampan, baik, rajin bekerja dan sopan. Sempat pacaran selama setahun sebelum mereka menikah.
Di tahun kedua pernikahan mereka, karakter Aris berubah dan semakin lama semakin buruk dan jahat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Frans Lizzie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 - Cerita Dita
Ana sedikit tersipu malu.
“Jangan ejek aku juga ya...” Ana berhenti lagi beberapa detik. Mencoba menyusun kata agar ceritanya tidak terlalu memalukan.
“Jujur ya, aku ada sedikit crush sama Mas Aris…. Menurutku ada hal-hal dari dia yang membuatku tertarik. Dia terlihat sangat bertanggung jawab. Orang yang bisa diandalkan dan serba bisa. Dia mau membagikan kelebihannya itu untuk menolong orang. Itu poin yang sangat baik dan penting kan untuk mencari pendamping hidup.
Apalagi aku ada trauma yang disebabkan oleh kedua orang tuaku. Masa kecilku suram lho. Orang tuaku hampir selalu bertengkar. Menurut mamaku sih karena papaku tidak bertanggung jawab. Karena sebagai seorang kepala keluarga, papaku sama sekali tidak bisa diandalkan.
Mamaku terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga. Bisa atau tidak bisa, mau atau tak mau, mamaku harus banting tulang agar bisa menghidupi keluarga.
Jadi sejak aku mengenal Mas Aris. Aku berpikir dialah sosok yang dibutuhkan sebagai kepala keluarga, karena dia lembut dan pengertian.”
“Ooo berarti mamamu lah yang berperan membesarkan Ana sampai menjadi seperti ini. Seorang diri? Dia sungguh wanita hebat, Ana.” kata Dita.
Ana terdiam.
Inilah yang selalu akan ia dapatkan, jika ia mulai membuka kisah masa kecilnya. Semua orang akan memuji mamanya luar biasa. Karena berhasil membesarkan anaknya seorang diri.
Lalu setelah itu akan diteruskan dengan nasehat supaya ia harus sangat berbakti kepada mamanya. Membalas semua budi baik mamanya.
Ana menghela napas. Luka batin lama yang digoreskan mamanya belum sembuh. Dia masih butuh untuk dimengerti perasaannya.
Perasaan tidak rela, karena semua hasil kerja kerasnya dikuras selalu diminta oleh sang mama. Tanpa sempat ia menikmatinya.
Namun bolehkah Ana membicarakan hal itu kepada seseorang tanpa akan mendapatkan pandangan sinis yang mengutuk dia sebagai anak durhaka.
Itu adalah soal luka-lukanya.
Soal Aris, lain lagi.
Sungguh, dia sudah mulai berharap hubungan ia dengan Aris bisa ke jenjang yang serius. Ana bisa melihat kualitas Aris jika menjadi pemimpin keluarganya. Sudah pasti tidak akan seperti papa kandungnya.
Terus terang dia mulai merasa ragu untuk cerita kepada Dita, untuk berkata terus-terang mengatakan menyukai Aris ketika ia sendiri pun belum yakin apakah benar Mas Aris mau menjadi kekasihnya.
Pasti memalukan jika ternyata Aris bersikap baik kepadanya karena dia memang dasarnya orang yang baik, sukarela membantu orang. Jadi sama sekali bukan menganggap Ana seorang yang spesial di hatinya.
“Ehmm…., ada sesuatu juga yang ingin aku ceritakan,” kata-kata Dita tiba-tiba. Wajah Dita berubah jadi sangat serius.
“Pernah… mungkin udah setahun yang lalu. Seperti biasa kami berjalan pulang bersama setelah makan malam.
Saat tiba di mess dan ketika aku membuka kamarku dan menyalakan ternyata listrik di kamarku, ternyata lampu di kamarku meledak, ngeri pokoknya.
Kebetulan Pak Aris ada sana juga waktu itu. Jadi dia sendiri yang berusaha benerin listrik kamarku.
Dia naik tangga, aku yang senter-in pakai hp karena gelap. Karena tidak ada listrik, maka aku juga tidak bisa memasang kipas angin juga. Padahal keadaan di dalam kamar tanpa kipas angin dan AC, kan luar biasa gerah. Ana pasti bisa bayangkan, ruangan mess yang tanpa aliran udara.
Karena tidak tahan Pak Aris membuka kaosnya dan bertelanjang dada. Aku juga tidak tahan, lalu ku lepas baju luarku. Tapi aku masih pakai tanktop dan celana joger.
Nah, pada saat lampu dan listrik sudah berhasil hidup. Pak Aris bisa melihat keadaanku yang basah mandi keringat, sama hal di badannya juga mandi keringat karena bertahan cukup lama di kamar gelap dan panas.”
Dita berhenti sebentar dan menatap Ana lalu menggenggam tangan Ana.
Ana merasakan perasaan tidak enak ketika melihat raut wajah Dita saat itu. Ana merasa bahwa ini sepertinya bukan kisah yang menyenangkan.
“Ada beberapa percakapan antara aku dan Pak Aris setelah listrik hidup, mengenai keadaan listrik di kamarku, soal safety nya, penyebab konslet. Begitulah.
Lalu tiba-tiba Pak Aris memegangi pangkal pahanya, ya ..di tengah ya ..di situlah.. di bagian kelaminnya…paham kan, Ana. Dia bilang aku ini cantik dan seksi sekali, lihat kamu berkeringat memakai baju begitu, adikku jadi bangun. Dita sebagai ucapan terima kasih, yuk kita …
Aku kaget saat itu lalu cepat-cepat aku berteriak dan mendorong Pak Aris sekuat tenaga sampai keluar dari kamarku. Pintunya langsung aku kunci. Aku merasa ngeri saat itu.”
Ana terpana.
Ia syok.
Cerita dari Dita sama sekali tidak pernah melintas di pikiran Ana bahwa seorang Aris bisa melakukan seperti itu.
Cerita ini sangat berbeda dengan angan-angannya kelak jika sungguh jadi pasangan Aris.
Sungguh cerita yang sangat bertolak belakang dari Aris yang dikenalnya saat ini.
Dita menyadari bahwa tanggapan Ana terhadap ceritanya beda jauh dengan perkiraannya semula.
Semula Dita mengira Ana akan terkejut lalu berterima kasih karena sudah diperingatkan oleh Dita. Orang yang lebih lama tahu dan kenal sosok Aris.
Ada sedikit penyesalan di hati Dita karena dia terlanjur menceritakan kejadian itu kepada Ana. Tapi ya, apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur.
Dita menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ehmm, maaf Ana.. Kumohon jangan ceritakan lagi kisah ini kepada siapapun ya. Terserah Ana mau percaya atau tidak, tapi itu..beneran terjadi.”
Ana berusaha tetap tenang. “Tentu saja, Dit. Jangan kuatir. Kan aku juga tadi yang mulai bertanya duluan pada Dita. Namanya usia kita kan bukan usia untuk main-main lagi. Sebisa mungkin ya mencari calon yang memang benar-benar baik. Ya kan?”
Kata-kata Ana menenangkan Dita yang sempat menjadi gelisah. “Syukurlah kalau kamu mikirnya begitu, Ana. Ya, bagaimana pun itu kan sudah lama berlalu. Setiap orang kan ya berubah.
Tak bakalan stagnan terus kan ya.”
“Eh Dita,” sela Ana. “Bolehkah aku tanya lagi?”
“Tanya apa?”
“Bagaimana sikap kalian berdua satu sama lain?” tanya Ana. “Saling mengucapkan maaf atau bagaimana. Karena kan sekarang sikap kalian berdua sudah biasa saja.”
Dita berpikir-pikir. “Iya, bagaimana kami dulu saling berbaikan lagi ya. Kayaknya sih tidak ada dari kami yang mengucapkan maaf. Mungkin secara alami kami sudah saling berkomunikasi lagi.”
Ana mengangguk. “Masih bekerja di tempat yang sama juga kan. Lagian mungkin keadaan Dita saat itu juga hot. Berkeringat memakai tanktop dan celana pendek.”
Dita terkikik.
“Ya bagaimana pun kan dia pria normal, ya kan. Tapi bukan aku mau menggoda mas mu lho ya.”
Ana memicingkan matanya. “Tapi bukankah tubuh Mas Aris sexy, kalau sedang basah keringat?”
Mata Dita mem-bola besar. “Whaaaatttt…, kalian berdua sudah sampai buka-bukaan???”
Ana buru-buru berkelit. “Bukan begitu. Aku pernah lihat lah yao pas di mess habis dia benerin listrik.”
“Oh! Hi hi hi.” Dita terkikik. “Ya sudah, pokoknya aku tegaskan, aku tak pernah berpikir untuk menggoda Mas Arismu yang ganteng itu lho ya.”
Ana menepuk-nepuk bahu Dita.
“Aman. Aman, Dita. Aku kan tahu, selera Dita bule. Jadi tak mungkin Dita minat dengan Mas Aris.”
Dita tertawa.