NovelToon NovelToon
Di Persimpangan Rasa

Di Persimpangan Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Idola sekolah
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Candylight_

Alana tak percaya pada cinta—bukan sejak patah hati, tapi bahkan sebelum sempat jatuh cinta. Baginya, cinta hanya ilusi yang perlahan memudar, seperti yang ia lihat pada kedua orang tuanya.

Namun semuanya berubah saat Jendral datang. Murid baru yang membawa rasa yang tak pernah ia harapkan. Masalahnya, Naresh—sahabat yang selalu ada—juga menyimpan rasa yang lebih dari sekadar persahabatan.

Kini, Alana berdiri di persimpangan. Antara masa lalu yang ingin ia tolak, dan masa depan yang tak bisa ia hindari.

Karena cinta, tak pernah sesederhana memilih.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Candylight_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23 — Kalau Bercanda Ternyata Serius

Satu hal yang langsung Jendral sadari saat melihat Alana duduk menggigil di atas ranjang—perempuan itu membohonginya. Tadi Alana bilang akan mandi di kamar lain, tapi kenyataannya dia masih di sana, kedinginan, tidak bergerak dari tempat duduk.

“Lo tadi bilang mau mandi di kamar lain, kan?” tanya Jendral, suaranya pelan namun jelas menyiratkan keheranan. Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggang, masih menatap Alana yang tampak pucat.

Alana menoleh pelan. “Udah selesai?” tanyanya, menghindari inti pertanyaan.

Alana terlihat lelah, tubuhnya gemetar halus karena dingin. “Gue mandi dulu, ya. Lo pakai aja baju lo di sini, abis itu jangan ke mana-mana dulu.”

Tak menunggu reaksi dari Jendral, Alana langsung masuk ke kamar mandi. Ia butuh air hangat untuk menenangkan tubuhnya yang mulai menggigil.

Jendral memandangi pintu kamar mandi yang baru saja tertutup. Ia mengacak rambutnya, frustrasi.

“Sial,” umpatnya lirih. “Alana kedinginan gara-gara gue…”

Meskipun begitu, Jendral tetap menuruti perkataan Alana. Ia berganti pakaian di kamar itu dan tidak ke mana-mana setelahnya. Hanya duduk diam, menunggu Alana keluar dari kamar mandi.

Beberapa waktu kemudian, Alana keluar sebentar, mengambil pakaian dari lemari, lalu kembali masuk ke kamar mandi untuk berganti baju. Jendral tidak banyak bertanya, menahan diri sampai Alana benar-benar siap diajak bicara.

Setelah Alana akhirnya keluar dengan pakaian bersih, suasana masih hening beberapa saat, sebelum Jendral membuka suara.

“Jadi... kenapa tadi lo nggak mandi di kamar lain?” tanyanya pelan, menatap Alana penuh tanya.

“Enggak apa-apa, cuma males,” jawab Alana asal. Ia tidak mungkin mengutarakan ketakutannya—tidak mungkin menjelaskan soal kecemasan yang bahkan sulit ia pahami sendiri. Terlebih, mereka belum punya status apa pun.

Jendral tidak memaksa. Ia tahu hari ini sudah cukup melelahkan bagi Alana—terlalu banyak tekanan untuk ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin belum siap dijawab. Ia hanya menghela napas pelan.

“Masih dingin?” tanyanya, mencoba memastikan. Tubuh Alana memang sudah tidak lagi menggigil seperti sebelumnya, tetapi Jendral ingin benar-benar yakin.

“Iya, dingin,” jawab Alana pelan. Tubuhnya memang tidak gemetar lagi, tetapi rasa dingin masih terasa di permukaan kulitnya.

Jendral meraih selimut di atas ranjang Alana, lalu membungkuskan selimut itu ke tubuh gadis itu agar tidak kedinginan. Ia bisa saja langsung memeluk Alana untuk menghangatkannya, tetapi ia menahan diri. Situasinya terlalu rentan—mereka sedang berdua di kamar, dan Jendral tidak ingin tergelincir oleh perasaan sesaat.

“Muka gue masih dingin,” ucap Alana, mengangkat sedikit wajahnya. Ia menunjukkan pipinya yang masih dingin, suara dan geraknya terdengar sedikit manja. Biasanya, sikap seperti itu hanya ia tunjukkan di depan Naresh. Tapi malam ini, sikap manja itu muncul tanpa sengaja, dan ditujukan kepada Jendral.

Jendral tidak keberatan. Bahkan, ia menerima sisi Alana itu dengan tenang. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya hingga hangat, lalu menempelkannya ke kedua sisi pipi Alana.

“Masih dingin?” tanyanya lagi setelah melakukan hal itu beberapa kali.

“Masih... sedikit,” jawab Alana masih dengan nada lembut dan manja. Ia tidak berniat bersikap seperti itu—semuanya muncul begitu saja. Mungkin, karena kini ia benar-benar mulai merasa nyaman bersama Jendral.

“Oke, berarti usaha gue belum cukup keras, ya.” Jendral terkekeh lalu kembali menggosokkan kedua telapak tangannya dan menempelkannya ke pipi Alana.

“Makasih,” ucap Alana setelah merasa pipinya sudah tak lagi dingin. Jendral hanya membalasnya dengan senyum manis.

“Lo nggak kedinginan?” tanya Alana, karena meskipun AC tidak menyala, suhu ruangan tetap terasa dingin akibat hujan deras yang masih mengguyur di luar sana.

“Nggak, kulit cowok tahan dingin,” jawab Jendral santai, membuat Alana mendecih pelan. Bukan karena kesal, tapi karena merasa Jendral sedang menyombong di hadapannya.

Hening. Alana maupun Jendral tidak mengucapkan apa pun setelahnya. Mereka berdiri, saling berhadapan, saling menatap, tanpa sepatah kata. Sampai akhirnya...

“Lo nggak pegal?” tanya Jendral, melihat Alana yang terdiam sambil memandanginya. Masalahnya, yang Alana tatap bukan wajah Jendral, melainkan bibirnya. Ini sudah kesekian kalinya Alana kepergok sedang memandangi bibir Jendral.

Alana mengerjapkan mata, lalu mengalihkan pandangannya dari bibir Jendral ke matanya.

“Enggak pegal?” tanya Jendral lagi karena belum mendapat jawaban.

Alana menggeleng pelan, seolah sedang menyadarkan dirinya sendiri. “Ayo, duduk,” ucapnya akhirnya, tanpa menjawab apakah dirinya pegal atau tidak.

Jendral hanya mengikuti Alana duduk di sofa yang ada di kamarnya. Namanya juga kamar perempuan, bantal sofanya berbentuk kepala beruang.

“Lo suka beruang, ya?” tanya Jendral, menyadari bahwa kamar Alana dipenuhi berbagai motif beruang—dari seprai, sarung bantal, selimut, sampai pernak-pernik lainnya. Bahkan bantalan sofa yang kini dipegangnya pun bermotif beruang.

“Iya, gue suka beruang,” jawab Alana sambil duduk lebih dulu di sofa, lalu Jendral menyusul duduk di sampingnya.

Jendral mengangguk, seolah sedang mencatat hal itu di kepalanya. Ia tidak akan bingung membelikan Alana hadiah jika sudah tahu apa yang perempuan itu suka.

“Terus, apalagi yang lo suka?” pancing Jendral. Mengobrol sambil cari tahu apa saja yang doi suka, tidak salah juga, kan?

Namun, tanpa diduga, Alana mengatakan sesuatu yang langsung membuat lelaki itu terdiam.

“Lo,” jawab Alana.

Alana mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Bukan hanya Jendral yang terkejut mendengar pengakuan barusan—bahkan dirinya sendiri pun kaget. Kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya, tanpa sempat disaring.

"Gimana ini? Apa gue harus kabur? Tapi gimana cara kabur dari kamar gue sendiri?" jerit Alana dalam hati. Ia menggigit bibir bawah bagian dalamnya, berusaha menahan diri agar tidak mengumpat akibat ucapannya sendiri.

"Jendral juga kenapa diem aja sih? Gue jadi bingung harus ngapain!" Alana kembali menjerit dalam hati, panik.

Setelah cukup lama terdiam, Jendral akhirnya tersenyum. Lalu, tangannya terulur, mengusap lembut kepala Alana.

“Lo bisa bercanda juga, ya?” ucap Jendral, menganggap pengakuan spontan Alana tadi sebagai lelucon semata.

Alana mengerjapkan matanya. Butuh sepersekian detik baginya untuk menyadari bahwa perasaannya... tidak dianggap serius.

"Oke, ini bagus. Jadi nggak canggung. Tapi kenapa gue malah nggak senang Jendral bilang gue bercanda?" Alana kembali menjerit dalam hati, matanya menelisik wajah Jendral. Ia seharusnya merasa lega karena Jendral tidak menganggap serius ucapannya barusan—tapi yang ia rasakan justru sebaliknya. Ada sesuatu di dadanya yang mengganjal, seperti kecewa yang ditelan mentah-mentah.

Alana langsung membuang wajahnya dari Jendral. Ia tidak ingin Jendral melihat ada raut kecewa yang sempat singgah di wajahnya.

“Haha, iya. Gue cuma bercanda kok,” ucap Alana, berusaha terdengar santai sambil menahan sesuatu yang mengganjal di dadanya.

Tanpa Alana tahu, Jendral sebenarnya berharap ucapan itu serius. Dan kini, gantian dirinya yang merasa kecewa saat Alana mengaku hanya bercanda.

1
Syaira Liana
makasih kaka, semoga baik baik terus 😍😍
Syaira Liana
ceritanya sangat seru
Syaira Liana
alana percaya yuk
Syaira Liana
jadi bingung pilih naresh apa jeje😭😭
Syaira Liana
alana kamu udah jatuh cinta😍😍 terimakasih kak
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
Izin yaa
total 1 replies
Syaira Liana
lanjutt kaka, alana bakal baik2 aja kan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!