Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : HANIE - RISA' TWILIGHT OF HANIE
Senja di Gerbang Utara Hamel
Angin dingin dari Lautan Utara selalu membawa aroma garam dan rahasia ke Hamel. Di bawah cahaya rembulan perak yang menggantung rendah di atas menara kristal istana, Risa berdiri di atas salah satu atap kayu bengkel pandai besi, jubah teal dan hitamnya berkibar pelan, seperti bayangan yang enggan terperangkap dalam batas-batas fisik. Ia adalah Twilight, julukan yang ia pikul setara dengan beban seluruh Benua Hanie di pundaknya.
Matanya yang tajam dan berwarna zamrud menyapu lalu lintas malam yang jarang di Gerbang Utara, pusat pergerakan para pedagang, tentara, dan—yang paling penting baginya—para penyelundup dan informan gelap. Hamel adalah urat nadi Hanie, dan Twilight adalah sel darah putih yang berpatroli, membuang infeksi sebelum menyebar.
Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus di udara, bukan fisik, melainkan resonansi sihir. Sebuah peringatan. Sebuah gulungan perkamen yang dicuri—informasi vital tentang pergerakan kekuatan terlarang di perbatasan timur—akan melintasi gerbang ini malam ini.
Risa melompat dengan anggun, mendarat tanpa suara di lorong sempit yang diselimuti bayangan.
Kakinya yang mengenakan sepatu bot panjang kulit hitam bergerak cepat, langkahnya adalah janji keheningan. Ia mendapati dirinya di belakang dua sosok yang bergerak tergesa-gesa: satu bertubuh besar dan berkerudung kasar, yang satu lagi lebih kecil dan licik, dengan aura sihir yang tipis mengitarinya.
Proxy Bow-nya dimanifestasikan dalam sekejap—sebuah busur tanpa bentuk fisik, hanya cahaya kebiruan pucat yang berdenyut di tangannya. Anak panah pertama, terbuat dari energi murni, ditarik, siap dilepaskan.
"Berhenti," suara Risa terdengar dingin, tajam, dan sama sekali tidak mengandung emosi, memecah keheningan gang.
Kedua sosok itu tersentak dan berbalik. Si jangkung mengeluarkan belati berkarat, sementara si licik mulai menggumamkan mantra.
"Kau siapa?" tanya si jangkung dengan suara serak, napasnya berbau alkohol.
Risa tidak menjawab. Ia menahan Proxy Bow-nya.
"Serahkan apa yang kalian bawa. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah yang tidak perlu."
Si licik mendengus sinis. "Seorang gadis kecil dengan mainan cahaya. Tersesatlah, sayang. Kami sedang terburu-buru."
Saat si licik menyelesaikan gumamannya, seberkas energi ungu melesat ke arah Risa. Risa hanya menggeser tubuhnya sedikit. PanahProxy Bow yang ditarik sebelumnya kini dilepaskan. Bukan ke arah mereka, melainkan ke dinding batu di atas mereka. Panah sihir itu meledak, menghasilkan kilatan cahaya putih yang menyilaukan.
Kedua pria itu menutup mata mereka, terkejut. Risa memanfaatkan momentum itu. Ia menendang lutut si jangkung hingga terjatuh dan tangan kirinya yang terbalut sarung tangan meraih pergelangan tangan si licik, memutar dan membantingnya ke dinding.
"Aku bukan 'gadis kecil'," desis Risa, suaranya dekat dan dingin. "Aku adalah Twilight."
Si licik mengerang kesakitan. "A-apa yang kau inginkan?"
"Gulungan di saku jaketmu," jawab Risa, tanpa melepaskan cengkeramannya. "Atau kau akan menemukan bahwa 'mainan cahaya' ini bisa sangat... menyakitkan."
Si licik tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, ia merogoh jaketnya dan mengeluarkan gulungan perkamen yang disegel. Risa mengambilnya dengan cepat.
"Ini. Sudah kuduga kau benar-benar tidak peduli. Kau kejam!" Si licik meludah, meskipun ada nada ketakutan dalam suaranya.
Ekspresi Risa tidak berubah. Ia memasukkan gulungan itu ke dalam kantong sabuknya. Ia tahu ia dicap kejam, tidak berperasaan. Biarkan saja. Itu lebih mudah.
"Kau beruntung malam ini," ujar Risa sambil melepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan si licik. Si licik segera terhuyung mundur, menggosok pergelangan tangannya.
"Mengapa... mengapa kau membiarkan kami pergi?" tanya si licik, bingung.
Risa melirik sekilas ke arahnya, nada ketidaksabaran tipis terdengar dalam suaranya, hampir seperti teguran yang terselubung.
"Aku hanya tertarik pada apa yang kalian curi, bukan pada kalian. Tapi jangan pernah berpikir aku akan bersikap lunak lagi. Jauhi Hanie. Jangan kembali."
Kata-katanya adalah perintah yang tidak dapat dibantah. Tanpa menunggu balasan, Risa berbalik. Sosoknya menghilang kembali ke dalam labirin bayangan, meninggalkan dua penyelundup yang menggigil dan Proxy Bow yang memudar kembali menjadi ketiadaan, meninggalkan Hamel sepi, aman, dan tanpa pernah tahu siapa yang baru saja menyelamatkannya. Tugas telah selesai. Dan Twilight, sang tsundere yang dingin, telah menyembunyikan sisi kepeduliannya di balik fasad yang kejam sekali lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Beberapa minggu setelah insiden Gerbang Utara, ketegangan baru muncul di luar batas kota Hamel. Di punggung bukit yang menghadap ke Lembah Sungai Thyrus—jalur perdagangan penting yang memasok biji-bijian dan kayu—terdapat laporan tentang anomali magis. Para petani dan pengawas melaporkan bola api tak wajar yang muncul di malam hari, merusak panen dan menghalangi karavan.
Risa, sang Twilight, bergerak cepat. Menggunakan jubahnya yang menyatu dengan senja, ia melacak sumber energi sihir tersebut ke sebuah reruntuhan menara pengawas tua. Di sana, di tengah lingkaran batu yang gelap, seorang sosok berambut merah dengan pakaian usang sedang asyik memanipulasi nyala api, melemparkannya ke udara dengan tawa puas. Mereka adalah penyihir api yang dicari oleh Dewan Magi karena penyalahgunaan sihir terlarang.
Risa mendarat di atas batu besar, Proxy Bow sudah terwujud di tangannya, memancarkan cahaya yang kontras dengan api yang berkobar.
"Latihanmu sudah selesai," ujar Risa, suaranya sedingin batu yang ia pijak.
Sosok berambut merah itu terkejut, berbalik, dan nyala api di tangannya membesar karena terkejut.
"Siapa kau?! Aku sedang bekerja. Pergi!" bentaknya, sambil mengarahkan bola api ke arah Risa.
Risa hanya menggeser tubuhnya sedikit, membiarkan bola api meledak di bebatuan di belakangnya. Tidak ada emosi di matanya.
"Penyalahgunaan sihir terlarang di dekat jalur suplai utama adalah kejahatan serius di bawah yurisdiksi Hamel," Risa menjelaskan dengan monoton, seolah membaca dari sebuah dekrit. "Kau akan ikut denganku."
"Ikut denganmu? Jangan konyol!" Sosok itu tertawa sinis. "Kau hanya seorang gadis berkostum teater! Apakah kau berpikir busur bercahaya itu bisa menghentikan api sesungguhnya?"
Penyihir itu memanggil gelombang api yang menyelimuti area tersebut. Risa tahu bahwa memadamkannya akan membuang waktu dan berisiko membakar hutan kering. Ia harus melumpuhkannya dengan cepat.
"Aku tidak perlu menghentikan apimu," balas Risa, menarik dua anak panah sihir sekaligus.
Dua anak panah Proxy Bow dilepaskan. Bukan ke arah penyihir, tetapi ke dua titik strategis di batu yang diinjaknya. Panah energi itu menciptakan gelombang kejut yang kuat, bukan ledakan api, melainkan ledakan sihir murni yang mengganggu konsentrasi.
Penyihir itu tersentak, keseimbangan sihirnya terganggu. Api di tangannya goyah.
"Argh! Apa yang kau lakukan?!"
"Aku melumpuhkanmu. Bukan melukaimu," jawab Risa, maju dua langkah. Dinginnya sikap Risa mulai menembus pertahanan sombong penyihir itu.
"Hentikan! Aku tidak akan...!"
Risa menarik anak panah ketiga. Kali ini, ujungnya diarahkan ke dada penyihir. Sosok itu akhirnya melihat kekejaman dingin di mata Twilight.
"Kau membahayakan orang-orang yang tidak bersalah hanya untuk pamer kekuatan. Mereka adalah petani miskin yang hidupnya bergantung pada hasil panen itu," kata Risa. Ada sedikit nada kesal, namun tersembunyi jauh di balik nada suara yang dingin.
"Mengapa kau begitu peduli? Kau terlihat... terlalu dingin untuk menjadi pahlawan."
Risa terdiam sejenak. Ia mengendurkan tarikan busurnya, tetapi tidak melepaskannya.
"Kepedulian tidak membuat seseorang menjadi efisien," jawabnya, nadanya kembali datar. "Hanya menghabiskan waktu. Kau melanggar aturan. Itu saja yang penting."
"Tch. Tsundere dingin," gumam penyihir itu dengan kesal.
Risa mengabaikan gumaman itu. Ia melangkah mendekat, mengulurkan tangan kirinya yang terbalut sarung tangan kulit.
"Kau akan menyerahkan dirimu kepada Dewan. Sekarang. Atau aku akan pastikan kau tidak akan bisa mengganggu siapa pun lagi, dengan atau tanpa sihir."
Melihat ketegasan tanpa kompromi dalam tatapan Risa, si penyihir api itu akhirnya menyerah, menjatuhkan sisa nyala api di tangannya.
"Baiklah! Baik! Aku ikut. Tapi jangan harap aku akan berterima kasih padamu, penjaga bayangan."
Risa mengangguk singkat. Ia membiarkan Proxy Bow-nya memudar. Tidak ada kata-kata lembut, tidak ada penghiburan. Hanya penyelesaian tugas yang dingin. Ia memegang kerah penyihir itu dan mulai membawanya menuruni bukit, menuju Hamel, meninggalkan reruntuhan yang kini kembali diselimuti kegelapan yang tenang. Ancaman lain telah diatasi, dan stabilitas Hamel, dipertahankan oleh tangan dingin Twilight.
.
.
.
.
.
.
.
Kabar burung telah berubah menjadi desas-desus mengganggu, kemudian menjadi fakta mengerikan: Sekte 'Cahaya Terbalik' yang memuja entitas iblis telah mendirikan pos tersembunyi di Rawa Hitam, wilayah paling terpencil dan berbahaya di perbatasan selatan Hamel. Kehadiran mereka di sana tidak lain untuk satu tujuan: ritual pemanggilan Iblis tingkat rendah, yang dapat mengacaukan seluruh wilayah Hanie.
Risa, sang Twilight, bergerak menuju ancaman ini dengan tingkat keseriusan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya. Ini bukan lagi tentang penyelundup atau penyihir kecil; ini adalah ancaman eksistensial.
Ia menemukan kamp sekte itu di tengah ceruk rawa yang diselimuti kabut tebal dan bau belerang yang samar. Di pusatnya, ia melihat seorang sosok Dark Elf, tinggi dan kurus, mengenakan jubah berlumuran darah kering dan pernak-pernik tulang. Sosok itu adalah pemimpin ritual, matanya berkilauan dengan kegilaan.
Risa tidak menunggu. Ia melompat dari dahan pohon mati, Proxy Bow di tangan. Ia melepaskan rentetan panah sihir, bukan untuk melumpuhkan, melainkan untuk mengganggu formasi ritual.
Dark Elf itu bereaksi dengan kecepatan supernatural, mengangkat tongkat yang terbuat dari tulang dan tengkorak. Sebuah perisai bayangan gelap langsung terbentuk, membelokkan tiga anak panah pertama.
"Oh, lihat ini," ujar Dark Elf itu, suaranya halus seperti desisan ular, namun dipenuhi kekejian. "Seorang... pelayan cahaya yang lancang. Kau datang sendirian ke pesta kami, gadis?"
Risa mendarat dengan ringan, Proxy Bow tetap diacungkan. Wajahnya yang biasa dingin kini dihiasi sedikit ketegasan yang brutal.
"Aku datang untuk mengakhiri pestamu. Ritual itu harus dihentikan," kata Risa, suaranya tebal dan tanpa kompromi.
Dark Elf itu tertawa, suara yang kasar dan serak. "Menghentikan? Kami hampir menyentuh keagungan, sebentar lagi. Dan kau, siapa pun kau, tidak akan menghalangi Jalan Cahaya Terbalik!"
Saat ia selesai berbicara, Dark Elf itu mengayunkan tongkatnya. Bukan sihir, melainkan kabut hitam pekat yang berbau busuk melesat ke arah Risa, disertai dua pengawal sekte lain yang menyerang dari samping dengan pedang ritual berkarat.
Risa menarik napas. Proxy Bow memudar, dan sebagai gantinya, pedang sihir diwujudkan di tangan kanannya. Pedang itu adalah bilah murni yang terbuat dari energi, memancarkan cahaya biru-perak yang berlawanan dengan kegelapan rawa. Ini adalah senjata pamungkasnya, yang hanya digunakan ketika ancaman terlalu dekat dan terlalu serius.
Ia memutar tubuhnya dengan cepat, bilah sihirnya berputar dan membelokkan serangan pedang berkarat dari pengawal sekte. Darah kotor terciprat saat Risa memotong pertahanan mereka. Dua pengawal itu jatuh, mengerang dalam genangan lumpur.
Dark Elf itu tampak terkejut. "Pedang sihir?! Kau... kau lebih dari sekadar pemanah iseng."
"Aku adalah Twilight. Dan tidak ada Iblis yang akan diizinkan berkeliaran di tanah Hamel," Risa melangkah maju, darah di bilah sihirnya menguap.
"Kau pikir kau bisa menghentikanku? Aku telah mengorbankan segalanya untuk kekuasaan ini! Aku telah melihat kebenaran!" Dark Elf itu berteriak dengan suara yang semakin nyaring.
Risa mengacungkan pedang sihirnya, ujung bilah mengarah langsung ke jantung Dark Elf.
"Kebenaranmu adalah kehancuran. Dan aku, tugasku adalah mencegahnya. Jangan berpikir untuk bermain-main, aku tahu apa yang kau coba lakukan. Aku memberimu kesempatan terakhir: hentikan ritualnya, sekarang."
Dark Elf itu menyeringai, sebuah ekspresi yang menunjukkan campuran fanatisme dan kesombongan.
"Mengapa? Agar kau bisa kembali ke bayanganmu dan merasa puas? Aku kasihan padamu, hidup dalam kedinginanmu. Kenapa kau peduli?!"
"Aku tidak peduli," jawab Risa, tetapi nada suaranya sedikit bergetar karena amarah yang ditahan. "Aku menjalankan tugas. Hanya itu. Tapi jika kau berani mengancam stabilitas Hamel, aku akan melenyapkanmu hingga tak tersisa. Aku benci harus repot-repot membersihkan kekacauan Iblis."
Perkataan Risa yang dingin dan kejam itu adalah tsundere-nya, yang menyembunyikan fakta bahwa ia benar-benar peduli pada keselamatan Hanie dan benci harus melihat kekacauan.
Dark Elf itu akhirnya melihat niat membunuh yang murni di mata zamrud Risa. Namun, ia terlalu jauh tenggelam dalam kegilaan.
"Kalau begitu, hancurkan aku! Kekuatan akan selalu menang!"
Dark Elf itu mulai mengucapkan mantera terakhir dengan kecepatan tinggi, mengarahkan sisa energi ritual ke arah portal yang mulai terbuka.
Risa tidak punya waktu lagi. Pedang sihir itu melesat. Itu bukan serangan yang anggun, melainkan tusukan yang brutal dan lurus. Dark Elf itu tidak dapat bereaksi tepat waktu.
Bilah sihir itu menembus jubah dan tubuhnya. Seluruh ritual terhenti, sihir gelap itu berderak dan menghilang, dan portal yang baru terbuka tersedot kembali ke ketiadaan.
Dark Elf itu tersentak, tatapannya yang gila perlahan meredup.
"Kau... benar-benar... kejam..." bisiknya, dengan napas terakhir.
Risa menarik pedang sihirnya. Ia melihat mayat Dark Elf itu jatuh ke rawa, lalu melirik sisa-sisa kamp. Ia tidak menunjukkan penyesalan atau kemenangan, hanya kelelahan yang dingin.
Ancaman terbesar telah diatasi. Tugas telah selesai dengan brutal. Risa membiarkan pedang sihir itu memudar, menyeka noda lumpur di jubahnya, dan berbalik. Ia kembali ke bayangan, meninggalkan rawa itu lebih tenang, lebih aman, dan lebih dingin dari sebelumnya. Twilight telah melakukan apa yang harus dilakukan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Epilog: Keheningan di Puncak Menara Kristal
Setelah kekejaman di Rawa Hitam, Hamel kembali menarik napas lega, meskipun hanya Risa, sang Twilight, yang tahu harga dari kedamaian itu. Ia kini berada di tempat persembunyian favoritnya: puncak salah satu menara kristal yang menghadap ke seluruh Hamel dan garis pantai yang luas. Dari sini, ia bisa melihat Sungai Hamel berkelok-kelok anggun, membelah kota sebelum bertemu dengan lautan yang berkilauan di bawah cahaya matahari terbenam.
Risa bersandar pada tembok batu, jubahnya yang teal dan hitam tampak lebih lembut diterpa cahaya emas senja. Ia melipat tangan, tatapannya yang biasa dingin kini tampak sedikit melamun, mengamati kota yang ia jaga dari bayangan.
...
...
Di bahunya, seekor makhluk mungil yang terbuat dari api hijau yang menenangkan beristirahat. Itu adalah Phonia, Summon Phoenix api hijau miliknya. Kontras dengan keheningan dan kekerasan Risa, Phonia selalu ceria, dan suaranya terdengar seperti lonceng kecil yang bergetar.
"Risa, lihatlah! Matahari terlihat seperti permata emas yang tenggelam ke dalam air biru!" kata Phonia dengan riang, mengepakkan sayap apinya yang mungil.
Risa hanya mendengus pelan, menatap cakrawala. "Itu hanya fenomena alam, Phonia. Tidak perlu berlebihan."
"Ah, tapi kau tetap melihatnya, kan?" Phonia menyenggol pipi Risa dengan kepalanya yang berapi. "Kau harus menikmati pemandangan, Twilight. Kau baru saja membekukan Dark Elf jahat itu kemarin. Sedikit istirahat tidak akan membuat dunia runtuh."
"Dunia bisa runtuh kapan saja jika aku beristirahat terlalu lama," balas Risa dengan nada datar. "Lagi pula, aku tidak membekukannya. Aku melenyapkannya."
"Sama saja! Intinya, kau bekerja keras, Cool-Tsundere-Guardian!" Phonia tertawa kecil. "Sekarang, mengapa kau tidak mengeluarkan camilan yang kau simpan di kantung itu?"
Risa menghela napas, gestur yang sangat manusiawi, yang jarang ia tunjukkan. Ia merogoh kantung kecil di sabuknya dan mengeluarkan sepotong kecil kue manis.
"Kau berisik sekali," Risa bergumam, tetapi ia memegang kue itu di dekat Phonia.
Phonia segera mematuknya, apinya tampak menyala lebih terang karena senang.
"Aku berisik agar kau tidak terlalu tenggelam dalam kesunyianmu, Risa. Kau selalu terlihat seperti ingin menghukum diri sendiri karena... aku tidak tahu, karena bernapas?"
"Aku hanya... fokus," Risa membalas. Ia melonggarkan lipatan tangannya dan menyentuh kepala Phonia dengan jari bersarung tangan. Ada kelembutan yang sangat tersembunyi dalam sentuhan itu.
Saat itu, terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang pria berpakaian seragam penjaga elit Hamel, tampak lelah dan sedikit gentar, datang menghampirinya.
"Nona... apakah anda baik-baik saja? Kami tidak melihat anda kembali sejak kemarin malam."
Risa menoleh ke arahnya, matanya tajam. "Aku baik-baik saja. Apa yang kau inginkan?"
Pria itu tergagap. "Dewan... ingin berterima kasih. Kami mendengar tentang masalah di Rawa Hitam. Kami melihat... efeknya. Mereka bertanya-tanya, siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan masalah itu tidak menyebar?"
Risa kembali menghadap pemandangan, tanpa menunjukkan emosi.
"Seseorang melakukan tugasnya. Katakan pada Dewan, agar mereka fokus pada apa yang ada di depan mata mereka. Ancaman selalu bergerak."
"Tetapi... bisakah kami setidaknya mengetahui nama anda, Nona?" tanya penjaga itu dengan hati-hati.
"Tidak perlu," potong Risa cepat. "Aku bekerja dari bayangan. Itu lebih efisien. Sekarang, kembalilah ke posisimu. Pemandangan ini terlalu berharga untuk dibagi dengan banyak orang."
Penjaga itu, merasakan dinginnya penolakan, segera membungkuk. "Baik, Nona. Terima kasih." Ia segera berbalik dan pergi, meninggalkan Risa dalam ketenangannya lagi.
Phonia memiringkan kepalanya. "Kau tahu, Risa, kau bisa saja sedikit lebih ramah. Senyum kecil mungkin?"
Risa tersenyum tipis, tetapi senyum itu cepat menghilang, digantikan oleh ekspresi netralnya.
"Aku tersenyum ketika tidak ada lagi kejahatan tersembunyi di Hanie," jawab Risa.
"Dan itu tidak akan pernah terjadi!" seru Phonia.
"Tepat," kata Risa.
Ia memandang Hamel yang kini bermandikan warna emas dan ungu. Meskipun ia bersikeras bahwa ia bertindak murni karena efisiensi dan tugas, Risa tahu, jauh di dalam dirinya, di balik dinding es tsundere itu, ada kepuasan yang tenang melihat kedamaian yang ia beli dengan kegelapan dan kekejaman.
"Ayo, Phonia," Risa berbisik pelan, suaranya hampir hilang ditelan angin. "Kita perlu memeriksa pelabuhan. Aku mendengar ada barang selundupan baru yang datang dari Benua Timur."
Phonia menghela napas kecil, api hijau kecilnya berkedip-kedip, tetapi ia patuh.
"Baiklah, baiklah. Tugas lagi. Setidaknya kita bisa melihat bulan di atas air, Risa. Itu cantik!"
Risa mengangguk, kali ini tanpa memprotes keindahan. "Ya. Itu... bisa diterima."
Dan dengan itu, Twilight, sang penjaga dingin yang membawa Phoenix api ceria, menghilang dari puncak menara kristal, kembali beroperasi di batas senja. Tugasnya tidak pernah berakhir, tetapi untuk saat ini, Hamel aman di bawah langit malam yang tenang.