Sejak bayi, Eleanor Cromwel diculik dan akhirnya diasuh oleh salah satu keluarga ternama di Kota Olympus. Hidupnya tampak sempurna dengan dua kakak tiri kembar yang selalu menjaganya… sampai tragedi datang.
Ayah tirinya meninggal karena serangan jantung, dan sejak itu, Eleanor tak lagi merasakan kasih sayang dari ibu tiri yang kejam. Namun, di balik dinginnya rumah itu, dua kakak tirinya justru menaruh perhatian yang berbeda.
Perhatian yang bukan sekadar kakak pada adik.
Perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh.
Di antara kasih, luka, dan rahasia, Eleanor harus memilih…
Apakah dia akan tetap menjadi “adik kesayangan” atau menerima cinta terlarang yang ditawarkan oleh salah satu si kembar?
silahkan membaca, dan jangan lupa untuk Like, serta komen pendapat kalian, dan vote kalau kalian suka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Mobil hitam itu melesat menembus jalanan malam Olympus, suara mesin meraung kencang seolah ikut melampiaskan amarah pengemudinya. Dominic menggenggam setir begitu keras sampai buku-buku jarinya memutih. Rahangnya mengeras, pandangan matanya lurus ke depan, nyaris seperti binatang buas yang siap menerkam.
“Gue nggak habis pikir…” gumam Dominic dengan suara berat, napasnya memburu. “Bagaimana bisa Ela hilang di depan mata kita semua? Di tempat kayak gitu, di hotel dengan segitu banyak security?”
Daniel yang duduk di kursi penumpang depan menarik napas dalam, mencoba menahan diri. “Dom, tenang dulu. Panik nggak bakal bawa kita ke mana-mana. Kita harus pakai kepala dingin.”
“Tenang?!” Dominic menoleh sekilas, matanya menyala. “Adik kita dibawa orang, Dan! Lo pikir gue bisa duduk manis sambil bikin strategi bodoh lo?”
Daniel mengepalkan tangannya di pangkuan. Sekuat tenaga ia menahan emosinya, meski suaranya akhirnya pecah juga. “Lo pikir gue nggak panik? Dia juga adik gue, Dom!”
Mobil seakan bergetar bukan cuma karena kecepatannya, tapi juga karena benturan ego dua kakak kembar itu.
Dari kursi belakang, Bella hanya bisa menggenggam erat ujung dress-nya, jantungnya berdegup tak karuan. Dia menatap keduanya bergantian, mulutnya sempat terbuka lalu menutup lagi, takut salah bicara. Tapi akhirnya, suara kecilnya keluar juga.
“Ka-Kak… kalian jangan berantem dulu, dong. Aku… aku takut.”
Kedua pria itu terdiam sepersekian detik. Dominic menghela napas kasar, kembali menatap jalan. Daniel melirik ke kaca spion, melihat Bella yang wajahnya sudah pucat.
Bella menggigit bibir, lalu nekat menambahkan, suaranya bergetar, “Kalau kalian ribut terus, gimana mau nyelamatin Ela? Nanti… nanti malah kalian yang nabrak tiang listrik.”
Seketika suasana jadi canggung. Dominic sempat mendengus pelan, tapi sudut bibirnya terangkat samar, entah menahan tawa atau sekadar melepas ketegangan. Daniel mengusap wajahnya, lalu akhirnya berkata lirih, “Dia ada benernya, Dom.”
Mobil terus melaju, membelah gelapnya malam Olympus, sementara ketegangan di dalam kabin mobil itu belum juga hilang sepenuhnya.
Sementara itu, Di jalan anggrek barat. Rafael melesat di atas motornya, deru knalpot meraung liar menembus pekat malam. Dua sedan hitam tersisa melaju di depannya, bumper ke bumper, seakan melindungi sesuatu yang berharga di dalam. Titik merah di peta jam tangannya masih berkedip, Elanor ada di salah satunya.
Tiba-tiba, mobil yang tadinya di depan melambat, memberi ruang. Sedan kedua kini merapat ke posisi terdepan. Dari kaca depan motor, Rafael bisa melihat jelas, bayangan seseorang di dalam mobil kedua memberi isyarat tangan.
Sekejap kemudian, BRAK! Kaca belakang sedan yang baru menempati posisi terdepan pecah terbuka. Dari dalam, sebuah moncong senjata besar keluar.
Mata Rafael melebar. “Gattling gun? Mati aku~?!”
Suara meraung mesin senjata itu terdengar, lalu—
BRRRRRRRTTTTTTTTTT!!
Hujan peluru memuntahkan api, menyalak liar membelah jalan Olympus. Asap dan percikan besi beterbangan, tiang lampu hancur, kaca toko pecah berkeping-keping. Suara klakson mobil sipil bersahutan, orang-orang menjerit ketakutan dari trotoar.
Rafael mendadak membanting motornya ke kiri, naik ke trotoar. Ban belakangnya menghantam kerikil dan memercikkan api. Satu tiang reklame nyaris tumbang, peluru berdesing melewati telinganya, hanya sejengkal dari kepalanya.
“Aishh, Merepotkan!” desis Rafael di balik helm.
Tangannya meraih Glock 12 yang ia modifikasi, ia membidik cepat sambil tubuhnya miring di atas motor. DOR! DOR! DOR! Tiga peluru melesat, menghantam moncong Gattling. Mesin senjata itu bergetar, tapi tetap menyemburkan peluru tanpa ampun.
Rafael menunduk serendah mungkin, hampir menempel ke tangki motor. Ia pacu gas, motornya meraung liar menembus teror. Setiap kali Gattling berputar, ia menyelinap di antara bayangan bangunan, memanfaatkan setiap sudut kota Olympus sebagai tameng.
Lalu ia melihat celah. Sedan satunya, yang tadi di belakang, kini sedikit membuka jarak, mencoba mengapit dari sisi kanan jalan.
Rafael menggeram. “Kalian kira aku gampang dibungkam?”
Dengan kecepatan gila, ia meluncur ke arah mobil kanan, hampir menyerempet pintunya. Dua pria bersenjata keluar dari jendela, menembaki motor tanpa henti. Rafael menggeser motornya, nyaris meluncur di samping pintu. Dalam sepersekian detik, ia tembak ban depan mobil itu.
BRAK! Ban pecah, sedan oleng liar. Tapi sopirnya terlatih, alih-alih terguling, mobil itu sengaja dibanting ke arah Rafael, mencoba menabraknya!
Refleks Rafael menarik tuas gas, ban belakang motor mendecit panjang, ia menyalip hanya dalam jarak rambut. Sedan itu menabrak trotoar, memercikkan api, hampir menghantam dinding gedung.
Tapi Gattling masih menghujani dari mobil satunya. Jalan depan berubah jadi neraka, percikan api, lubang-lubang peluru, kaca pecah, orang-orang berlarian.
Rafael tak bisa terus bertahan. Ia menekan tombol kecil di helmnya, visor berubah ke mode taktis, menampilkan garis arah tembak. Ia menunggu… menghitung jeda putaran Gattling…
Begitu momen itu datang, ia membanting motor ke samping, meluncur paralel dengan sedan bersenjata itu. Sambil menunduk, ia menembakkan Glock ke arah pengendali senjata.
DOR! DOR!
Salah satu peluru menghantam bahu pria itu. Tubuhnya terpelanting, Gattling terhuyung, peluru berhamburan ke arah langit.
Tak buang waktu, Rafael mengarahkan Glock ke ban belakang sedan itu. BRAK! Ban pecah, sedan itu oleng, dan menghantam median jalan, lalu terguling tiga kali sebelum berhenti dengan ledakan kecil.
Hanya tersisa satu sedan.
Rafael menyalip reruntuhan kaca dan api, motornya melesat dengan kecepatan gila. Napasnya berat, matanya menyipit. Di depan, sedan terakhir itu melaju zigzag, seolah tahu mereka kini jadi satu-satunya perisai terakhir.
Titik merah di peta jam tangannya berkedip makin cepat.
“Elanor… aku datang.”
Sementara itu, di sisi lain kota Olympus, sebuah SUV hitam melaju kencang membelah jalan raya. Dominic yang duduk di belakang kemudi menatap jalan dengan rahang mengeras, matanya tajam penuh bara. Daniel di kursi penumpang depan sibuk menekan ponselnya, mencoba menghubungi orang-orang yang bisa dipercaya, sementara Bella di kursi belakang berpegangan erat pada sabuk pengaman, jantungnya berdegup tak karuan.
Asap tipis dan suara tembakan terdengar samar dari kejauhan. Mula-mula seperti letupan petasan… namun makin lama, makin jelas bahwa itu bukan suara mainan. Lampu jalan bergetar terkena gelombang ledakan kecil, kaca gedung-gedung di sekitar berkilau memantulkan cahaya oranye.
Bella menunduk sedikit, tangannya menutup mulut. “T-Tuhan… itu… suara tembakan, kan?” suaranya bergetar, setengah tak percaya.
Daniel memejamkan mata sejenak, menahan emosi. “Itu bukan hanya baku tembak....”
Dominic menoleh sekilas pada Kakak kembarnya itu, kemudian kembali menatap jalan. Tatapan matanya tajam, bibirnya menyeringai tipis. “Kalau suara itu terdengar dari Jalan Anggrek Barat… berarti kita nggak salah arah.”
Tiba-tiba, di tikungan berikutnya, cahaya kilat memecah malam. Serentetan peluru melesat liar, menghantam dinding dan tiang listrik. Pecahan kaca berhamburan, beberapa peluru bahkan menyalip tepat di depan kap mobil mereka.
Refleks Bella menunduk sambil menjerit, “ASTAGA! Itu hampir kena kita!”
Daniel spontan meraih dashboard, menoleh pada Dominic. “Dom! Jangan ceroboh!”
Tapi Dominic hanya melirik sekilas ke arah Daniel, mata penuh amarah bercampur determinasi. “Kau lihat itu, Dan? Elanor ada di salah satu Mobil itu, dia sendirian di sana. Aku nggak akan diem aja!”
BRAKKK!
Dominic mendadak membanting setir ke kiri, SUV mereka melesat tajam menembus jalur samping, ban berdecit keras meninggalkan jejak hitam di aspal.
“DOMINIC!” teriak Daniel, tubuhnya hampir terbanting ke sisi pintu.
Bella berpegangan erat, wajahnya pucat, tapi di balik ketakutannya, matanya berkaca-kaca. “L-Lakukan apa saja… asalkan kita bisa selamatkan Lala…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar di tengah raungan mesin.
SUV itu meluncur brutal, lampu depannya menembus kegelapan jalan Olympus, langsung menuju titik api dan suara tembakan yang mengguncang malam.
SUV hitam yang dikendarai Dominic meraung ganas di tengah hiruk-pikuk tembakan. Ban mobil berdecit, asap tipis mengepul dari gesekan aspal yang panas. Rafael yang berada di depan melirik ke kaca spion helmnya, dan matanya langsung menyipit.
Awalnya dia mengira SUV itu musuh tambahan. Namun begitu lampu jalan menyinari kaca depannya, dia melihat siluet Daniel yang duduk di kursi penumpang. Sekejap matanya melebar.
“...Apa?!” Rafael hampir tidak percaya. Ditatapnya sekali lagi. Dominic di balik kemudi dengan ekspresi brutal, dan di belakang—Bella yang pucat dengan mata ketakutan.
Rafael menggeram pelan di balik helmnya.
“Aishh… kenapa kalian bisa ada di sini?!”
Ia langsung kembali menatap ke depan, memutar gas motornya lebih kencang lagi, mencoba menjaga jarak. Ini bukan medan untuk mereka.
SUV Dominic tidak mau kalah, melaju tepat di belakang Rafael, mengikuti setiap manuver gila motor itu. Mereka seperti dua panah yang sama-sama ditembakkan, mengejar mobil penculik yang berusaha kabur.
Dentuman tembakan kembali memecah malam Olympus. Dari dalam mobil musuh, kaca belakang pecah, peluru beterbangan liar. Rafael melompat ke trotoar, sementara SUV Dominic nyaris disapu hujan timah panas. Daniel menunduk instingtif, melindungi Bella dengan tubuhnya, sementara Dominic mengumpat kasar sambil tetap menahan setir.
Mereka terus melaju sampai akhirnya tiba di sebuah perempatan besar. Jalan itu terbuka luas, seakan menganga seperti arena pertempuran. Rafael mulai merasa ada yang janggal, matanya berkilat waspada.
Dan benar saja
BRRUUUUUMMM!
Dua SUV lain mendadak muncul dari kiri dan kanan, menutup jalan.
Atap mobil itu terbuka, dan dua orang berpakaian hitam muncul dengan RPG di bahunya. Rafael sontak melotot, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Seriusan?! RPG di tengah kota?!”
Salah satu pria menarik pelatuknya
BOOOOMMM!!!
Satu proyektil roket melesat lurus ke arah Rafael.
Refleks, Rafael menekan rem keras-keras lalu melompat dari motornya.
DUARRR!
Motor itu hancur berkeping-keping diterjang ledakan, api membumbung tinggi, pecahan logam beterbangan di udara. Rafael berguling di aspal, lalu bangkit kembali, Glock modifikasinya sudah di tangan.
“Dorr! Dorr! Dorr!”
Pelurunya menyalak ganas, tapi semua hanya beradu dengan bodi baja SUV yang dipasangi pelat tambahan.
Belum sempat Rafael menarik napas, RPG kedua sudah ditembakkan
Dan kali ini, sasarannya bukan dirinya.
Itu mengarah tepat pada SUV Dominic.
“DOM!!” Daniel berteriak panik.
Bella hanya bisa menjerit histeris, “AAAAHHH!!”
Semua terjadi terlalu cepat. Dominic yang tadinya mengumpat, kini matanya membelalak, insting pengemudi liarnya mengambil alih.
“PEGANGAN!!!”
BRAKKKK!
Setir diputar keras ke kanan, ban berdecit liar, SUV mereka menghantam tiang reklame besar di pinggir jalan. Benturan itu begitu keras hingga tubuh mereka semua terhempas ke depan, tapi sabuk pengaman menyelamatkan mereka dari remuk seketika.
BOOOOOMMM!!!
Proyektil RPG meledak, menghantam salah satu mobil musuh di belakang mereka. Ledakannya menggetarkan seluruh perempatan, api membara menjilat langit malam. Shockwave dahsyat merambat ke segala arah, menghantam SUV Dominic seperti palu raksasa.
SUV itu berguncang hebat, kaca depan retak, alarm mobil berteriak nyaring. Bella menutup telinganya, tubuhnya gemetar hebat, air mata membanjiri pipinya. “T-tidak… gue belum mauu matiiiii…!”
Dominic memukul-mukul setirnya, wajahnya merah padam penuh amarah.
“KEPARAT! ARGHHHHH!”
Daniel menarik napas panjang, menahan rasa sakit di dadanya akibat benturan. Ia menoleh ke arah Dominic dengan rahang mengeras. “Dom… tenang. Kita belum kalah. Selama Ela masih di tangan mereka, kita tidak boleh berhenti.”
Dominic menatap Kakak kembarnya itu, nafasnya memburu, lalu mengalihkan pandang ke Bella yang masih terisak. Di balik amarahnya, ada rasa bersalah yang menusuk. Tapi tak ada waktu untuk penyesalan.
Di kejauhan, suara sirine polisi mulai terdengar, bercampur dengan jeritan warga yang panik. Api masih berkobar dari mobil musuh yang hancur. Namun di tengah kekacauan itu… mobil SUV penculik yang membawa Elanor sudah menghilang ke kegelapan malam.
mirip kisah seseorang teman ku
air mata ku 😭