NovelToon NovelToon
Kos-kosan 99 % Waras

Kos-kosan 99 % Waras

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Komedi / Misteri
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Poying22

Selamat datang di Kos-kosan 99% Waras, tempat di mana hidup anak rantau terasa seperti sinetron komedi tanpa sutradara.
Di sinilah bowo tambun si mafia mie instan, Doni si gamer , Salsa si konten kreator sok hits, dan Mbak Ningsih si dukun Excel harus bertahan hidup di bawah aturan absurd sang pemilik kos, Bu Ratna alias Bu Komando.
Aturannya sederhana tapi kejam: siapa minum terakhir wajib ganti galon, sandal hilang bukan tanggung jawab kos, dan panci kotor bisa langsung dijual ke tukang loak.
Setiap hari ada saja drama: dari listrik mati mendadak, mie instan dimasak pakai lilin, air galon jadi rebutan, sampai misteri sandal hilang yang bikin satu kos ribut pagi-pagi.
Tapi di balik semua kekacauan itu, ada juga kisah manis yang tumbuh diam-diam. Doni dan Salsa yang awalnya hobi ribut urusan sepele malah sering kejebak momen romantis dan konyol. Sementara Bowo yang doyan ngegas gara-gara mie justru bikin cewek kos sebelah penasaran.
Satu hal yang pasti,
Bukan nilai kuliah atau ujian online yang jadi tantangan terbesar anak-anak ini, tapi bertahan hidup di kos dengan 99% kewarasan,dan penuh misteri.bagaima kelanjutan kisah percintaan mereka? stay tune guysss

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Poying22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia Di Balik Ubin Abu-Abu

Udara yang keluar dari balik pintu itu seperti napas tua yang terperangkap puluhan tahun. Begitu kaki mereka melangkah masuk, suhu ruangan turun seketika. Seolah-olah mereka berjalan ke dalam Museum raksasa yang penuh dengan sejarah.

Senter bergetar sedikit di tangan mereka. Bayangan peralatan medis , tempat tidur lipat, troli obat, tabung infus yang sudah berkarat terpantul di dinding, menciptakan siluet yang tampak bergerak sendiri setiap kali cahaya berubah arah. Poster merah “RUANG ISOLASI DILARANG MASUK TANPA IZIN” masih menempel,l walaupun hurufnya memudar tapi tetap terlihat tegas seperti peringatan di masa lalu.

Bowo menghembuskan napas pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Ya Tuhan… ini lebih ngeri dari film horor.”

Salsa mencoba menahan gemetar di tangannya, kamera tetap diarahkan ke depan. “Semua rekaman ini bakal jadi bukti Nantinya .Tapi jangan sampai kamera nya jatuh saking gemetar dan deg-degan.”

Bu Ratna melangkah paling pelan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan. “Alat-alat ini masih seperti dulu. Persis waktu terakhir kali ibu mendengar cerita tentang ruang ini.” Ia menatap sebuah kursi roda tua yang teronggok di pojok. “Bahkan kursi itu dulu digunakan untuk pasien percobaan obat.”

Rian memeriksa lantai dengan lampu kepala. “Ubin abu-abu ini belum berubah. Ada bercak cairan yang membentuk garis ke arah lorong kiri.” Ia mengetuk pelan dengan sepatu safety. “Masih kokoh. Tapi hati-hati di pinggir, ada retakan halus.”

Mbak Ningsih menyalakan tablet meski sinyal nya hilang, mencoba memetakan ruangan secara manual. “Aku tandai posisi kita. Kita masuk lewat pintu timur. Lorong di sebelah kiri belum kita telusuri.” Ia mengetik cepat, dengan wajah yang serius.

Pocong kucing gembul duduk di atas brankar yang ditinggalkan. Bulu putihnya berdiri, telinganya tegak ke depan. Ia mengeong panjang, suaranya seperti gema kecil yang melayang di udara lembap.

“Dia selalu begitu setiap kita dekat dengan sesuatu yang penting,” gumam Salsa pelan.

Doni mengangkat kunci kuno yang kini tak lagi berguna, lalu menyelipkannya ke dalam kantong. “Kita mulai dari peralatan dulu. Lihat ada catatan atau benda yang bisa kita foto. Jangan sentuh yang sudah berkarat.”

Bowo mengangkat termos mie seperti bersulang kecil lagi. “Siap bos. Detektif plus mie instan on duty.”

Tawa kecil mereka hanya sekejap, tenggelam oleh hening yang kembali menyelimuti ruangan. Dari langit-langit terdengar tetesan air jatuh ke lantai, setiap bunyi seolah jarum jam menghitung detik.

Rian berjalan ke dinding, menyorotkan senter pada papan nama usang. “Ruang ini dulunya disebut ‘Ruang 7B – Penelitian Klinis’. Ada lambang palang merah lama di sini.” Ia mengusapnya perlahan. “Simbol isolasi itu bukan hanya peringatan, tapi kode internal rumah sakit.”

Bu Ratna mengangguk lirih. “Ya. Dulu pasien yang di sini bukan pasien biasa. Mereka ikut percobaan obat eksperimen. Banyak yang akhirnya yang tidak tercatat keluar.” Ia menelan ludah, suara terakhirnya nyaris tak terdengar.

Mbak Ningsih mendekat, membuka lemari kaca yang pintunya sudah retak. Di dalamnya tersimpan puluhan botol kecil berlabel angka dan huruf, sebagian cairannya mengering jadi kristal. “Aku foto dulu satu-satu ya. Nggak usah diambil.”

Salsa ikut mendekat, mengarahkan kamera. “Ini konten yang bikin orang ngeri sekaligus penasaran. Tapi sumpah ini aku merinding banget.”

Bowo berkeliling ruangan, menempelkan pita penanda di tiang-tiang agar jalur kembali nya jelas. “Kita jangan sampai tersesat. Kayak main maze game.”

Pocong kucing gembul meloncat dari brankar ke atas meja besi di tengah ruangan. Ia menatap sebuah map besar yang tergeletak di bawah debu. Doni menyusulnya, meniup debu tipis di atas map itu.

“Tunggu…” Doni membuka map perlahan. Ternyata isinya denah rumah sakit bawah tanah yang jauh lebih luas daripada yang mereka tahu. Ada tanda merah melingkari sebuah ruang di ujung paling dalam bertuliskan “Ruang Penahanan Khusus Surya”.

“Surya…” gumam Bu Ratna, wajahnya pucat. “Itu nama Doktor Surya. Dia yang memegang kunci terakhir.”

Rian mendekat. “Ruang penahanan? Maksudnya penahanan siapa?”

Bu Ratna menggeleng. “ibu nggak tahu. ibu hanya tahu setelah proyek ini dihentikan, Doktor Surya menghilang. Ada rumor yang mengatakan dia menutup dirinya sendiri di dalam salah satu ruangan yang ada disini.”

Semua terdiam. Suara tetesan air makin keras di telinga mereka.

Salsa menelan ludah. “Jangan-jangan ruangan yang kita temui ini?”

Doni menutup map kembali. “Nanti kita bahas. Sekarang kita pastikan ruangan ini aman dulu.”

Mereka menyusuri sisi kanan ruangan. Ada lemari besi dengan gembok tua. Rian mencoba memeriksa engselnya. “Masih kokoh. Kita butuh alat yang lebih besar kalau mau membuka nya.”

Bowo membuka sebuah laci di meja. Di dalamnya ada catatan lusuh berisi tulisan tangan. “Nih, catatan pasien. Tapi tulisannya hampir pudar.”

Mbak Ningsih mengeluarkan ponsel, memfoto halaman demi halaman. “Nanti aku bisa enhance pakai software.”

Bu Ratna berdiri agak jauh, matanya menerawang ke seluruh ruangan. “Rasanya semua ini seperti detak waktu yang berhenti. Ibu masih sangat ingat aroma karbol yang sama seperti ini puluhan tahun lalu.”

Pocong kucing gembul tiba-tiba mengeong keras dan melompat turun, berlari kecil ke arah lorong sebelah kiri. Bulu ekornya mengembang.

“Cong!” panggil Salsa spontan.

Doni mengangkat tangan. “Jangan panik. Kita ikuti pelan-pelan. Tapi jangan berpencar.”

Mereka berjalan ke arah lorong yang dituju Pocong. Lorong itu lebih sempit, ubinnya lebih gelap, dan bau logamnya lebih tajam. Senter-senter mereka memantul di dinding, menciptakan cahaya seperti garis-garis putih di kegelapan.

Rian menyinari langit-langit. “Ada pipa bocor. Airnya menetes ke lantai. Hati-hati ya licin.”

Bowo menempelkan pita penanda di pintu lorong. “Biar gampang Untuk balik.”

Lorong berakhir pada sebuah pintu kaca tebal yang setengah tertutup tirai putih. Tirai itu sudah kotor, tapi masih tergantung, bergoyang sedikit terkena angin dari ventilasi tua.

Pocong berhenti di depan pintu itu, mengeong pendek. Sorot matanya tajam ke arah tulisan samar di kaca: “Unit Observasi Khusus”.

Bu Ratna menghela napas panjang, masker di wajahnya bergerak pelan. “Ibu hanya pernah dengar cerita katanya, pasien terakhir yang masuk ke ruangan ini tak pernah terlihat keluar lagi.”

Salsa memeluk kameranya erat-erat. “Aku nggak yakin mau buka tirai ini…”

Doni berdiri di depan pintu. “Kita nggak perlu masuk kalau memang berbahaya. Kita bisa rekam dari luar.”

Rian memeriksa handle pintu. “Terkunci, tapi engselnya longgar.”

Mbak Ningsih berusaha tetap tenang. “Foto dulu. Jangan sentuh yang nggak perlu.”

Bowo mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. “Tenang aja, kalau ada hantu paling hantu dokter, bisa kita tanya resep mie instan yang sehat.”

Salsa nyaris tertawa tapi tertahan. “Bowo… please…”

Doni menatap satu per satu teman-temannya. “Kita sudah sejauh ini. Kita catat dulu semua nya Malam ini cukup sampai disini. Besok kita siapkan alat yang lebih lengkap buat lanjut.”

Bu Ratna mengangguk setuju. “Iya, jangan memaksa. Energi kita juga terbatas.”

Pocong kucing gembul masih menatap pintu, ekornya turun perlahan. Ia mengeong kecil, nada suaranya kali ini seperti lega.

Mereka mundur pelan-pelan, kembali ke ruangan utama. Cahaya senter kembali menyapu peralatan medis tua. Udara tetap dingin, tapi ketegangan sedikit mereda.

Mbak Ningsih menutup tablet. “Aku sudah foto semua map dan catatan. Kita punya banyak data untuk dianalisis.”

Rian memeriksa helmnya. “Struktur lantai aman sejauh ini. Tapi aku nggak yakin bagian lorong sebelah barat Banyak retakan.”

Bowo memegang termos mie nya lagi. “Serius ya, setelah ini kita harus makan. Aku lapar banget.”

Salsa menurunkan kamera. “Aku juga butuh istirahat. Tanganku gemetar dari tadi.”

Doni berdiri di tengah ruangan. “Baik. Kita kembali dulu. Nanti kita diskusikan langkah berikutnya. Yang penting semua selamat.”

Bu Ratna memandang ruangan itu sekali lagi, wajahnya campuran lega dan sedih. “Terima kasih kalian sudah hati-hati. Tempat ini menyimpan banyak cerita. Ibu bahkan belum siap untuk mendengar semuanya.”

Mereka berjalan kembali ke pintu besi yang tadi mereka buka. Pocong kucing gembul berjalan paling depan, ekornya bergoyang pelan. Lorong kembali sepi, hanya suara langkah mereka dan tetesan air.

Sesampainya di tangga, mereka menoleh sekali lagi ke dalam ruangan. Cahaya senter terakhir memantul pada poster merah “RUANG ISOLASI” sebelum mereka menutup pintu kembali. Suara logam tua kembali berdecit, menelan rahasia di baliknya untuk sementara.

Doni memutar kunci, menguncinya rapat-rapat. “Sampai ketemu lagi besok malam, ruang rahasia…”

Bowo bersiul kecil, mencoba menenangkan suasana. “Kayak pamit ke rumah mantan.”

Salsa nyaris tertawa. “Mantan yang horor.”

Mbak Ningsih tersenyum tipis. “Tapi mantan ini nyimpan dokumen penting.”

Bu Ratna menarik napas panjang, lalu menatap mereka semua. “Ayo naik. Kita butuh tidur dan pikiran yang jernih. Perjalanan kita baru dimulai.”

Mereka menaiki tangga perlahan, satu per satu, meninggalkan udara dingin di bawah dan kembali ke lorong kos yang hangat oleh cahaya lampu temaram. Di atas, hujan sudah reda sepenuhnya. Udara malam terasa segar, kontras dengan lembapnya ruang bawah tanah.

Pocong kucing gembul mengeong pelan, suaranya seperti ucapan selamat datang kembali. Doni mengusap kepalanya. “Besok kita balik lagi, Cong. Tapi untuk sekarang kita pulang dulu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!