Ketika dendam dan cinta datang di waktu yang sama, pernikahan bak surga itu terasa bagai di neraka.
“Lima tahun, waktu yang aku berikan untuk melampiaskan semua dendamku.”_ Sean Gelano Aznand.
“Bagiku menikah hanya satu kali, aku akan bertahan sampai batas waktu itu datang.”_ Sonia Alodie Eliezza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Membeli Jajanan
...🌼...
...•...
...•...
"Cobalah sedikit, ini sangat enak," kata Sonia mencairkan suasana karena dia tahu kalau Sean saat ini merasa canggung dan bersalah pada dirinya. Sean menerima martabak dari tangan Sonia dengan langsung memakannya dari tangan sang istri.
"Iya, ini enak Son, pantas kamu suka banget," kata Sean sambil menahan rasa tangis yang ingin meledak.
"Aku boleh request nggak?"
"Apa?"
"Aku mau makan pukis, besok kalo kamu pulang dari kantor, belikan aku pukis ya, udah lama banget nggak makan itu, terakhir kali aku makan bareng Angel," pinta Sonia dengan wajah yang ceria, Sean tersenyum lalu air matanya jatuh, dengan cepat dia memalingkan wajah dan menghapus air matanya sendiri.
"Kamu mau pukis sekarang?"
"Nggak usah sekarang juga, besok aja."
"Sekarang juga nggak apa-apa, masih ada kok yang jualan di luar sana, ayo!" ajak Sean sambil mengulurkan tangannya, Sonia dengan senang hati menyambut uluran tangan Sean.
"Bentar dulu." Sonia mengambil jaket dan masker, selain udara dingin, dia tidak ingin ada orang yang melihat luka di tubuhnya itu.
"Udah jangan pake ini." Sean mengambil masker itu dan membuangnya. "Biarkan saja orang berpikir apapun padaku, aku tidak peduli," kata Sean.
Mereka pergi keluar untuk mencari jajanan pukis, setelah keliling tak ada satu pun yang buka, Sean terus mencari orang jualan pukis yang Sonia mau dan untungnya masih ada yang buka dan kedainya juga rame.
"Ada tuh," seru Sean lalu menepikan mobilnya, mereka berdua turun dan membeli pukis, mata Sonia berbinar melihat makanan itu.
"Udah lama banget aku nggak makan ini," kata Sonia, Sean langsung membeli beberapa pukis, para pengunjung di sana bisik-bisik sambil menatap Sonia dan Sean bergantian, pasalnya saat ini wajah Sonia ada bekas lebam dan juga sedikit bengkak.
"Aku tunggu di mobil ya, nggak papa kan?" Sean yang menyadari hal itu mengangguk dan membiarkan Sonia ke mobil, saat akan memasuki mobil, Vanno lewat dan melihat wajah Sonia memar, Vanno menghentikan mobilnya dan memanggil Sonia.
"Son," panggil Vanno.
Sonia melihat mobil Vanno berhenti dan keluar menghampirinya, Sonia merasa begitu takut, bayang Sean menyiksanya tadi kembali berputar di kepalanya, Sonia melirik Sean yang saat ini menatap dirinya dan Vanno.
"Jantungku benar-benar nggak aman, bisa-bisa mood suamiku jelek lagi, kenapa harus nyamperin sih ini orang Ya Allah," batin Sonia, dia tersenyum pada Vanno yang saat ini sudah ada di dekatnya.
"Wajah kamu kenapa?" tanya Vanno yang dengan lancang memegang wajah Sonia, Sonia mundur beberapa langkah.
"Aku nggak papa kok."
"Laki-laki gila itu mukul kamu lagi?"
"Enggak, bukan, ini bukan karena Sean."
"Jangan bohong Sonia, aku akan memberikan pelajaran padanya." Vanno membalikkan badan hendak menghampiri Sean yang sedang antri. Sean melihat Vanno dengan santai seakan siap juga menghajarnya.
"Jangan Vanno, aku mohon jangan bikin ribut di sini, aku dan Sean sedang baik-baik saja, tolong jangan merusaknya," pinta Sonia sambil menahan lengan Vanno, Vanno melihat jelas di punggung tangan Sonia ada bekas luka memanjang dan sudah dipastikan itu luka pecutan.
Vanno memegang tangan itu dan menyibakkan lengan baju Sonia, melihat begitu banyak luka, pria itu memejamkan matanya dengan kesal.
"Pergilah Vanno, aku mohon." Melihat Sonia memohon begitu akhirnya Vanno mengalah.
"Oke aku akan pergi, jaga dirimu baik-baik." Sonia mengangguk. Vanno kembali ke mobilnya dan mengirimkan pesan Whatsapp pada Sean.
[Kau memang pecundang Sean]
Sonia yang sudah memasuki mobil melihat ada pesan masuk di hp suaminya. Sonia melihat itu pesan dari Vanno, dia hendak menghapus pesan itu namun Sean keburu masuk ke dalam mobil sedangkan Vanno sudah pergi.
"Sabar ya, pukisnya lagi dibikin," tutur Sean pada Sonia dengan nada lembut, Sonia saat ini jadi takut, takut kalau Sean akan marah melihat Vanno menghampirinya tadi.
Takut jika nanti Sean kembali memukuli dirinya, karena saat ini seluruh tubuhnya masih sangat sakit.
“Hm i-iya,” jawab Sonia dengan senyum kaku dan terbata.
“Habis dari sini mau kemana lagi?” tanya Sean lembut sambil mengusap kepala Sonia, tidak ada tanda kalau dia sedang marah atau emosi.
“Pulang aja, kan udah malam juga, besok kamu harus kerja kan,” saran Sonia, dia begitu takut saat ini, takut jika tiba-tiba suaminya itu marah dan kembali menyiksanya, sekarang juga sudah hampir tengah malam.
“Kayaknya udah siap, aku ambil pukis nya dulu.” Sean keluar dari mobil dan mengambil pesanannya, dia memberikan uang lima ratus ribu rupiah pada penjual pukis.
“Ini banyak sekali, Mas,” kata penjual pukis.
“Ambil aja, istri saya ingin makan ini dan berkat anda, saya bisa mendapatkannya,” balas Sean.
“Terima kasih banyak, Mas.” Sean tersenyum dan mengangguk.
Dia kembali ke mobil dan memberikan pukis itu pada Sonia, istrinya masih terlihat ketakutan serta panik, Sonia mengambil dengan tangan yang gemetar.
“Kamu kenapa? Aku nggak lagi nyiksa kamu, kok gemetar begitu?” canda Sean yang berharap Sonia tersenyum.
“Nggak papa, aku kedinginan aja,” jawab Sonia sambil tersenyum kaku, Sean tahu kalau Sonia tengah ketakutan padanya.
“Pakai jaket ini,” ujar Sean sambil melepas jaketnya.
“Nggak, nggak usah, jaket yang aku pakai ini udah cukup kok,” tolak Sonia sambil melempar senyum pada Sean.
“Oke. Makanlah, katanya mau pukis.”
“Di rumah aja nanti makannya.”
“Makan aja sekarang, mumpung masih hangat, kalau nunggu sampai rumah nanti malah dingin dan nggak enak lagi.” Sonia mengambil satu pukis dan memakannya, tiba-tiba saja air mata Sonia jatuh, dia sangat ketakutan jika tiba-tiba Sean marah padanya karena dihampiri Vanno tadi.
Sean yang melihat Sonia menangis sambil makan pukis langsung memeluk istrinya itu, menenangkan dan juga meyakinkan Sonia kalau dia tidak marah. Sesekali Sonia meringis karena tubuhnya masih sakit.
“Jangan nangis, aku membawamu keluar untuk melihatmu tersenyum, bukan malah menangis.”
“Maaf Sean, aku nggak tau kalau Vanno tadi datang ke sini.” Tangis Sonia akhirnya pecah.
“Iya aku tau, jangan nangis lagi, aku nggak marah sama kamu.” Sean memeluk dan mengusap kepala Sonia dengan lembut, di sini memang bukan Sonia juga yang salah.
“Makan itu pukisnya, nanti dingin.” Sonia mengangguk dan memakan pukis yang Sean belikan tadi.
Sean mengambil ponselnya dan melihat pesan dari Vanno, dengan wajah datar ia membalas pesan tersebut.
[Jika kau bukan pecundang, coba ambil Sonia dariku] balas Sean menantang Vanno.
Sean kembali menyimpan ponselnya dan ikut bergabung dengan Sonia memakan pukis. Dia sekarang merasa lebih tenang karena Sean sudah tersenyum.
“Enak nggak?” Sonia begitu lahap memakan pukis pembeliannya, ia mengangguk sambil mengunyah makanan itu.
Sonia menyuapi pukis pada Sean yang sedang mengemudi, mereka tidak saling canggung lagi dan suasana menjadi normal kembali.