NovelToon NovelToon
AKU PUN BERHAK BAHAGIA

AKU PUN BERHAK BAHAGIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: sicuit

Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seperti Waktu Itu.

Cuaca begitu panas,  apalagi dalam bus, dengan banyak penumpang. Keringat membasahi pakaian Jaka.

Perjalanan panjang, membuat Ibu tertidur dalam lelahnya.

Jaka yang merasa gerah tak sedikit pun dapat memincingkan mata.

Pohon - pohon yang dilewati seakan melambaikan tangan, mengucap selamat tinggal padanya.

Pikirannya hanyut pada masa itu ...

    ##########

"Karena suamimu sudah meninggal, jadi ... sudah selayaknya juga kamu tinggalkan rumah ini. Ini rumah bersama, bukan hanya kamu yang berhak tinggal di sini, kurasa lebih cepat lebih baik," kata saudara bapak, saat itu.

"Bude ... bagaimana bisa bude bicara seperi itu, Bapak baru saja meninggal, terus kami mau tinggal dimana!" teriak Jaka.

Ibu langsung memegang tangan anaknya, meminta untuk tidak mendebat, saat suasana duka.

"Iya, saya mengerti, beri waktu sampai selesai empat pul ...," belum selesai Ibu bicara.

"Jangan khawatir, kami bisa mengadakan tahlilnya, sebaiknya sebelum tujuh hari, kamu sudah pindah dari sini," katanya lagi.

Ibu diam, memegang kuat tangan Jaka, yang sudah mengepal keras.

"Baik," jawab Ibu pendek, dia tak mau berdebat lagi.

Sejak waktu itu, Ibu mengajak Jaka untuk membereskan barang - barang, apa saja yang akan mereka bawa.

Tepat hari ke lima, Ibu dan Jaka memutuskan untuk keluar dari rumah itu.

Tetangga yang tahu, mereka saling memberi semangat pada Ibu. Tak sedikit juga dari mereka memberi makanan, atau uang untuk bekal Ibu dan Jaka di jalan.

"Sabar ya Buk e Jaka ...."

Begitu salam perpisahan dari mereka.

Dengan naik bus, mereka pergi ke sebuah desa yang Ibu tahu.

Sebuah desa di kaki bukit. Tak terlalu ramai seperti di tempat tinggal kemaren.

Berhenti di pinggir jalan. Dan berteduh di sebuah rumah kosong. Istirahat sejenak, sambil menunggu angkutan desa untuk melanjutkan perjalanan.

Mobil angkutan desa berhenti di depan sebuah rumah, di pinggir jalan. Rumah dengan corak kuno. Dindingnya masih setengah gedeg dan setengah tembok.

Ibu mengajak Jaka memasuki rumah dengan halaman luas itu. Tampak pintu terbuka.

"Permisi ... Mbak yu ...."  panggil Ibu.

Dari dalam seorang wanita setengah tua keluar,  sambil membawa panci.

"Owlaaahh ... Dik Darmi ... kok tumben, ayo masuk ... masuk,"

Perempuan itu menyuruh masuk. Dan dia kembali ke belakang.

Keluar dengan membawa teh hangat, sangat melegakan dahaga saat itu.

Setelah saling berbasa basi, akhirnya perempuan itu, yang ternyata masih saudara jauh Ibu, samapi pada pokok bahasan.

"Oh, jadi suamimu sudah meninggal ya, terus kamu rencana mau menetap di desa ini," katanya manggut - manggut.

"Iya, Mbak yu ... mungkin Mbak yu tau, rumah kontrakan yang bisa saya sewa, yang penting ndak mahal," kata Ibu pula.

"Iya ... iya ... tapi untuk sementara, sehari, dua hari, tinggalah di sini dulu, ntar tak carikan rumahnya," katanya lagi.

Maka sejak hari itu, Jaka dan Ibu tinggal di rumah Bude sampai mereka dapat kontrakan.

Tak sampai tiga hari, mereka sudah mendapat rumah yang sesuai dengan keinginan Ibu, kontrakan yang tidak terlalu mahal. Dan mereka pun pindah ke sana. Menjalani hari baru.

Berkenalan dengan tetangga kiri, kanan, ternyata ada beberapa anak yang sebaya dengan Jaka.

Tak terasa, sudah hampir sepuluh hari sejak mereka tinggal di sana. Ibu mulai bertanya pada orang - orang sekitar situ, mungkin ada yang butuh ART.

"Coba tanya sama Bu Ririn, itu yang rumahnya dekat kantor pos, mungkin ada lowongan di sana," kata penjual toko kelontong tempat Ibu belanja.

"Iya, Bu. Terima kasih," jawab Ibu.

Dengan tekad yang sudah bulat, Ibu pergi ke rumah Bu Ririn.

Rumahnya besar, dengan halaman luas.

Singkat kata, akhirnya Ibu di terima kerja di tempat Bu Ririn yang memang sedang butuh ART.

Alangkah lega hati Ibu, untuk kebutuhan sehari, hari sudah ada solusinya. Kini tinggal mencari sekolah untuk Jaka.

Jaka sempat diam di rumah satu bulan, karena belum ada biaya untuk daftar ke sekolah baru.

Tapi ketika Ibu ijin untuk mendaftarkan sekolah Jaka, Bu Ririn meminta Jaka sekolah di Yayasan yang dia pimpin.

"Tapi, Bu ... saya ... gimana ya ...," Ibu mencoba menolak dengan halus.

"Ndak usah khawatir, Bu. Untuk uang sekolah, ada bea siswa dari Yayasan, nanti saya sendiri yang atur," katanya lagi, membuat Ibu tak bisa menolak.

Keesokan harinya, adalah hari pertama Jaka masuk sekolah. Sekolah mentereng di ukuran desa tempat tinggalnya.

Yang bersekolah di sana, semua pada bening. Jaka jadi sedikit minder.

Apalagi pada Iwan dan kelompoknya. Yang kelihatan mentereng sekali.

Jaka, anak baru, dengan wajah pas - pasan, bea siswa dari yayasan pula, jadi perhatian  kelompok Iwan.

Mereka, dengan segera mengincarnya, untuk dijadikan sebuah mainan baru. 

" Hei ... lu, anak baru, sini, ayo perkenalkan dirimu!" bentak Iwan.

Dengan terbata, Jaka memperkenalkan diri.

Belum selesai Jaka bicara, sebuah bola voli sudah melayang ke wajahnya dengan keras.

"Aagghh ...." keluh Jaka kesakitan.

Seketika kepalanya berdenyut, ada lelehan keluar dari hidungnya.

HAHAHAHHA ...

Kesakitan Jaka, menjadi lawakan bagi mereka.

Dan banyak lagi kelakuan mereka. Yang semuanya menyakitkan. Sedang Jaka harus bisa bertahan di situasi yang seperti ini.  Bukan hanya sehari, tapi bertahun hingga lulus.

    #########

Jaka mengacak rambutnya yang basah oleh keringat. Dia berusaha untuk tidak meneruskan lamunannya. Bagian - bagian paling menyakitkan yang ingin dia lupakan.

Jaka menutup mata, berusaha untuk tidur.

Hari hampir gelap ketika Jaka dan Ibu sampai di desa itu. Desa tempat Jaka menghabiskan masa sekolahnya.

Lampu jalan sudah menyala, beberapa toko yang berderet,  juga sudah terang benderang.

Ibu dan Jaka, berjalan menyusuri trotoar berlubang. Beberapa kali Jaka harus berhenti membetulkan kruknya. Ibu kuat - kuat memegang Jaka, jangan sampai dia terjatuh.

Berhenti di sebuah kedai, mereka melepas lelah sejenak. Teh hangat sedikit menyegarkan badan.

Sambil menunggu pesanan makanan diambilkan, Ibu bertanya,

"Mas, apa di dekat sini ada rumah dikontrakkan, yang standart saja, ga terlalu mahal?"

Mas pemilik kedai itu diam sejenak. Alisnya mengkerut mencoba mengingat sesuatu.

"Oh ada, Bu. Rumahnya Pak Adi, kalau belum laku mungkin bisa dilihat," jawabnya, sambil memberikan sepiring nasi pada Ibu.

"Mana rumahnya ya, Mas?"

"Dari sini Ibu berjalan lurus saja, nanti ada gang Setapak, Ibu masuk situ, rumah cat hijau, sebelah kirinya itu rumah Pak Adi, Ibu bisa tanya di sana," jelasnya panjang lebar.

"Iya terima kasih, Mas," kata Ibu.

Dengan segera Ibu dan Jaka menghabiskan makan, dan mereka bergegas ke tempat yang disebutkan tadi.

Berjalan kembali, tertatih bersama kruknya, Jaka tampak kelelahan sekali. Sebentar - sebentar berhenti.

Hingga akhirnya mereka sampai di tempat tersebut.

Rumah kecil, dengan halaman sempit. Cukup untuk mereka berdua.

Jaka berharap, di sini di tempat baru, dia bisa melupakan Yunis.

1
nightdream19
Bagus Thor. kisahnya buat aku juga jadi kebayang sama kejadian tadi. lanjut Thor.. /Smile/
nightdream19: ok. siap lanjutkan baca
sicuit: terima kasih kakak .. ikuti kelanjutan kisahnya ya.. 😊
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!