NovelToon NovelToon
Lentera Jelita

Lentera Jelita

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Romansa / Penyelamat
Popularitas:848
Nilai: 5
Nama Author: Alfianita

Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?


Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.


“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”


“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”

Ahtar tersenyum, lalu...

“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”


Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?


#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Salam Perpisahan

...“Kalau mulai hari ini aku tidak akan sibuk memikirkan cinta yang belum halal, karena yang belum waktunya lebih banyak lukanya."...

...****************...

Akhtar menggeliat, beberapa kali mengerjapkan mata. Cahaya yang mulai masuk dari celah jendela mampu menerangi kamarnya. Apalagi korden kamarnya yang sudah terbuka lebar, membuat kamar Akhtar nampak terang, meskipun lampu sudah dimatikan. Dan pemandangan pertama yang ia lihat tak lain adalah...

"Morning!" seru Hafizha dengan senyum merekah di bibirnya.

Akhtar mengedarkan pandangannya ke sekitar, seketika netranya terbelalak lebar setelah kesadarannya sudah sempurna. Ditatapnya satu persatu wajah yang menyambut paginya.

"What happen?" Satu kalimat yang mewakili kebingungan Akhtar lagi itu.

"Bunda khawatir sama keadaan kamu, Nak. Semalam kata Arjuna kamu demam, karena infeksi di perutmu itu. Maka dari itu Bunda sudah siapkan bubur terenak untuk putra Bunda supaya cepat pulih," ucap Bunda Khadijah sambil meletakkan nampan yang dibawa nya di atas nakas, sisi kanan ranjang Akhtar.

Bunda Khadijah memgambil duduk di sisi Akhtar, lalu diambilnya mangkuk di atas nampan itu.

“Arjuna, tolong bantu Akhtar untuk duduk. Takut nya lukanya nanti belum kering,” pinta Bunda Khadijah.

“Tidak usah berlebihan, Bun. Akhtar bisa duduk sendiri," sahut Akhtar, lalu mengulas senyum—terharu.

Akhtar berusaha untuk duduk sendiri. Perlahan ia beringsut, lalu menyandarkan punggungnya di headboard.

”Bunda akan menyuapimu, Nak. Buka mulutnya! A...,” titah Bunda Khadijah sambil mengulurkan sendok berisi bubur.

Bukan Bunda Khadijah ingin memanjakan Akhtar, tapi ia berusaha untuk menjaga putra Aisyah dengan baik. Seperti halnya Hafizha yang sudah dirawat baik sejak kecil.

Akhtar menurut saja, membiarkan sang Bunda menyuapinya. Sesekali ia tersenyum, mengingat Umi nya yang suda tiada. Karena kanker yang yelah merenggut nyawa ibu kandung Akhtar.

"Iya, kamu bandel sih Dek, kenapa tak banyak istirahat setelah operasi kemarin? Sekarang lihat, kamu juga yang rugi." Cahaya ikut nimbrung dengan raut wajah khawatir, layaknya kakak kandung yang meng-khawatirkan sang adik.

"Bang Akhtar, aku bawakan minuman hangat. Siapa tahu saja setelah bangun kalau minum yang hangat begini bisa lebih enakan. Mau minum sekarang atau—"

"Nanti saja, taruh saja di atas nakas. Aku bisa ambil sendiri. Terima kasih,” acap Akhtar dingin. Ia kesal dengan kehadiran Humaira di kamarnya. Namun, hal itu ia tahan agar semuanya tak merasa curiga.

Akhtar kembali menatap semua keluarganya, terlihat di wajah mereka sedang khawatir atas kondisinya yang sempat drop. Akhtar menghela napas panjang, lalu perlahan ia hembuskan ke udara.

Akhtar mencoba mengingat apa yang terjadi padanya semalam. Namun, ia hanya mengingat berada di ruangan tengah lalu tidak sadar.

"Akhtar minta maaf jika sudah membuat kalian semua khawatir, tapi sekarang percayalah! Akhtar sudah jauh lebih baik, mungkin bisa bekerja hari—."

"No." Secara bersamaan mereka memotong ucapan Akhtar.

"Kita semua melarang kamu untuk melakukan banyak aktivitas meskipun kamu sudah lebih baik. Apalagi Abang yang memiliki amanah dari Abi untuk menjagamu, jelas hal itu akan Abang lakukan. Diam dan istirahat saja di kamar. Jangan macam-macam!" ucap Arjuna tegas—tak ada yang bisa mem-bantahnya.

"Dan semuanya bubar, karena Akhtar harus istirahat lagi.” Arjuna terpaksa mengatakan hal itu, karena ia memiliki tujuan lain.

‘Maafkan aku, tapi ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya, berdua.' Arjuna menghembus pelan, berusaha tenang dan bersikap biasa saja. Meskipun banyak sekali pertanyaan yang ingin diajukannya pada Akhtar.

Semua bubar, mengikuti intruksi Arjuna. Itupun juga atas perintah sang Bunda yang tetap ingin menjaga anak-anaknya.

Setelah semua bubar Arjuna mengambil duduk di sisi ranjang Akhtar. Matanya menyipit, mencoba memahami sesuatu yang tak kunjung jelas.

"Apa keputusanmu sekarang setelah cintamu ditolak karena beberapa hal?" tanya Arjuna dengan tatapan penuh selidik.

"Mundur secara gentleman. Awalnya aku tak terima keputusannya yang menolakku secara langsung, tapi hukum tabu tak bisa dijalankan. Bagaikan tembok yang berdiri kokoh, sulit untuk dirobohkan. Kecuali jika ada kun fayakun dari-Nya."

"Dan aku juga tidak mau menerima Humaira, karena aku hanya menganggapnya sebagai adik," ucap Akhtar tegas. "Tolong dicatat ya, Bang. Kalau mulai hari ini aku tidak akan sibuk memikirkan cinta yang belum halal, karena yang belum waktunya lebih banyak lukanya." Titik akhir keputusan yang diambil Akhtar, menyerahkan segalanya hanya kepada Allah.

Arjuna terdiam, ucapan Akhtar sungguh diluar prediksinya. Karena Arjuna berpikir jika Akhtar akan merengek bak anak kecil,lalu meminta bantuannya agar cintanya terbalas. Namun, nyatanya lebih spektakuler.

Sikap dewasa Akhtar patut diacungi jempol.

"Ya, abang salut dan mendukung keputusanmu. Sekarang abang mau membersihkan lukamu, biar cepat pulih. Tak membuat orang repot saja, sampai salah tuduh pula."

Akhtar mengernyitkan alisnya, karena tak mengerti yang diucapkan Arjuna. Namun, ia tak melontarkan pertanyaan dan hanya diam.

...****************...

Arjuna kembali bekerja setelah mengurus Akhtar. Sedangkan Akhtar masih membaringkan tubuh di atas kasur. Rasa nyeri masih sesekali dirasakannya, membuat semua keluarga melarang Akhtar untuk turun dari ranjang. Meskipun rasanya bosan, tetapi Akhtar akan tetap menurut saja.

Terlihat gagang pintu kamar Akhtar ditekan. Dan tidak lama kemudian kepala Hafizha menyembul dari balik pintu.

"Kamu... Ngapain ke kamar abang, Dek?" tanya Akhtar mengerutkan alisnya.

"Something," jawab Hafizha singkat.

"Apa?"

Hafizha mengulas senyum, lalu mengambil duduk di samping Akhtar. Punggung tangannya ia tempelkan di atas kening Akhtar, "Sudah tak demam lagi. So... Besok anterin aku ya balik ke asrama. Kalau Om Abdullah tak asik, banyak diamnya. Bang Juna juga, tak seru. Pasti aku banyak diceramahi di sepanjang jalan. Jadi bang Akhtar saja ya yang antar," ucap Hafizha diakhiri cengiran.

"Oh... Jadi ceritanya merayu toh. Harus adelah upah e," ucap Akhtar dengan bahasa orang Medan, tak lupa diakhiri dengan cengiran.

Hafizha mendengus sebal.

"Ok. Mau apa? Uang? Tak ada uang aku bang, Abi selalu mengontrol pengeluaran ku. Yang lain saja," oceh Hafizha sedikit merengut.

"Abang tak perlu uang, abang bisa cari sendiri kalau masalah uang."

"Lalu?"

"Balapan. Abang sudah lama tidak balapan, mau ikut?"

Entah pertanyaan atau ajakan, Hafizha tak peduli. Baginya sama saja, hal itu membuatnya tertawa senang sambil mengangguk. Balapan adalah salah satu hobi Akhtar dan Hafizha. Namun, tak ada yang tahu jika kedua nya suka balapan. Dan kali ini mereka makan menyusun strategi jitu untui memanipulasi keadaan.

...****************...

Zuena tidak keluar dari kamar Adam, paling hanya waktu sarapan saja. Bukan ia tidak ingin membantu kesibukan Bunda Khadijah ataupun Cahaya, tapi itu ia lakukan demi menjaga semuanya, terutama perasaannya pada Akhtar.

"Mau sampai kapan kamu akan tetap di sini? Keluar saja kalau bosan!" ujar Adam seraya mendengus sebal.

Adam terlalu risih melihat Zuena yang kadang duduk, berdiri, lalu mondar-mandir tidak jelas dan hal itu dilakukan berulang-ulang.

"Kau mengusirku?" tanya Zuena sambil menatap Adam.

"Tidak, bukan begitu. Tapi..."

Belum sempat Adam melanjutkan ucapannya tiba-tiba mendengar suara teriakan. Hal itu membuat keduanya penasaran dengan keadaan di luar. Mereka takut jika ada ancaman bahaya yang datang, seperti penyerangan di rumah sakit waktu itu.

Akhtar pun segera bangkit dari ranjangnya setelah mendengar suara seseorang meraung, jeritannya memenuhi ruangan. Seakan jiwanya telah runtuh. Kedua tangannya mencengkeram kuat dadanya.

“Umma... Baba... Hiks... Hiks... Hiks...” Humaira tak kuasa menahan tangisnya. Napasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat. Tangisnya keras, penuh luka.

Bunda Khadijah terbelalak lebar dan tangannya menutup mulut. Tak tahu harus berkata apa. Tanpa sadar air matanya sudah jatuh lebih dulu.

Akhtar menatap televisi yang masih menyala dan pendengarannya menajam, fokus pada berita yang mengejutkan. Kota Beirut, tepat nya gedung apartemen di Dahieh, pinggiran kota telah di serang udara militer Israel. Sejumlah walkie-talkie telah dijatuhkan di Lebanon selatan.

“A-Akhtar, Abi kamu?” Bunda Khadijah memeluk tubuh Akhtar dengan tangis yang tak bisa dibendung.

Akhtar tak bisa berkata apa pun, ia hanya bisa mendekap tubuh sang Bunda yang bergetar hebat.

Tangan Zuena mengepal kuat setelah melihat kondisi semua keluarga itu.

”Aku harus melakukan sesuatu untuk memastikan keadaan di sana.”

...****************...

Seorang lelaki paruh baya tengah duduk di kursi kerjanya. Kakinya diangkat dan diletakkan di atas meja, sambil sesekali menghisap putung rokok yang diapit kedua jarinya.

Sorot mata yang tajam membuat orang yang berhadapan dengannya terdiam seribu kata. Semua perintahnya pun hatus dituruti, jika tidak maka nyawa siap melayang. Bahkan laki-laki itu tak segan untuk membuat hati putra sulungnya terluka.

“Temui keluarganya dan ajukan permintaanku. Pastikan gadis itu mau melakukannya.”

“Siap! Bos.”

Orang suruhannya pun pergi. Dan tak lama dari itu benda pipih di atas meja hitam itu berdering.

“Halo, ada apa?” tanyanya dengan datar.

“Help me, please!” suara itu terdengar lirih dengan penuh penekanan.

“Jelaskan saja apa yang harus Daddy lakukan untukmu.”

“Butuh fasilitas standart untuk bisa melecak keberadaan seseorang di kota Beirut. Sekarang!”

“Ok. Tapi syaratnya kamu harus segera pergi dari rumah itu. Ucapan salam perpisahan pada keluarga laki-laki yang kamu cintai. Setelah itu lakukan tugasmu yang belum selesai.”

Lelaki itu memutuskan obrolan secara sepihak, tak memberikan kesempatan lawan bicaranya untuk memutuskan. Setelah itu, kembali lelaki itu menghisap rokok nya.

...****************...

“Kita harus pergi sekarang Adam.” Tangan Zuena mengepal kuat, bahkan ia menggertakkan giginya rapat.

“Tapi di sini masih—”

“Tapi kita harus pergi sekarang. Demi menyelamatkan Abi Yulian dan keluarga ini.”

Zuena melangkah, menghampiri Akhtar dan Bunda Khadijah.

“Maaf! Mungkin tak seharusnya saya dan Adam pergi dari tempat ini sekarang. Tapi—”

“Jika kamu mau pergi tak apa. Aku ataupun keluarga ku tak akan menahanmu. Aku hanya akan mengatakan salam perpisahan setelah pertemuan singkat kita. Hati-hati di jalan! Dan minta Adam untuk terus meminum obatnya sampai lukanya benar-benar sembuh.”

Deg.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!