Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Bawah Langit Menunggu Jawaban
Pagi itu, hujan turun rintik-rintik, membasahi kaca besar ruang keluarga. Lana berdiri di dekat jendela, memandangi jalan yang basah, sementara aroma kopi menyebar dari dapur. Leon duduk di sofa dengan Arya di pangkuannya, membacakan buku cerita dengan suara yang tenang, nyaris berbisik.
"Ayah, kenapa tokohnya nggak takut masuk ke dalam hutan?" tanya Arya, menunjuk gambar di halaman.
Leon tersenyum tipis. "Karena dia percaya, di balik hutan yang gelap, ada cahaya yang menunggu nya. Sama seperti kita."
Arya mengangguk, meski matanya belum sepenuhnya mengerti. Lana memutar tubuhnya, memperhatikan pemandangan itu, suaminya yang biasanya dingin di rapat bisnis, kini begitu hangat di hadapan anak mereka. Sebuah kontras yang membuat dadanya sesak.
"Kamu tahu nggak, Leon?" Lana bersuara pelan. "Itu pertama kalinya aku lihat kamu baca buku anak tanpa terganggu sama suara telepon."
Leon mengangkat wajahnya. "Kalau dunia di luar mau runtuh, biarlah. Untuk Arya, aku mau dunia berhenti sebentar."
Kata-kata itu memukul sesuatu di hati Lana. Ia berjalan mendekat, duduk di sebelah mereka, lalu memeluk keduanya. Ada rasa aman di sana, tapi juga rasa takut yang tak mau hilang, takut momen seperti ini bisa direbut kapan saja.
Setelah sarapan, Leon mengajak mereka berjalan ke taman atap gedung apartemen. Langit masih mendung, tapi udara segar menghapus sisa-sisa kantuk. Arya berlari kecil, mengitari pot-pot besar berisi pohon lemon. Lana dan Leon berjalan pelan, tangan mereka saling bertaut.
"Kamu kelihatan capek," kata Lana.
"Memang," jawab Leon jujur. "Kepala ku penuh dengan rencana, tapi hatiku penuh dengan kekhawatiran."
"Kalau soal flashdisk itu, kita bisa periksa pelan-pelan. Nggak harus hari ini."
Leon menatapnya. "Bukan cuma itu. Aku khawatir kalau mereka tahu kamu dan Arya ada di sini. Mereka nggak akan segan-segan pakai cara kotor."
Lana meremas tangannya lebih erat. "Kamu pikir aku nggak takut? Tapi kalau kita cuma bersembunyi, kita cuma menunggu giliran."
Mereka berhenti di tepi pagar kaca, memandang kota yang berkabut. Leon menghela napas panjang. "Kalau semua ini selesai, aku mau kita pindah. Jauh dari sini."
Lana tersenyum pahit. "Kita udah sering ngomongin itu. Tapi kayaknya kota ini nggak mau melepaskan kita."
Arya kembali berlari mendekat, wajahnya merah karena udara dingin. "Mama, Ayah, ayo lihat! Ada burung di pohon itu, lihat!" kata Arya sambil menunjuk pohon mangga di sudut taman itu.
Leon mengangkat Arya, membiarkan anak itu menunjuk burung pipit yang bertengger. Lana mengambil ponsel, mengabadikan momen itu. Tapi di dalam pikirannya, ada bayangan, suara tembakan di galeri, wajah Adrian yang tegang, dan pesan yang belum sempat terjawab.
Siang harinya, Lana memutuskan untuk memasak makan siang sendiri. Leon membantu, meski bantuan itu lebih banyak berupa mencuri potongan wortel untuk dimakan mentah-mentah.
"Kamu ingat waktu awal nikah, masakan kamu gosong semua?" Leon menggoda.
Lana melirik tajam. "Itu karena kamu yang gangguin aku di dapur."
Leon tertawa rendah. "Dan sekarang, aku masih gangguin. Bedanya, kamu udah lebih jago."
Arya duduk di meja makan, menggambar dengan krayon. Goresan warna-warni memenuhi kertas, gambar rumah, matahari, dan tiga sosok yang saling berpegangan tangan.
"Ini kita," kata Arya, menunjuk gambar itu. "Mama, Ayah, dan Arya."
Lana tersenyum. "Cantik sekali. Tapi kenapa di belakang kita ada warna hitam?"
Arya menatap gambarnya, lalu berkata polos, "Itu awan besar. Tapi nggak apa-apa, kan? Soalnya kita di bawahnya tetap pegang tangan."
Leon dan Lana saling berpandangan. Jawaban sederhana itu, entah kenapa, membuat keduanya terdiam lebih lama dari seharusnya.
Sore hari, Lana dan Leon duduk di balkon, sementara Arya tidur siang. Angin membawa aroma hujan yang baru saja berhenti.
"Kamu nggak cerita soal Adrian setelah kita pulang," kata Leon, memecah keheningan.
Lana menatap langit. "Dia kelihatan takut. Dan aku yakin dia nggak bohong. Tapi aku juga yakin dia masih menyembunyikan sesuatu."
"Dia bilang siapa pengkhianatnya?"
"Belum sempat. Tembakan datang lebih dulu."
Leon mengetuk-ngetuk pagar balkon dengan jarinya, pikirannya jelas berputar cepat. "Aku mau kita periksa flashdisk itu malam ini. Tapi kita lakukan bertiga, kamu, aku, dan Dika. Nggak ada yang lain."
Lana mengangguk. "Aku setuju."
Hening sebentar, lalu Lana bersandar ke bahunya. "Leon, kalau suatu saat semua ini berakhir buruk..."
"Jangan," potong Leon cepat. "Kita nggak usah bicara tentang akhir yang buruk."
"Aku cuma mau bilang... kalau kamu harus memilih, pilihlah yang bikin Arya tetap punya masa depan."
Leon memejamkan mata. "Dan itu berarti aku harus memilih kita bertiga. Tidak ada pilihan lain."
Malam datang cepat. Setelah Arya tertidur lagi, Lana dan Leon masuk ke ruang kerja. Dika sudah menunggu dengan laptop dan sistem isolasi offline.
Saat flashdisk itu dipasang, ratusan folder kembali muncul di layar. Leon langsung memfilter berdasarkan tanggal terbaru.
"Ada folder bernama 'ARCADIA'," kata Dika, menunjuk layar.
Leon membukanya. Di dalamnya ada daftar transaksi besar, nama-nama perusahaan cangkang, dan foto-foto gedung tak dikenal.
Lana memperhatikan satu foto yang terlihat seperti rumah sakit tua. "Ini di pinggiran kota. Aku pernah lewat situ waktu kecil."
Dika menggulir lebih jauh. Lalu ia berhenti di sebuah dokumen yang membuat mereka bertiga terdiam.
Judulnya: 'Proyek Orion - Tahap 2'
Isi dokumen itu adalah rencana ekspansi proyek rahasia Titan yang memanfaatkan lahan rumah sakit tua untuk operasi ilegal. Di bagian bawah, ada tanda tangan digital... dan nama seseorang yang tak mereka duga.
Lana menutup mulutnya. "Tidak mungkin..."
Leon memandang layar, matanya mengeras. "Kalau ini benar, berarti dia selama ini ada di pihak mereka."
Dika menelan ludah. "Kita harus berhati-hati. Dia punya akses ke banyak hal."
Lana mengangguk, tapi di dadanya ada rasa dingin yang menjalar. Karena nama itu bukan sekadar orang penting di Titan, itu adalah seseorang yang pernah makan di meja makan mereka.
Lana masuk ke kamar, mendapati Arya sudah bangun dan duduk di ranjang, memeluk bonekanya.
"Mama, aku mimpi buruk," kata Arya pelan.
Lana duduk di sampingnya, membelai rambut anaknya. "Tentang apa?"
"Ada orang asing mau bawa aku pergi. Tapi Ayah datang. Dia marah sekali."
Lana menarik napas, lalu memeluk Arya erat. "Itu cuma mimpi, sayang. Ayah dan Mama selalu di sini."
Di pintu, Leon berdiri diam, mendengar percakapan itu. Saat Lana menoleh, ia masuk dan duduk di sisi lain ranjang, memeluk mereka berdua.
"Arya, kalau ada yang aneh, kamu bilang sama Mama atau Ayah ya?" katanya lembut.
Arya mengangguk, matanya mulai terpejam lagi. Leon dan Lana tetap duduk di sana, menunggu napas anak mereka kembali teratur.
Di luar, hujan kembali turun.
Di dalam, ada kehangatan yang rapuh, tapi nyata.
Dan di balik semua itu, ancaman tetap menggantung, seperti awan besar di gambar Arya, menunggu saatnya untuk kembali menurunkan badai.
Jangan lupa dukungan nya ya🙏🥰🥰