Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. biar waktu habis bersama
Kilau matahari kian menengah menjelang puncaknya, sinar terang jatuh menyinari bumi, menghangatkan hati yang kian terbelenggu.
Mahesa dan Nara masih sama-sama terdiam selepas pernyataan panjang tadi, Nara yang masih meragu, sedang Mahesa yang mencoba merayu.
Dering ponsel Nara menghantarkan getar, pelan Nara kembali meletakkan ponsel itu lagi ke tempat semula begitu nama yang tak ia harapkan muncul.
Mahesa melirik sebentar, membaca siapa gerangan yang mengganggu Nara kekasihnya saat ini, “kenapa nggak di jawab Ra?”
Nara melirik sebentar raut wajahnya menekuk, menghembuskan nafasnya sedikit panjang, “untuk apa?” Bukan menjawab, Nara kembali mengajukan pertanyaan.
Mahesa menarik sudut bibirnya, “angkat, kita lihat permainan suami mu, seolah-olah kamu belum mengetahui apapun.” Suruhnya, mengambil ponsel Nara dan menarik panel hijau ke atas, tanda panggilan diterima.
Begitu sambungan terjawab, suara Rama menggema, > “Halo, bagaimana Aiden? Apa sudah sehat?”
> “Yaa..”
Mahesa berbisik ditelinga Nara, “jaga nada bicara mu sayang, jangan terlalu dingin.” Suruhnya pelan.
> “Kemana sekarang anak kesayangan ku?”
> “Dia masih tidur siang Mas.” Balas Nara menahan suaranya agar tetap terdengar biasa.
> “Akhir-akhir ini aku sibuk, proyek ingin di percepat. Tolong maklumi kalo aku jarang menghubungi mu Nara.” Nadanya begitu meyakinkan, jika Nara belum mengetahui apa-apa mungkin kabar ini yang membuat harinya sedikit bahagia.
> “Iya nggak masalah.” Nara berusaha sabar, amarahnya seakan terpancing kembali, mendengar suara yang sama dengan suara desahan yang keluar dari mulut najis suaminya bersama wanita lain itu.
Nada ponsel terputus dari sana, Nara meletakkan ponselnya dengan sedikit kasar. Wajahnya kembali memanas, bongkahan air mata terasa kembali menumpuk di pelupuk matanya.
“Jangan terus memenuhi otak mu dengan peristiwa itu sayangku, sekarang cukup kamu bahagia bersama ku.” Mahesa merangkul bahu Nara.
Mahesa selalu menyelipkan kata sayang agar sedikit mengangkat kata bahagia dalam diri Nara.
Nara mendongak, “kenapa aku harus bersikap baik dengan bajingan itu?”
Mahesa melepas rengkuhannya, tawanya sedikit mengerikan di dengar, “kita akan cari apa yang sebenarnya terjadi Nara, tapi aku tak akan membiarkan mu kembali dalam pelukannya. Sekali penghiat, dia akan tetap penghianat.”
Mahesa menggenggam wajah Nara, mengusap pipinya pelan, “kamu harus sepenuhnya percaya sama aku ya.”
Nara seolah terhipnotis oleh pancaran mata Mahesa, semua yang keluar dari mulut Mahesa seperti kebenaran. Nara hanya menganggukkan kepalanya, kepercayaannya sudah ia serahkan pada Mahesa.
“Pintar, kita akan habiskan waktu bersama sekalipun banyak rintangannya. Aku dan kamu, kita akan memulainya lagi.” tuturnya pelan dan halus.
“Istri mu akan datang sebentar lagi, lalu bagaimana?” Tanya Nara belum yakin.
Wanita polos yang semula tak pernah sampai kepikiran akan berakhir dengan mantan kekasihnya lagi dan kini akan memulai hubungan gelap, dibalik Mahesa yang beristri dan dirinya yang sudah bersuami.
“Terus, apa bedanya kita dengan Rama, yang akan berhubungan gelap?” Semua tanya yang mengganjal di kepalanya seolah menguar ingin mendapat jawaban.
“Apa kita, akan sama-sama jadi penghianat.” Rentetnya lagi dengan pertanyaan.
“Kemarilah..” Mahesa meletakkan kepala Nara didepan dada bidangnya, tangannya membelai rambut Nara.
Nara patuh, tak ada ke canggungan lagi di antara mereka, “Gea, dia wanita yang sibuk, sesekali akan pulang ke rumah, itu artinya dia akan lebih banyak menghabiskan waktu diluar.” Nara tersenyum kecil, mendengar jawaban Mahesa.
“Masalah suami mu, dia yang memulai penghianatan ini. Aku akan menyembuhkan luka mu, membantu mu mencari apa yang sebenarnya terjadi. Dan kebetulan kita bertemu, ini soal takdir yang menyatukan kita, di balik luka mu dan di balik sepi ku. Kita akan sama-sama cari kenyamanan, ketenangan dan kehangatan hubungan kita.” Jelasnya panjang.
Mendengar penjelasan Mahesa, Nara merasa hidup kembali, ada seseorang yang menariknya kembali ke dataran saat dirinya mulai terjatuh dalam jurang kesedihan.
Tanpa malu lagi Nara memeluk tubuh hangat Mahesa, “Makasih ya Sa, aku sayang kamu.”
Raut wajah Mahesa berbinar, semua ucapannya sudah tertancap dalam benak Nara, kepercayaan yang ia harapkan dengan mudah ia miliki, dan ia berhasil menjadikan Nara kembali menjadi kekasihnya.
Diam mereka merasakan hangatnya pelukan yang lama tak mereka rasakan, dulu semasa masih pacaran hanya satu kali mereka lakukan disaat perpisahan sekolah, dan kini mereka kembali merengkuh kenyamanan yang sangat dinantikan.
Nara melepaskan pelukannya, dengan bahagia dia mengecup bibir Mahesa, namun cepat tanpa ada lumatan.
Mahesa tertawa, “sudah berani sekarang ya,” godanya.
Nara juga melepaskan tawanya, “aku bahagia banget rasanya menemukan obat disaat aku luka.”
“Baiklah istri kedua ku.” Ucap Mahesa dengan panggilan baru.
“Yee suami kedua ku juga dong.” Balas Nara tertawa mengejek.
Mereka menuang tawa bersama, ruangan menghangat dengan orang-orang yang saling menyayangi.
Di sofa berwarna krem di sudut ruang tengah menjadi saksi, bagaimana terjalin kembali asmara yang sempat terhenti.
Mahesa mencubit kecil hidung mungil Nara, senyumnya belum juga luntur, “gemesnya, serasa pengen nafkahin.”
Nara yang mendengar ucapan Mahesa sangat berbunga, ia yakin Mahesa juga masih sangat mencintainya.
Nara mengerlingkan sebelah matanya, “nafkahin dong…” balasnya menggoda.
Mahesa langsung menangkap tubuh Nara, menggelitiknya sampai tawanya terpingkal-pingkal, “nantangin yaa, oke.. aku nafkahin lahir dan batin, jangan sampai lepas dari pandangan.” Tawanya membahana.
Bak lupa akan waktu dan usia, mereka seperti remaja yang baru merasakan yang namanya cinta. Hidup seperti ditengah taman bunga yang bermekaran, indah dan harum, intinya rona bahagia tengah melingkup dalam diri mereka.
"kita akan menghabiskan waktu bersama Nara ku sayang." tambah Mahesa disela tawanya.
*
*
*