NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ciuman Kedua, Lalu Ketiga....

Rania berdiri mematung di depan gedung tinggi itu.

Angin siang berembus pelan, tapi dadanya seperti dicekik. Kata-kata sopir tadi berulang-ulang terputar di kepalanya.

                 Jadi… selama ini, dia?

                Semua itu… dia?

Sosok yang diam-diam mengulurkan tangan, tidak pernah bicara, tidak pernah meminta balasan.

Dan selama ini ia hanya diam. Tak membicarakan jasa. Tak mengungkit perbuatan.

Ada sesuatu yang pecah di dada Rania. Campuran syukur, haru, dan marah pada diri sendiri yang tak mencari tahu lebih dalam.

Ingin sekali ia menatap matanya. Mengucapkan terima kasih.

Bukan lewat kata-kata… tapi lewat cara lain. Cara yang lebih jujur.

Pandangan Rania menangkap deretan kaca gedung di seberang jalan.

Mall.

Ia menatap mobil hitam yang parkir tak jauh darinya. Sopir itu masih di bangku, sibuk dengan catatannya.

Rania lalu menarik napas panjang.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Rania ingin terlihat pantas.

Melewati jembatan penyebrangan, kaki Rania melangkah menuju mall besar di seberang kantor. Mall yang sudah bertahun - tahun tak ia pijak.

Mall itu terasa dingin, kontras dengan panas di luar.

Rania masuk dengan langkah ragu, tapi matanya tajam. Langsung menuju ke lantai kosmetik.

Bedak. Lipstik. Sedikit parfum. Ia membeli semuanya.

Tidak banyak, tidak mahal. Tapi cukup membuat wajah letihnya sedikit segar.

Ia berdiri lama di depan cermin toko. Wajahnya sendiri memandang balik, ragu. Tapi kemudian ia memoles tipis bibirnya, membiarkan aroma wangi lembut mengusap kulit.

Rania kemudian turun ke lantai pakaian. Melewati deretan gaun pesta. Masuk ke koridor baju formal, Ia memilih blus sederhana berwarna krem lembut dan celana bahan yang jatuh rapi. Elegan.

Selesai proses pembayaran. Ia bergerak cepat menuju toilet di ujung lorong.

Toilet mall yang masih sepi itu menjadi ruang ganti pribadinya.

Di sana, ia mengganti pakaiannya, menyisir rambut, mengikatnya setengah ke belakang. Wajahnya ia poles dengan kosmetik yang ia beli, tak berlebihan... tapi bisa mengembalikan wajah cantik Rania

Ia menatap cermin sekali lagi. Ada sedikit gemetar di tangan.

Bukan karena takut.

Tapi karena tekad yang mulai memenuhi dadanya. Hari ini ia tidak akan diam lagi. Tidak akan.

Keluar dari mall, ia menyebrang jalan. Langkahnya mantap.

Tidak ada lagi ragu.

Di lobi, resepsionis yang biasanya mengarahkan tamu terkejut ketika melihat Rania berjalan lurus menuju lift eksekutif.

        “Bu, maaf, harus ada janji dulu..."

Rania hanya menoleh sebentar. “Saya harus bertemu Pak Askara, penting.”

Resepsionis tampak ragu, namun tidak sempat menahan. Rania masuk lift yang membawanya ke lantai atas.

Lantai eksekutif.

Sampai di sana, Dion yang pertama melihatnya keluar lift.

       “Bu Rania?!” Dion mendekat cepat, terkejut. “Seharusnya ibu memberitahu dulu, Bapak sedang... ”

       “Saya harus bicara sekarang dengan beliau,” potong Rania. Suaranya tenang tapi matanya menyala.

Dion berdiri di tempatnya, menimbang. Ada sesuatu di sorot mata Rania yang membuatnya mundur selangkah.

       “Baiklah. Tapi hanya sebentar.”

Ia mengetuk pintu ruang kerja. Dari dalam terdengar suara rendah:

        “Masuk.”

Dion mempersilakan. “Silakan, Bu.”

Rania menarik napas dalam, lalu melangkah masuk.

Ruangan itu dingin. Bau kopi dan kayu mahal bercampur dengan wangi parfum yang sangat ia kenal.

Askara berdiri di balik meja, baru saja selesai menandatangani beberapa dokumen. Pandangannya langsung jatuh pada Rania.

       “Rania?” suaranya rendah, dalam. Tampak sedikit terkejut.

Pintu menutup pelan di belakang. Hening sejenak.

Tidak ada lagi kata-kata pembuka. Tidak ada basa-basi.

Ruangan itu sepi.

Detik pertama, yang terdengar hanya suara detak jam dinding.

Askara berdiri tegak di depan meja kerjanya. Setelan jas hitam pekat, kemeja biru tua yang membuat kulitnya tampak lebih dingin. Tangannya masih memegang pena, tapi matanya… matanya langsung terkunci pada Rania. Pada tampilan barunya.

       “Kamu cantik." suaranya rendah. Datar. Tidak juga ramah. Lebih seperti seseorang yang mencoba menahan sesuatu di balik nada suaranya.

Wanita itu berhenti dua langkah dari meja.

Ia sadar wajahnya merah. Napasnya pun cepat. Tapi kali ini, ia tidak mau mundur.

        “Aku… ingin bicara,” ucap Rania, pelan, hampir berbisik. Tapi suaranya jelas.

Askara tidak segera menjawab. Ia hanya meletakkan penanya, menyandarkan tubuh pada meja.

      “Aku mendengarkan.”

Butuh waktu beberapa detik bagi Rania untuk merangkai kalimat.

Banyak yang ingin ia ucapkan. Tentang rasa terima kasih. Tentang marah pada dirinya sendiri karena selama ini buta pada siapa yang menolongnya. Tentang rasa rindu yang tidak pernah ia akui.

      “Tadi… aku bertemu sopir kamu,” suaranya pelan, hati-hati.

      “Dia bilang… semua bantuan yang datang tiba-tiba itu… kamu yang lakukan.”

Tidak ada gerakan dari Askara. Tatapannya hanya lebih tajam.

      “Kenapa?” Rania melanjutkan. “Kenapa nggak pernah cerita?"

Askara menghela napas.

       “Kalau aku cerita,” ucapnya perlahan, “kamu akan menerima bantuanku lagi?”

Rania terdiam. Lidahnya kelu. Karena ia tahu jawabannya.

      “Aku…” Rania mencoba berbicara lagi, suaranya bergetar. “Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku tidak bisa balas apa-apa. Bahkan untuk berterima kasih pun aku tidak pernah punya keberanian.”

      “Kamu tidak perlu balas apa pun,” balas Askara pelan. “Aku hanya… ingin kamu baik-baik saja.”

Kalimat sederhana itu membuat dada Rania sesak.

Sunyi kembali jatuh.

Rania menunduk, menggenggam ujung jarinya sendiri. Ada begitu banyak hal yang ingin ia keluarkan. Tentang rasa kehilangan harga diri. Tentang betapa ia merasa rendah setiap hari di rumah. Tentang bagaimana, diam-diam, pria di depannya ini menjadi satu-satunya alasan ia masih bisa bangun pagi.

Dan sebelum otaknya sempat memproses, tubuhnya sudah bergerak.

Ia mendekat.

Satu langkah.

Dua langkah.

Hingga jarak mereka hanya tinggal satu hembusan napas.

Askara tidak bergeser. Ia hanya menatapnya. Dalam. Dalam sekali, sampai Rania tidak bisa berpikir jernih lagi.

      “Rania,” suara itu terdengar berat. “Apa yang kamu... ”

Rania mengangkat wajah.

      “Aku cuma mau satu hal,” bisiknya. “Sekali ini saja. Biar aku yang memulai.”

Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, ia berjinjit. Tangannya yang dingin menyentuh rahang Askara. Lalu bibirnya menyambar bibir pria itu.

Awalnya ragu. Ringan.

Seperti mencicipi sesuatu yang terlalu berharga. Mahal. Tapi kemudian, tubuhnya gemetar. Bibirnya menekan sedikit lebih lama, lebih jujur. Menyecap manisnya bibir pria itu.

Askara, untuk beberapa detik, tidak bergerak. Tapi raut dinginnya sejak tadi runtuh.

Pria itu menarik napas dalam..

Tangan dingin Rania yang masih menempel di wajahnya digenggam erat, lalu ia membalas. Menyecap bibir Rania, mengulumnya pelan.

Lalu...

Ciuman itu mulai berubah.

Semakin hangat, semakin cepat… tapi sarat pengekangan. Ada sesuatu yang seolah ingin meledak, tapi harus tertahan. Napas mereka beradu, terlalu dekat.

Suara kecupan dan napas tertahan berlomba.

Sampai akhirnya, suara ketukan pintu mengagetkan.

       “Pak,” suara Dion dari luar. “Ada dokumen urgent... "

Askara pelan melepas ciuman. Keningnya masih bersandar pada kening Rania, napasnya berat.

          “Pulanglah dulu,” bisiknya. “Sebelum aku benar-benar hilang kendali.”

Rania mundur satu langkah. Wajahnya panas. Tangannya gemetar.

Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik, membuka pintu, melewati Dion yang menatap bingung.

Dan di dalam ruangan, Askara berdiri diam. Matanya tertutup, bibirnya masih terasa panas.

...****************...

Rania berjalan cepat, hampir lari kecil di koridor panjang lantai atas. Jantungnya berdetak tidak karuan, wajahnya panas.

Tadi di ruangan itu ia sudah terlalu berani. Terlalu nekat.

Ia harus segera keluar sebelum semua ini benar-benar gila.

Lift di ujung lorong terbuka. Kosong.

Syukurlah, batinnya.

Begitu pintu menutup, ia menyandarkan kepala ke dinding. Napasnya berat.

            “Ya Tuhan…” bisiknya lirih. Jemarinya masih gemetar, bibirnya pun masih sedikit kebas. Meski bukan yang pertama, tapi getarannya tetap terasa.

Tiba-tiba lift berguncang sedikit, pintunya terbuka kembali.

Langkah berat seseorang masuk. Wangi parfum itu menyergap seketika.

Rania menoleh... dan dunianya seolah berhenti.

Askara.

Tanpa Dion. Tanpa siapapun.

Pria itu tidak berkata apa-apa.

Ia menekan tombol ‘close’, membiarkan pintu lift menutup kembali. Hening.

Rania menunduk gugup, hendak mundur ke pojok.

Tetapi tangan Askara bergerak cepat, menarik pergelangan tangannya.

Tubuhnya ditarik ke dada pria itu.

Sebelum ia sempat bersuara, bibir Askara sudah menutup bibirnya.

Tidak ada keraguan kali ini.

Tidak ada batas.

Ciuman itu panas, dalam, rakus.

Bibir mereka bertubrukan, lidahnya masuk, menyapu dengan penuh hasrat. Napas Rania terengap, tubuhnya tersandar di dinding lift, sedangkan tubuh Askara menekan mendekat, memenjarakannya.

Suara napas mereka memenuhi ruang sempit itu.

Hanya suara itu.

Askara turun ke lehernya.

Menciumi kulit tipis di bawah telinga, meninggalkan basah hangat yang membuat lutut Rania lemas.

Tangannya menahan pinggang wanita itu, keras.

Sampai ia merasa detak jantung mereka berpacu dalam satu ritme.

            “Askara…” Rania berbisik tertahan, nyaris tanpa tenaga.

         “Diam,” balasnya, suara rendah, nyaris geraman.

Lift berbunyi. Pintu mulai terbuka.

Askara berhenti tepat di bibirnya lagi.

Satu kecupan terakhir.... cepat, tapi membakar.

Lalu, dengan napas yang masih kasar, ia berbisik di telinga Rania.

          “Sampai bertemu di ruanganmu,” bisiknya serak.

Pria itu keluar duluan. Dingin. Tegak.

Seolah tidak ada yang terjadi.

Rania bersandar di dinding lift, menutup wajah dengan kedua tangannya.

Tangannya bergetar, bibirnya panas.

Dadanya seperti ingin pecah.

Satu kalimat berputar di kepalanya:

Aku benar-benar gila…

(Bersambung)....

(Halo dear all readers, Bagi yang sudah sampai ke episode ini mohon membaca ulang episode 22 ya (Suami Sialan dan Bantuan Diam - Diam) .. Ada sedikit perbaikan agar alur ceritanya nyambung. Dan jangan lupa like, comment, saran, atau kritik untuk author ya... Terima kasih).

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!