Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Murid Untuk Guru nya
Asap rokok melayang pelan dari ujung bibir Sasmita, melingkar seperti siluman kabut yang malas terbang. Ia duduk di pojok ruangan kosan sempit itu, mengenakan tanktop hitam dan celana training robek-robek yang entah sudah dicuci atau belum. Novel "Pemburu Monster: Volume 4" terbuka di pangkuannya, tangan kanan menggenggam cangkir kopi hitam yang sudah dingin setengah mati.
Kos-kosan itu sementara, katanya. Sebenarnya lebih mirip kandang ayam yang dimodif jadi kamar manusia. Cat tembok mengelupas, langit-langit retak, dan pintu kamar mandi bunyinya kayak suara makhluk dari dunia lain tiap dibuka. Tapi bagi mereka bertiga—Rengganis Larang dan dua muridnya, Tri dan Ningsih—ini lebih aman dari markas yang mereka tinggalin dulu. Setelah Manglayang Merah, semua tempat berbau permanen terasa mencurigakan.
Tri, si murid pertama, sedang selonjoran di atas kasur sambil scroll TikTok. Celananya pendek, bajunya oversize, dan ekspresi mukanya flat kayak nasi dingin. Ningsih di seberang, rebahan sambil ngemil ciki rasa balado, tangan satunya ngechat gebetannya entah yang keberapa.
Di tengah keheningan itu, suara Tri pecah.
"Guru..." dia nyerocos tanpa lihat, "Guru tuh pernah jatuh cinta nggak sih?"
Sasmita enggak langsung jawab. Dia balik halaman novel dulu, lalu mendesah sambil ngambil lagi kopinya.
"Pertanyaan macam apa itu?" katanya, masih dengan nada datar.
"Ya penasaran aja," Tri lanjut sambil senyum geli. "Soalnya... sejak aku ikut Guru, belum pernah tuh lihat Guru deket sama cowok. Kayak... seriusan deh, Guru tuh asexual apa gimana?"
Ningsih langsung tertawa ngakak, ciki muncrat dari mulutnya. "Anjir Tri, lo nanya ke pemburu siluman legendaris apa ke selebgram?"
Sasmita memejamkan mata sejenak. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam, lalu diembuskan ke langit-langit kamar.
"Kalau aku cerita, kalian enggak bakal ngerti," katanya pelan.
Tri langsung duduk. “Gue ngerti! Sumpah. Gimana sih dulu... Guru pernah pacaran?"
Sasmita mendengus. “Pernah,” katanya lirih. “Dulu. Lama banget. Waktu umurku masih belum segini—belum serumit sekarang.”
Ningsih langsung nyender ke dinding, matanya membulat. "Eh serius lo, Guru?"
"Namanya Galang," kata Sasmita, matanya menatap jauh ke arah dinding kusam. "Anak pesantren yang sering main musik. Dia main biola. Hatinya halus... dan bodohnya, dia sayang banget sama aku."
Tri dan Ningsih menelan ludah bersamaan.
"Aku udah mulai dilatih waktu itu... Tapi Galang? Dia nggak tahu apa-apa soal dunia kita. Aku sembunyiin. Katanya aku dingin, katanya aku keras kepala. Tapi dia tetap nyamperin tiap sore. Kadang cuma buat nganterin bubur kacang ijo," lanjut Sasmita, senyumnya tipis, hampir sedih.
Tri berbisik, "Terus?"
"Aku cinta sama dia..." kata Sasmita. “Tapi cinta itu... enggak bisa ngelawan siluman yang nyeret dia ke dunia lain pas dia berusaha nolong aku.”
Kos-kosan itu mendadak senyap. Hanya suara kipas angin berdecit dan tikus kecil yang mungkin nyasar dari loteng.
“Aku nemuin tubuhnya... atau sisa-sisanya... di Goa Simbar waktu aku 20 tahun,” lanjutnya. “Sejak saat itu, aku tahu: hatiku cuma buat pertempuran. Nggak bisa buat yang lain.”
Ningsih meletakkan ciki-nya, ekspresinya berubah. Tri menunduk.
"Maaf, Guru," bisik Tri.
Sasmita hanya mengangkat bahu, menghisap rokoknya lagi.
"Makanya, jangan buang waktu kalian buat cinta murahan. Kalian itu pemburu. Dan dunia kita... dunia darah dan kutukan."
Tri tiba-tiba berdiri, berjalan ke arah jendela dan membuka tirai yang berdebu.
"Tapi Guru masih bisa bahagia kan? Maksudku... kalaupun nanti ada orang yang bisa bikin Guru senyum lagi..."
Sasmita melirik, sejenak diam, lalu menjawab, “Kalau orang itu bisa ngalahin aku dalam duel, mungkin aku pertimbangkan.”
Mereka tertawa pelan. Tawa yang tipis tapi hangat, seperti cahaya di balik reruntuhan.
Ningsih berdiri, nyalain kompor mini, bikin mie rebus.
"Hidup kita emang aneh ya," katanya. "Kos-kosan sempit, mantan mati, siluman di mana-mana... Tapi gue bersyukur bisa di sini."
Sasmita menutup novelnya, lalu berdiri, meregangkan tubuh.
"Hidup kita mungkin enggak sempurna," katanya sambil mengambil cangkir kopi kosong, "tapi setidaknya kita masih punya mie rebus, rokok, dan kalian."
Tri dan Ningsih tersenyum. Di luar, malam menggantung. Tenang. Belum ada bau darah. Belum ada raungan makhluk astral.
Tapi entah kenapa, perasaan Sasmita tetap gelisah.
Karena dalam diam, tanah Pasundan tak pernah benar-benar tidur.
Sasmita mengambil tas selempang kecil warna coklat kusam. Isinya cuma satu kotak peluru mantra, pisau lipat, korek, dan dompet yang isinya recehan dan satu foto lama ayahnya. Trench coat merah maroon-nya digantung, hari ini dia cuma pakai jaket kulit hitam tipis dan masker abu-abu yang selalu digantung di leher.
“Gue keluar bentar,” katanya sambil ngancingin jaket. “Belanja peluru, jimat, sama bahan buat perangkap.”
Tri dan Ningsih yang lagi duduk nyuapin mie pake piring yang udah retak dua itu, cuma ngangguk. Mata mereka ngikutin langkah Sasmita yang santai, kayak enggak ada beban. Padahal semua yang kenal dia tahu, pundaknya bawa neraka.
“Jangan lupa beli gula!” teriak Tri sebelum pintu ditutup.
“Jangan lupa beli cinta baru!” tambah Ningsih sambil ngakak.
Sasmita cuma angkat jari tengah sebelum akhirnya hilang di balik pintu.
Sekarang kosan itu sepi. Kipas angin terus berdecit kayak nyanyi lagu sialan yang enggak ada hentinya. Tri duduk selonjor di bawah jendela, Ningsih selonjor di kasur sambil ngelihatin plafon.
“Gue kasihan deh sama Guru,” kata Tri tiba-tiba.
Ningsih melirik. “Lah kok?”
“Ya masa hidupnya gitu mulu? Bunuh siluman, nyegel setan, tiap malam mimpi buruk, bangun dengan rokok dan kopi. Dia tuh hebat sih, tapi... capek pasti.”
Ningsih diem sebentar. “Ya iyalah. Tapi dia juga enggak bisa istirahat. Dunia masih banyak siluman.”
Tri geleng kepala. “Justru itu. Makanya gue mikir... gimana kalau kita paksa dia buat istirahat. Healing. Liburan. Refreshing.”
Ningsih langsung duduk tegak, alisnya naik. “Healing? Ke mana? Ke Dufan? Ke Bali? Lo punya duit?”
Tri nyengir. “Kita bukan orang kaya, tapi kita bisa bikin Guru ngerasa normal walau cuma sehari. Enggak usah jauh-jauh. Bisa kita masak bareng, nyanyi, main ke taman kota, atau... ya pokoknya jadi manusia normal sehari aja. Tanpa siluman, tanpa keris, tanpa darah.”
Ningsih manggut-manggut. “Anjir... itu keren sih. Gue juga pengen lihat Guru pakai baju biasa, nonton film Korea sambil makan popcorn. Atau nyoba masker wajah, hahaha!”
Tri ketawa. “Wah bisa tuh. Tapi susah sih ngajakin dia. Dia keras kepala.”
Ningsih bangkit dari kasur, ngeloyor ke dapur kecil yang cuma muat satu orang, buka kulkas yang cuma dingin kalau ditendang dulu.
“Berarti kita harus rancang skenario,” kata Ningsih sambil ngeluarin botol air mineral.
“Skenario?”
“Yoi,” kata Ningsih, minum lalu lanjut, “Kita kasih alasan. Bilang aja kita dapet firasat. Atau... mimpi buruk yang nyuruh kita bawa Guru ke tempat tertentu. Nanti pas sampai sana, eh... ternyata healing.”
Tri mangap. “Buset licik lo, Nis.”
“Ya daripada dia nolak mentah-mentah. Lo pikir ngajak Rengganis Larang healing itu gampang?”
Tri mikir. “Iya juga sih. Atau kita bisa bilang ini bagian dari latihan rohani. Supaya koneksi spiritual makin kuat.”
Ningsih: “Buset, pake istilah kyai lo.”
Mereka berdua ketawa lagi, kayak dua bocah kampung yang barusan nyolong mangga. Tapi di balik tawa itu, mereka benar-benar serius. Mereka tahu Sasmita keras di luar, tapi rapuh di dalam. Perempuan sekuat itu juga punya hati. Dan hati itu... seringkali lupa caranya bahagia.
Tri bangkit, ambil buku catatan kecil. “Kita bikin daftar kegiatan buat besok.”
Ningsih langsung ngikut. “Oke. Yang gampang-gampang dulu. Pertama...”
Sarapan bareng di warung bubur ayam Mang Ganda.
“Guru suka bubur, asal jangan pake kecap banyak.”
Ajak ke taman kota sore hari.
“Guru bisa duduk sambil baca. Kita kasih dia waktu tenang, tapi di tempat yang adem dan manusiawi.”
Karaoke mini malamnya di kamar.
“Gue ada speaker bluetooth. Kita bisa puter lagu dangdut, rock, sampe jazz.”
Makan malam bikin sendiri.
“Gue bisa masak ayam kecap, lo bikin nasi goreng.”
Pasang lilin aroma terapi.
“Gue nemu diskonan di Alfamart kemarin.”
Hadiah kecil: Beliin kaos kaki lucu.
“Yang ada gambar kucing. Biar dia inget kalau hidup enggak cuma tentang darah.”
Ningsih menatap daftar itu dengan kagum. “Gila, ini serius healing planner buat pemburu siluman.”
Tri menatap langit-langit. “Gue pengen lihat Guru ketawa tanpa beban. Sekali aja.”
Mereka saling pandang. Sama-sama tahu, mereka enggak bisa lama-lama hidup kayak orang normal. Tapi satu hari? Mungkin cukup. Mungkin cukup buat ngasih jeda ke hati yang udah sobek sejak lama.
Lalu pintu depan terbuka.
“Lho, udah balik?” seru Ningsih sambil buru-buru sembunyiin buku catatan.
Sasmita masuk dengan dua kantong plastik. Satu berisi peluru dan jimat, satunya lagi... sabun, pasta gigi, dan satu botol kecil parfum cowok.
“Parfum?” tanya Tri sambil ngintip.
Sasmita menoleh. “Buat nyamuk. Biar enggak nempel.”
Tri dan Ningsih langsung tahan tawa. Misi mereka dimulai besok. Dan malam ini?
Mereka menatap satu sama lain. Angguk. Setuju.
Satu hari buat Sasmita Wibisana jadi manusia biasa.