Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Di kediaman keluarga Robet, suasana pagi itu tampak sibuk. Rose, sang nyonya rumah, tampak sibuk mengatur segala sesuatu untuk menyambut tamu yang akan datang. Ia memastikan ruang tamu rapi, hidangan kecil tertata di meja, dan segala hal terlihat nyaman bagi tamunya.
Tamu yang akan datang bukanlah orang asing, melainkan keluarga Marco, sahabat lama yang sudah dianggap seperti saudara sendiri. Rose ingin memastikan semuanya sempurna, mengingat sudah lama mereka tidak bertemu.
Sementara itu, sang suami, Robet, masih sibuk di kantor dan belum bisa pulang untuk membantu persiapan.
Ketika pintu depan terbuka, William, putra mereka, akhirnya tiba di rumah. Ia melepaskan jasnya, lalu menghampiri ibunya yang sedang mengatur bunga di vas.
"Ma, kenapa sibuk banget? Ada acara apa?" tanya William sambil mengambil segelas air.
"Keluarga Papi Marco akan berkunjung ke Indonesia. Mereka menginap di sini selama beberapa hari," jawab Rose dengan senyum ramah.
William mengangguk pelan. "Sudah lama ya nggak ketemu mereka?" tanyanya, mencoba mengingat kapan terakhir kali bertemu.
"Iya, terakhir waktu kamu masih kecil. Sekarang mereka datang untuk urusan bisnis, tapi juga ingin mempererat lagi hubungan keluarga," jelas Rose, terlihat antusias.
William hanya mengangguk, tanpa ada kecurigaan apa pun. Bagi keluarga Robet, pertemuan ini hanyalah silaturahmi biasa tanpa maksud tersembunyi—sekadar menyambung kembali persahabatan yang telah lama terjalin.
Menjelang sore, pesawat yang membawa keluarga Marco akhirnya mendarat dengan mulus di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sinar matahari yang mulai meredup memberikan nuansa hangat di cakrawala, seakan menyambut kedatangan mereka dengan lembut.
Begitu turun dari kabin pesawat, seorang pria berbaju rapi—orang suruhan Robet—sudah menunggu dengan mobil jemputan yang nyaman. Ia segera menghampiri dan membawakan koper mereka.
Di antara mereka, Elisabet tampak paling gelisah. Dadanya berdebar keras saat menginjakkan kaki di tanah Indonesia. Aroma udara tropis yang familiar seakan membangkitkan kenangan lama yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam.
"Akhirnya, aku kembali ke sini..." bisiknya dalam hati, menatap langit senja yang mulai memerah.
Ada harapan yang perlahan tumbuh dalam dirinya—sebuah harapan yang dulu sempat ia anggap hilang. Kini, dengan kunjungan ini, seakan ada titik terang yang mulai hadir di hatinya. Entah karena masa lalu yang belum sepenuhnya selesai, atau pertemuan yang tak terduga di masa depan.
Mobil mewah yang membawa keluarga Marco akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah milik keluarga Robet. Gerbang besar terbuka perlahan, memperlihatkan taman yang tertata rapi dan suasana hangat yang menyambut mereka.
Begitu pintu mobil terbuka, Rose, Robet, dan Wiliam sudah berdiri di depan pintu utama, wajah mereka dipenuhi senyuman hangat. Tanpa menunggu lama, mereka segera menghampiri tamu yang sudah seperti keluarga sendiri itu.
Suasana haru langsung terasa saat mereka saling berpelukan erat, melepas rindu yang sudah lama terpendam.
"Akhirnya, setelah sekian lama kita bertemu lagi," ucap Rose dengan mata berkaca-kaca, memeluk erat Elisabet.
"Iya, Rose... Aku benar-benar merindukan saat-saat seperti ini," jawab Elisabet, suaranya bergetar karena emosi yang tak bisa ditahan.
Robet menepuk punggung Marco dengan penuh kehangatan, "Selamat datang di rumah kami, saudaraku. Ini rumahmu juga."
Wiliam, yang berdiri di sisi ayahnya, menyapa sopan dengan senyuman ramah, dan memeluk mereka."apakah perjalanan kalian menyenangkan, papi Marco, mami Elisabet dan alvin.”
Kevin segera memeluk Wiliam dengan hangat, seakan tak ada jarak di antara mereka meskipun waktu telah memisahkan.
"Senang akhirnya kita bertemu lagi, Wiliam," ujar Kevin dengan senyuman tulus.
"Aku juga, Kevin. Semoga kau betah di sini," jawab Wiliam sambil menepuk punggung Kevin dengan akrab.
Setelah memberikan salam kepada Rose dan Robet, keluarga Marco diajak masuk ke dalam mansion. Suasana kehangatan keluarga menyelimuti setiap sudut ruangan. Setelah berbincang sejenak di ruang tamu, Rose pun mengantar mereka ke kamar tamu yang telah dipersiapkan dengan rapi dan penuh perhatian.
Menjelang makan malam, Elisabet dengan sengaja menemui Wiliam di ruang baca. Wajahnya tampak serius, ada sesuatu yang sudah lama ingin ia tanyakan.
"Wiliam, boleh mami bertanya sesuatu?" tanyanya dengan nada lembut.
"Tentu, Mami. Ada apa?" jawab Wiliam, menatap ibunya dengan penuh rasa hormat.
"Bagaimana kabar Anjani? Mami sering mendengar namanya. Sepertinya dia gadis yang menarik."
Wiliam mengerutkan kening, sedikit bingung dengan arah pembicaraan itu. "Anjani baik-baik saja, Mami. Tapi kenapa Mami tiba-tiba menanyakan dia?" tanyanya dengan nada penasaran.
Elisabet tersenyum samar, menyembunyikan maksud sebenarnya. "Tak ada alasan khusus, Mami hanya penasaran. Sepertinya dia orang yang penting bagimu, bukan?"
Wiliam menghela napas pelan, tak ingin menyinggung soal pribadi Anjani terlalu jauh. "Kami mulai dekat mi, Hanya itu yang perlu Mami tahu untuk sekarang."
Elisabet mengangguk pelan .
*****
Suasana di rumah Anjani sedang tenang ketika tiba-tiba ponselnya berdering. Layar menampilkan nama Wiliam. Dengan sedikit heran, ia segera mengangkatnya.
"Halo, Wiliam?" suara Anjani terdengar pelan namun jelas terdengar ramah di seberang.
“ Apakah malam ini kamu ada acara?” Tanya Wiliam .
"Tidak. Ada apa ,kenapa tiba-tiba menelepon?" tanyanya, penasaran.
"Mami Elisabet baru sampai tadi sore,ia mengundangmu makan malam di rumah. Katanya beliau ingin bertemu langsung denganmu," jelas Wiliam.
Anjani terdiam sejenak, sedikit bingung dengan undangan mendadak itu. "Oh... kenapa tiba-tiba Mami ingin bertemu?"
"Aku juga tidak tahu pasti. Tapi beliau memang penasaran denganmu sejak melihat mu pas kita vc kemaren." jawab Wiliam santai. "Aku akan menjemputmu sebentar lagi. Siapkan dirimu, ya."
"Baiklah," balas Anjani singkat sebelum menutup panggilan.
Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa penasaran, tapi juga sedikit gugup menghadapi undangan dari keluarga Wiliam. Tanpa membuang waktu, Anjani segera bersiap, memastikan penampilannya rapi untuk makan malam yang tiba-tiba ini.
Tak lama setelah Anjani selesai bersiap, terdengar ketukan pelan di pintu. Suara Wiliam terdengar dari luar, "Anjani, aku sudah sampai."
Anjani membuka pintu perlahan. Di hadapan Wiliam, ia tampak sederhana namun memikat dengan dress putih selutut yang pas di tubuh rampingnya. Lengan pendek dress itu memperlihatkan kulitnya yang mulus, sementara rambut kecoklatannya dibiarkan tergerai alami, memberikan kesan anggun namun santai.
Wiliam terdiam sejenak, sedikit terpukau oleh penampilan Anjani. "Kamu terlihat cantik malam ini," ucapnya dengan nada tulus.
Saat Anjani hendak melangkah keluar, Wiliam tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dengan lembut. Anjani menoleh, matanya bertemu dengan tatapan intens Wiliam. Tanpa banyak kata, Wiliam mendekat dan mencuri sebuah ciuman singkat di bibir Anjani.
Terkejut, Anjani terdiam sejenak. Tapi alih-alih menolak, ia justru membiarkan momen itu berlangsung, bahkan menutup matanya sejenak menikmati kehangatan singkat dari ciuman tersebut.
Wiliam melepaskan ciuman itu perlahan, menatapnya dengan lembut. "Maaf... aku hanya—"
Anjani menggeleng pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak beraturan. "Tidak apa-apa," bisiknya, hampir tak terdengar.
Senyuman kecil muncul di wajah Wiliam. "Ayo, sebelum aku tergoda untuk mencuri ciuman lagi," candanya dengan nada ringan.
Anjani tersenyum tipis, sedikit canggung. "Terima kasih, Wiliam. Jadi, kita langsung pergi?"
"Iya, mobil sudah menunggu di depan. Mami pasti akan senang bertemu denganmu," jawab Wiliam sambil membukakan pintu untuknya.
Mereka berjalan berdampingan menuju mobil, suasana di antara mereka terasa nyaman .
Anjani melangkah masuk bersama Wiliam, dengan senyum sopan yang terukir di wajahnya. Namun, langkahnya terhenti seketika saat melihat dua orang tamu asing di ruang keluarga.
Tatapannya bertemu dengan pria paruh baya yang terlihat sangat terkejut—Marco, yang wajahnya seketika pucat seperti kehilangan seluruh kata-kata.
Sementara itu, suasana semakin tegang saat Elisabet muncul dari arah dapur, membawa nampan berisi minuman dan kue. Namun, ketika matanya bertemu dengan sosok Anjani, tubuhnya langsung menegang.
Seperti disambar petir di siang bolong, tangannya bergetar hebat, dan tanpa sengaja, nampan yang dibawanya jatuh ke lantai. Suara dentingan gelas pecah menggema, membuat semua orang terkejut.
"Anjani..." gumam Elisabet, nyaris tak terdengar, matanya berkaca-kaca.
Anjani yang bingung hanya bisa berdiri terpaku, menatap Elisabet dengan alis berkerut. "Maaf, apakah saya mengenal Anda?" tanyanya dengan suara pelan, tapi jelas terdengar oleh semua orang.
Wiliam segera melangkah maju, mencoba meredakan suasana. "Mami, kenapa? Apa yang terjadi?" tanyanya, menatap Elisabet yang kini terlihat goyah.
Rose segera menghampiri Elisabet, membantu menenangkan sahabat lamanya. Sementara itu, Marco hanya duduk terdiam, matanya tak pernah lepas dari wajah Anjani—seolah melihat bayang-bayang masa lalu yang tak pernah ia duga akan muncul kembali di hadapannya.
Suasana menjadi hening, hanya dentuman halus dari pecahan gelas yang terdengar ketika Rose memanggil seorang pelayan untuk membersihkan kekacauan itu. Di antara tatapan bingung Anjani, kecanggungan mulai menyelimuti ruang keluarga.
Elisabet perlahan duduk di sofa dengan bantuan Rose, matanya masih memandangi Anjani seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Air matanya menggenang, tapi ia berusaha menahannya agar tak jatuh di depan semua orang.
"Maafkan aku… aku hanya terkejut," ucap Elisabet dengan suara gemetar.
Anjani, yang sejak tadi merasa canggung, melirik Wiliam yang tampak bingung dengan situasi ini. "Aku... Aku rasa aku harus pergi saja," bisik Anjani pelan, berbalik untuk melangkah keluar. Namun, sebelum Anjani sempat meninggalkan ruangan, Elisabet bangkit dan meraih tangannya.
"Jangan pergi... tolong, tetaplah di sini," pinta Elisabet dengan suara lirih. Sentuhannya lembut tapi penuh emosi yang sulit dijelaskan.
Anjani menoleh perlahan, menatap Elisabet dengan bingung. "Maaf, tapi… kenapa Anda terlihat begitu mengenal saya?"
Marco akhirnya membuka suara, suaranya serak dan penuh beban. "Karena… kau mengingatkan kami pada seseorang yang sangat berarti."
Rose ikut angkat bicara, mencoba menenangkan suasana. "Anjani, tidak ada yang salah dengan kehadiranmu di sini. Duduklah, makan malam ini memang untuk berkumpul dan mengenal satu sama lain."
Wiliam, yang sejak tadi memperhatikan ekspresi gelisah Anjani, menggenggam tangannya dengan lembut. "Tetaplah di sini untukku. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja," bisiknya.
Akhirnya, Anjani mengangguk pelan dan kembali duduk, meskipun rasa penasaran dan ketegangan memenuhi pikirannya. Elisabet, dengan suara lembut namun penuh harapan, akhirnya bertanya, "Anjani… siapa nama ibumu?".
Pertanyaan itu membuat Anjani terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Ibu Fatma... kenapa Anda bertanya soal itu?"
Sekejap, wajah Elisabet dan Marco semakin tegang. Rose dan Robet saling berpandangan dengan raut penuh tanya
“ Apakah mereka Indonesia asli?” Tanya Elisabet.
Anjani menatap Elisabet dengan dahi sedikit berkerut, merasa aneh dengan pertanyaan itu. Ia mengangguk perlahan. "Ya, orang tua saya orang Indonesia asli. Kenapa Anda bertanya begitu?" tanyanya, suaranya penuh rasa penasaran.
Elisabet menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. "Tak ada alasan khusus… hanya saja, ada sesuatu dari wajahmu yang… mengingatkanku pada seseorang," jawabnya pelan, mencoba menyembunyikan emosi yang hampir meluap.
Marco, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara dengan suara berat. "Apa kau pernah mendengar nama keluarga Marco sebelumnya, Anjani?
Siakah Anjani sebenarnya dan apa hubungannya ajani dengan keluarga robet?.....
hrs berani lawan lahhh