“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Beberapa minggu ini, Toko kue sangat sepi. Bahkan dalam sehari tidak ada yang datang berkunjung atau membeli kue.
Semua stok kehabisan masa, hingga banyak kue berjamur dan terpaksa dibuang. Modal tidak berkembang dan bahkan Raka mengalami rugi besar karena kue-kuenya tidak laku lagi.
Dulu, Andin yang mengerti masalah urusan dapur toko, gudang bahkan pemasaran. Hingga banyak orang yang mengenal toko kue tersebut. Namun, semenjak Andin pergi dari hidupnya, dialah yang Handel semuanya namun tak memiliki basic dalam masalah pemasaran.
Pikirnya, setelah toko kue sudah memiliki banyak pelanggan, tak memerlukan pemasaran lagi. Namun nyatanya, kepergian Andin membawa dampak besar dalam hidupnya.
Sudah berhari-hari Raka tidak bisa tidur nyenyak. Toko kie yang hampir bangkrut. Pemasukan masih minim namun pengeluaran yang banyak membuat Raka pusing memikirkannya.
Dibalik itu, Wajah Andin terus terbayang di pikirannya—bukan hanya karena rasa bersalah, tapi juga karena sesuatu yang lain.
Ambisi. Keserakahan. Dan harapan untuk kembali hidup enak seperti dulu.
Ia menatap kosong ke arah jendela kamarnya. Ratna masih tertidur di sisi tempat tidur, wajahnya tenang, seolah tidak tahu apa yang tengah dipikirkan pria di sampingnya.
"Andin sekarang terkenal… kaya… dihormati."
Raka tersenyum tipis, sinis pada dirinya sendiri.
Dulu aku yang mengatur segalanya. Sekarang, dia bahkan tak butuh aku lagi.
Tapi di dalam kepalanya, sebuah rencana mulai terbentuk — perlahan tapi pasti.
Jika ia bisa mendapatkan Andin kembali, semua bisa berubah. Namanya akan ikut terangkat, kehidupannya akan kembali makmur.
Dan yang paling penting, dunia akan melihat bahwa Andin masih mencintainya.
Ia berdiri dari tempat tidur, menatap Ratna yang masih pulas.
“Maaf, Ratna,” bisiknya dingin.
“Kau hanya langkah sementara.” Ujarnya penuh tekad.
Keesokan harinya, Raka mulai mencari tahu keberadaan Andin.
Ia mengunjungi beberapa orang lama di lingkungan tempat Andin dulu bekerja, menelusuri akun media sosial, hingga akhirnya menemukan foto Andin dalam sebuah unggahan artikel.
Di bawah foto itu tertera alamat lokasi wawancara — rumah besar dengan gerbang tinggi dan taman luas.
Raka menatap layar ponselnya lama, jemarinya menggenggam kuat seolah sedang menggenggam takdir.
“Jadi, di sinilah kamu sekarang, Din…”
Ia menyandarkan tubuh di kursi mobilnya, menarik napas panjang.
Bayangan masa lalu muncul — bagaimana dulu Andin berlutut memohon agar Raka tidak pergi, bagaimana ia sendiri membentak dan menolak wanita yang begitu mencintainya.
Namun, kali ini hatinya tidak bergetar karena penyesalan. Yang muncul justru rasa haus akan kesempatan kedua. Bukan karena cinta, tapi karena keuntungan.
"Jika aku berhasil masuk kembali ke hidupnya, aku bisa memulai semuanya dari awal." lirih Raka tersenyum licik.
"Dan dengan status Andin sekarang, aku tidak akan kekurangan apa pun." gumamnya lagi penuh rencana.
Beberapa hari kemudian, Raka berdiri di seberang jalan depan rumah besar Andin.
Pagar tinggi, mobil mewah di garasi, dan pelayan yang hilir mudik — semuanya menunjukkan betapa jauhnya jarak antara dirinya yang sekarang dan Andin yang dulu ia rendahkan.
Ia tersenyum miring.
“Siapa sangka, wanita yang dulu cuma jualan kue di rumah bisa sampai di titik ini.”
Raka mulai menyusun rencana. Ia tak bisa langsung datang begitu saja.
Dia tahu, Andin kini bukan perempuan lembut yang mudah percaya. Dia harus menciptakan situasi — sesuatu yang akan membuat Andin menoleh padanya lagi.
Entah dengan alasan simpati, atau nostalgia. Ia mulai menyiapkan langkah-langkah kecil:
Menghubungi beberapa orang di industri film untuk mendapatkan informasi jadwal Andin.
Menciptakan skenario “kebetulan bertemu”.
Menyusun kata-kata yang terdengar tulus — tentang penyesalan, cinta yang belum padam, dan keinginan untuk menebus kesalahan.
Namun di balik senyum dan kata manis yang ia siapkan, ada niat tersembunyi yang bahkan dirinya tak berusaha menyangkal.
Raka ingin menguasai kembali hidup Andin.
Ia ingin duduk di atas kejayaan yang kini dimiliki wanita yang dulu ia buang.
Sore itu, Raka menatap langit yang mulai merah jingga.
Matanya memantulkan cahaya senja — hangat di luar, tapi penuh perhitungan di dalam.
“Bersiaplah, Andin,” gumamnya pelan.
“Kau akan melihat aku menyesal… tapi sebenarnya, aku hanya menunggu saat yang tepat untuk kembali merebut hatimu.”
.
.
.
Bersambung.