NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:384
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jodoh dari Tuhan

Waktu melesat begitu cepat. Hari yang dinantikan Raffi pun tiba. Hari ini, ia resmi menikahi Ika. Menjadikan Ika sebagai pasangan hidup untuk selamanya.

Raut wajah bahagia terlihat tak hanya dari kedua pengantin yang duduk bersanding di pelaminan, tapi juga dari para keluarga dan tamu undangan yang hadir. Tidak lupa juga dari warga yang bahu membahu memenuhi konsumsi untuk semua orang yang hadir. Meski raut lelah terlihat, tapi tak bisa melunturkan senyum bahagia dari semua orang.

Acara akad nikah sudah diselenggarakan pagi tadi. Kini, kedua pengantin tengah melangsungkan resepsi. Ritual adat setempat pun diusung keduanya atas permintaan orang tua masing-masing.

Raffi terus melirik istrinya yang duduk di sebelah. Senyumnya lebar. Ika sangat cantik dengan busana pernikahan adat setempat. Wajahnya bersinar. Kulitnya putih bersih. Raffi menggeleng takjub. Tak menyangka bahwa ia bisa bersanding, mengikat janji suci dengan gadis tercantik di kampung mereka. Sang bunga desa. Jodoh memang misteri. Siapa sangka ia bisa menikahi sang kembang desa.

Hari beranjak petang. Serangkaian proses pernikahan telah rampung. Tapi, rumah Ika masih ramai oleh para kerabat dekat maupun jauh. Para tetangga sudah pamit setelah rombongan keluarga pengantin pria pulang. Tugas mereka sudah selesai. Acara berlangsung lancar tanpa gangguan.

“Cantik.”

Ika menoleh, tersipu. “Udah berapa kali Mas bilang gitu?”

Raffi tersenyum. “Entahlah. Nggak ingat. Tapi, aku akan selalu bilang gitu karena kamu emang cantik.”

Salah satu keluarga Ika berdehem, tak sengaja mendengar ucapan Raffi. Ika dan Raffi tersenyum tipis. Mereka sedang makan malam bersama keluarga besar Ika.

Begitu semua makanan di atas meja tandas, satu per satu keluarga meninggalkan tempat. Ada yang melanjutkan obrolan di luar, ada yang langsung ke kamar.

“Aku ke kamar duluan ya. Aku capek banget.” Ika berbisik saat Raffi hendak keluar, merokok sebentar katanya.

Raffi mengangguk. “Iya, Sayang.”

Ika masuk ke dalam kamar setelah berpamitan dengan yang lain. Tubuhnya sangat lelah setelah berdiri beberapa jam untuk menyalami para tamu. Tapi kebahagiaan yang ia rasakan tak bisa terkatakan.

Ika mengganti bajunya dengan baju tidur lalu merebahkan diri di atas kasur. Saking lelahnya, baru menyentuh bantal, mata Ika terpejam.

Pintu kamar terbuka. Ika membuka matanya perlahan.

“Eh, kebangun ya?” Raffi menghampiri Ika yang sudah duduk bersandar.

Ika menguap sekali. “Aku ketiduran, Mas. Maaf ya.”

Raffi duduk di sisi ranjang, mengusap jemari Ika. “Maaf kenapa?”

“Harusnya aku nungguin kamu. Eh malah ketiduran.”

Raffi menatap lembut wajah Ika yang terlihat lelah. “Kenapa nungguin aku? Kalau mau tidur ya tidur aja nggak papa. Aku ngerti kamu capek seharian ini.”

Ika menggeleng. “Tapi capeknya nggak sebanding sama kebahagiaannya.”

Raffi mengangguk. “Rasa bahagiaku lebih besar dari rasa bahagiamu, Sayang. Akulah yang paling berbahagia di hari ini.”

Raffi berdiri. “Aku ganti baju dulu ya.”

Ika mengangguk. Ia memandangi Raffi.

“Eh, mau ganti baju di sini, Mas?” Ika bertanya gugup.

Raffi menoleh. “Iya. Emang kenapa? Kita ‘kan udah suami istri. Halal kok kalau mau lihat-lihatan.”

Ika menunduk, menyembunyikan rona merah yang pasti muncul di pipinya setiap kali ia merasa malu. Raffi terkekeh. Bergegas mengganti baju dan celana yang nyaman.

“Mas punya mantan pacar berapa?” Ika bertanya setelah Raffi duduk di atas ranjang, memeluk bahunya.

“Kok tiba-tiba banget tanya mantan?”

“Penasaran aja. Habisnya kamu nggak pernah cerita.”

Raffi mengelus bahu Ika dengan lembut. “Punya satu doang.”

“Kenapa putus?”

Raffi menoleh. “Kalau nggak putus, nggak mungkin aku sama kamu di atas kasur sekarang, Sayang.”

Ika mencubit lengan Raffi.

“Yang lalu biarlah berlalu. Aku nggak mau bahas masa lalu yang kelam itu. Yang terpenting sekarang adalah kita dan masa depan kita. Bukan maksudku menutupi, hanya saja itu nggak penting.”

“Tapi, dia udah nikah belum?” Ika mendongak, menatap wajah Raffi.

“Sudah,” angguk Raffi. “Udah punya anak lagi. Jadi, nggak usah dibahas ya.”

“Aku cuma takut aja kalau nanti mantan kamu tiba-tiba datang bilang masih sayang kamu terus kamu tergoda deh.”

Raffi terkekeh. “Nggak akan. Cerita tentang dia udah ku tutup selamanya. Aku jamin itu.”

Ika merapatkan tubuhnya, mencari kenyamanan di dada bidang suaminya. Raffi mendesis lirih. Nafsunya terpancing. Apalagi mereka sudah sah menjadi suami istri.

“Sayang.”

“Hmm.”

“Kamu capek nggak?”

“Kenapa? Mau nyuruh mijitin? Tapi maaf, aku nggak bisa mijit.” Ika terus bergerak memeluk Raffi dari samping.

“Kok jantung kamu kencang banget debarannya?” Ika mendongak, menatap mata Raffi.

Raffi menunduk. Ia mengecup kening Ika lembut dan berbisik pelan,” Aku mau kamu.”

Ika terdiam, melongo, masih menatap Raffi.

Raffi mendekatkan bibir mereka. Lembut, pelan, dan penuh kasih. Ika yang awalnya terkejut, mulai membalas kaku. Ia sudah dewasa untuk mengerti apa yang diinginkan Raffi saat ini.

Maka, malam ini, mereka menyatu dalam ikatan halal. Ikatan pernikahan yang terjalin karena cinta dan ingin hidup bersama sampai akhir hayat.

Jodoh yang mereka dapatkan dari Sang Pencipta. Jodoh yang bertemu karena memang sudah waktunya bertemu. Bukan jodoh jalur orang dalam.

***

“Sayang, makan malam di luar yuk. Kayaknya udah lama banget kita nggak jalan-jalan.”

Nira menoleh, menatap Riki. “Tumben.”

“Kamu nggak mau ya?”

“Eum, aku lagi capek banget sih.”

Riki menghampiri Nira yang sedang membuatkan susu untuk Arsa.

“Kalau gitu makan di rumah aja deh. Kamu mau aku beliin makan apa? Bilang aja.”

Nira menutup botol susu Arsa. “Emang kamu mau gendong Arsa? Jujur, aku capek banget kalau harus makan di luar sambil gendong Arsa.”

Riki mengangguk. “Nggak papa. Arsa biar aku yang gendong. Berarti mau ‘kan?”

Nira menimbang sesaat, lalu mengangguk. “Boleh. Tapi pakai uang kamu ‘kan?” Nira bertanya curiga, karena sudah terlalu sering mereka makan bersama dan Nira yang harus mengeluarkan uang.

Bukan pelit, hanya saja, Riki ‘kan seorang pria. Harusnya dia yang ngajak, dia juga yang bayarin. Harus tanggung jawab.

Riki mencubit gemas pipi Nira. “Iya, Sayang. Kamu mau makan apa aja, aku yang bayar semua. Anggap saja sebagai perayaan karena aku sudah bekerja lagi.”

“Ya udah. Aku siap-siap dulu.”

Riki mengangguk. Ia juga bersiap-siap. Sepuluh menit kemudian, Nira keluar dari kamarnya dengan menggendong Arsa. Riki menatapnya tanpa berkedip. Ia berpikir sudah berapa lama tak melihat Nira dengan pakaian casualnya dan make up yang cukup mempesona.

“Ayo,” ajak Nira memutus tatapan penuh pesona Riki.

Riki tersenyum hangat. Mendekat dan mengulurkan tangan, meminta Arsa dipindah ke gendongannya.

“Kamu cantik banget, Sayang. Apa dibatalin aja ya biar nggak ada pria lain yang lihat kamu secantik ini,” bisik Riki di telinga Nira.

“Baru sadar kalau aku cantik? Atau menolak sadar?” sindir Nira berjalan lebih dulu.

Riki menghela napas. Walau Nira masih sedikit acuh, setidaknya ia tak mengabaikannya. Itu sudah cukup.

Riki melajukan mobilnya menuju taman kota. Tempat itu sudah ramai. Ada yang membawa anak kecil-sama seperti mereka, sepertinya rombongan keluarga. Ada juga muda mudi yang mungkin sedang menikmati romansa di taman kota. Dan lebih banyak lagi pedagang kaki lima di sekitaran taman.

“Mau keliling apa makan dulu?” tanya Riki setelah mereka memasuki tengah taman.

“Makan dulu aja deh. Kita belum sempat makan,” jawab Nira sambil mengedarkan pandangan, mencari makanan apa yang mungkin bisa memuaskan rasa laparnya.

“Oke. Ke sana, mau?” Riki menunjuk salah satu pedagang kaki lima yang menjual makanan seafood.

Nira tersenyum, mengangguk. “Boleh.”

Mereka berjalan bersisian menuju warung tenda seafood dengan Arsa digendongan Riki. Arsa beberapa kali mengerjapkan mata. Mungkin ia bingung berada di tempat asing.

“Kamu duduk sini aja. Biar aku yang pesan,” ucap Riki begitu masuk ke dalam warung tenda.

Nira mengangguk dan memilih tempat duduk lesehan agar nyaman. Apalagi mereka membawa Arsa.

Tak lama kemudian, Riki duduk di sebelah Nira dengan Arsa di pangkuan. Arsa terus mengerjapkan mata, melihat sekelilingnya.

“Arsa lagi heran ini. Dia mungkin bertanya-tanya lagi dimana,” ucap Riki memperhatikan Arsa yang menggemaskan.

“Ini pertama kalinya dia keluar dari rumah. Kemarin-kemarin ‘kan di rumah terus,” sahut Nira menggoda Arsa. Arsa tertawa, tahu jika Ibunya tengah menggodanya.

“Maaf ya. Aku nggak peka jadi suami dan seorang ayah. Seharusnya minimal seminggu sekali, kita jalan-jalan bareng. Biar Arsa lihat keadaan di luar rumah. Tapi, aku malah terus ngajak kamu bertengkar. Maaf, aku udah cemburu berlebihan sama kamu dan Fauzan.” Riki menatap Nira lembut.

Nira memalingkan wajah. Enggan bertatapan dengan Riki.

“Aku harap setelah ini hubungan kita membaik kayak dulu lagi ya, Ra. Aku tahu aku salah. Udah nyakitin kamu. Tapi, aku nggak mau pisah sama kamu.”

Nira menoleh, menaikkan satu alisnya. “Berpisah?”

Riki mengangguk. “Kamu diam. Acuh. Kamu juga nggak nglawan. Aku justru takut dibalik diammu itu, kamu ingin pisah sama aku.”

Nira terdiam. Makanan mereka datang. Mata Nira berbinar saat melihat satu menu kesukaannya. Tapi, selanjutnya ia menatap Riki yang sedang asyik bermain dengan Arsa.

‘Kamu masih ingat makanan kesukaanku. Kamu juga terkadang bersikap lembut. Sikapmu membuatku bingung, Rik.’

‘Tapi enggak. Aku nggak bisa memberimu kesempatan berulang kali kalau tiap kamu marah, kamu nggak dengerin aku, dan ngasarin aku.’

‘Maaf, Rik. Setelah aku melahirkan, aku akan mengurus surat cerai kita walau kamu nggak setuju.’

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!