NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23. Malam Pertama Di Istana

📝 Diary Mentari – Bab 22

“Malam pertama di tempat asing adalah ujian bagi jiwa yang terbiasa dirangkul tanah dan bintang.”

Malam pertama tidur di istana, rasanya seperti mimpi yang tidak kuminta. Kamarku sendiri, luas dan sunyi, dibatasi tembok putih yang dingin dan tak bersuara. Tidak ada desiran angin yang biasa menyelinap lewat celah anyaman bambu. Tidak ada suara kodok atau jangkrik yang bersahutan dari kebun belakang. Tidak ada tawa bapak saat menggoda ibu. Tidak ada senyum Senja yang selalu menatapku sebelum tidur.

Aku menatap sekeliling kamar. Ada lemari besar berisi pakaian yang belum pernah kusentuh, tempat tidur empuk berlapis sprei bersih, meja rias dengan cermin yang memantulkan wajahku sendiri. Tapi semuanya terasa asing. Aku benar-benar sendiri.

Kutatap foto yang kubawa dari kampung, yang kusempat sembunyikan di sela-sela buku catatan. Foto usang dengan tepi yang mulai rapuh itu menangkap senyum bapak dan ibu di depan rumah kami yang beratapkan seng tua. Aku menyentuh gambar mereka perlahan. Dada ini sesak oleh rindu. Rasanya seperti ada yang hilang dari diriku. Aku tidak tahu bagaimana bisa tertidur malam itu. Entah karena lelah, atau karena terlalu sedih untuk tetap terjaga.

Tak seperti di perkemahan atau pelatihan di kota yang pernah kuikuti, malam ini benar-benar terasa sunyi. Tidak ada teman sebaya. Tidak ada suara orang tertawa. Hanya sepi yang menempel di dinding-dinding mewah rumah Pak Kartika.

“Aku harus bertahan,” bisikku pelan. Tapi bisikan itu terdengar lemah. Sebuah bagian dari diriku ingin menyerah, ingin pulang, ingin kembali menjadi Mentari yang duduk di tangga rumah sambil menulis puisi untuk langit yang terus berubah.

“Sepi ini menyakitkan… Haruskah aku kembali ke Kampung Karet saja?”

Pagi harinya, aku terbangun bukan oleh suara ibu memanggil dari dapur atau aroma kopi hitam yang biasa menyelinap lewat bilik bambu. Aku terbangun oleh ketukan pintu—pelan tapi tegas.

Tok tok tok.

“Mentari…” suara nenek dari luar terdengar datar. “Bangun. Nyapu dulu.”

Aku terdiam sejenak, mengumpulkan nyawa. Kukibaskan selimut dari tubuhku dan segera membereskan tempat tidur. Baru saja aku merapikan bantal, pintu terbuka. Nenek berdiri di ambang pintu, pandangannya langsung menyapu kamar.

“Kamu pakai selimut di lemari?” tanyanya datar.

Aku mengangguk, pelan.

“Jangan dipakai lagi,” katanya. “Itu bukan untukmu.”

Aku mengangguk lagi, kali ini dengan dada yang mulai menghangat. Tapi bukan oleh kebahagiaan. Oleh rasa malu dan sedih yang tak bisa dijelaskan. Aku melipat selimut itu rapi, menaruhnya kembali ke lemari, lalu membersihkan kamar seperti yang diminta. Nenek masih berdiri di sana, memperhatikanku.

“Bersihkan baik-baik. Jangan sampai ada sehelai rambut pun di lantai. Pak Kartika nggak suka. Lantai putih ini harus bersih.”

Aku menunduk. “Iya, Nek.”

Lantai putih ini menyakitiku, pikirku dalam hati. Lantai ini dingin. Terlalu licin. Terlalu mewah. Aku lebih suka lantai tanah di rumah. Tempat di mana telapak kakiku bisa menempel hangat, bukan mengambang di atas keramik dingin seperti sekarang.

Setelah menyapu dan mengepel kamar, aku membantu di dapur. Bibi Ani, salah satu saudara ipar dari pihak istri Pak Kartika, memberikan tugas padaku. Iris bawang, kupas kentang, cuci sayur. Semuanya dilakukan cepat dan tanpa banyak kata.

“Pisau itu untuk motong daging, bukan sayur,” tegurnya saat aku memegang pisau yang salah.

“Oh… maaf,” ujarku pelan.

Dia hanya mendengus, lalu mengangkat tangan menunjukkan pisau yang benar. Aku menurut. Aku bukan siapa-siapa di rumah ini. Aku hanya anak dari desa yang diberi kesempatan untuk membantu toko dan hidup di bawah atap yang bukan milikku.

Hari itu, aku diperkenalkan pada toko milik Pak Kartika. Bali Tropic Wear, begitu nama butik itu. Letaknya strategis di jalan Ubud yang ramai oleh turis. Toko itu dipenuhi pakaian dengan motif tropis, kain rayon warna-warni, dan berbagai aksesoris etnik. Dindingnya dipenuhi cermin besar. Lampu sorot menyoroti etalase. Musik instrumental Bali mengalun pelan dari speaker tersembunyi. Semua tampak sempurna. Tapi aku merasa asing. Terlalu mewah untuk seorang Mentari dari Kampung Karet.

Pak Kartika memperkenalkanku pada tiga staf wanita di toko.

“Ini keponakan dari istriku. Namanya Mentari. Baru datang dari kampung. Dia akan bantu-bantu di sini,” katanya dengan suara hangat.

Ketiga wanita itu menatapku dari ujung kepala sampai kaki. Pandangan mereka tidak jahat, tapi dingin. Tidak satu pun dari mereka menyambutku dengan senyum.

“Sisihkan waktu buat ngajarin dia cara lipat baju dan jaga kasir ya,” kata Pak Kartika pada salah satu dari mereka. Lalu ia berlalu ke ruang belakang.

Aku berdiri kaku, memegang ujung tas kecilku. Rasanya seperti kembali ke hari pertama sekolah dulu—takut, asing, tidak tahu harus memulai dari mana.

Salah satu wanita mendekatiku. “Kamu bisa nyetrika?”

Aku mengangguk. “Sedikit.”

“Kalau gitu mulai dari situ. Belajar dulu. Jangan bikin barang rusak. Di sini semua harus rapi.”

Aku kembali mengangguk. Semua yang kulakukan hari itu adalah mengangguk, menuruti, mencatat dalam hati.

Dan diam-diam… menahan air mata.

Malam kedua, aku kembali ke kamar yang kini terasa lebih seperti sel penjara. Foto bapak dan ibu kutatap lagi. Aku ingin menulis, tapi kata-kata tak mau keluar. Mungkin terlalu lelah. Mungkin terlalu sedih.

Tapi aku tahu, aku tidak bisa menyerah.

“Aku bukan tamu. Aku harus layak tinggal di sini,” bisikku sendiri.

Aku menggambar garis kecil di kertas robek dari buku catatan. Garis itu membentuk matahari kecil.

“Mentari tak boleh padam, meski tertutup istana.”

“Rumah adalah tempat hati merasa diterima. Tapi kadang, untuk sampai ke rumah sejati, kita harus berjalan melewati lorong-lorong asing dan sunyi.”

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!