Entah ini mimpi atau nyata, namun Jenny benar-benar merasakannya. Ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah suaminya setelah dia menikah beberapa jam lalu. Jenny harus dihadapkan dengan sikap asli suaminya yang ternyata tidak benar-benar menerima dia dalam perjodohan ini.
"Aku menikahimu hanya karena aku membutuhkan sosok Ibu pengganti untuk anakku. Jadi, jangan harap aku melakukan lebih dari itu. Kau hanya seorang pengasuh yang berkedok sebagai istriku"
Kalimat yang begitu mengejutkan keluar dari pria yang baru Jenny nikahi. Entah bagaimana hidup dia kedepannya setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sandiwara Yang Melukai Hati Jenny!
Makan siang kali ini tiba-tiba saja Jenny mengingkan makanan pedas. Mungkin ini adalah keinginan anak dalam kandungannya juga. Jenny sudah mengalami ngidam ini beberapa kali, termasuk ada satu keinginan dia ketika hamil yaitu saat melihat orang lain yang pergi jalan-jalan bersama suaminya dengan keadaan istrinya yang sedang hamil. Keinginan yang entah akan terwujud atau tidak.
Jenny keluar dari dalam ruangannya dan turun ke lantai bawah toko ini. Dan dia tidak menyangka jika suaminya masih berada disana dan menunggunya dengan duduk di atas kursi kayu disana.
Hildan langsung berdiri ketika melihat Jenny yang menuruni anak tangga, dia menghampiri istrinya itu. "Mau kemana?"
"Beli makanan keluar, kenapa Mas masih berada disini, bukannya pulang"
"Biar aku antar kamu beli makanan ya"
"Tidak usah Mas, aku bawa mobil sendiri"
Hildan langsung menahan lengan Jenny yang hampir pergi dari hadapannya. "Kau sedang hamil, seharusnya tidak menyetir sendiri"
Jenny menatap tangan Hildan yang berada di lengannya, lalu dia melepaskannya dengan perlahan. "Apa yang Mas pedulikan sekarang? Aku kecelakaan saja malah ingin kamu bunuh sekalian, jadi aku sudah tidak takut lagi dengan mati. Karena aku pernah hampir mati oleh suamiku sendiri"
Deg..
Seolah tertampar begitu keras oleh ucapan Jenny barusan, Hildan langsung terdiam tanpa banyak kata lagi. Dia ingat bagaimana dirinya yang mencekik leher Jenny tanpa rasa kasihan sedikit pun, padahal saat itu Jenny juga habis mengalami kecelakaan. Dan memang setega itu Hildan padanya.
Jenny berlalu pergi dari hadapan suaminya dan pergi menggunakan mobilnya. Ketika dia sudah berada cukup jauh dari toko bunga miliknya, dia menghentikan mobil di pinggir jalan. Jenny menyembunyikan wajahnya di atas kemudi. Dia begitu lelah dengan semua ini dan perkataannya barusan berhasil membuat dirinya sesak sendiri.
"Kenapa harus seperti ini Ya Tuhan? Aku hanya ingin hidup dengan tenang, tapi kenapa Mas Hildan harus muncul lagi ketika dia sedang berusaha untuk menata hidupnya kembali"
Hari ini, Hildan terdiam ketika melihat mobil Jenny yang melaju meninggalkan toko bunga ini. Hildan mengusap wajah kasar, dia begitu kesal dengan dirinya sendiri. Sejahat itu Hildan pada Jenny, hingga wanita itu benar-benar terluka dan trauma dengan dirinya.
Maafkan aku Jenny.
Entah sudah berapa kali Hildan mengatakan itu. Dia memang sudah sangat ingin meminta maaf pada Jenny, namun nyatanya dia tidak bisa mendapatkan maaf Jenny begitu mudah. Semuanya wajar saja ketika Hildan yang memang sudah melakukan hal yang sangat keterlaluan pada istrinya itu. Sehingga saat ini Jenny sedang berada di dalam posisi terendahnya karena semua ulah Hildan.
Hildan pergi dari toko bunga itu dan mencoba mencari keberadaan Jenny. Dia takut jika Jenny kenapa-napa ketika dia mengemudi dalam keadaan fikiran yang kacau. Dan Hildan melihat mobil Jenny yang berhenti di pinggir jala, saat Hildan semakin mendekat ternyata Jenny sedang membeli rujak di pinggir jalan. Hildan segera menghentikan mobilnya dan turun dari mobilnya untuk menghampiri Jenny disana.
"Jenny, kau sedang apa?"
Jenny langsung menoleh dan menatap Hildan dengan menghela nafas pelan. Sebenarnya dia sangat kesal pada suaminya yang terus menemuinya itu. Sudah tahu jika Jenny masih belum ingin di temui olehnya. Namun ternyata Hildan masih tidak menyerah dan terus menemui Jenny.
"Terima kasih Pak"
Jenny segera berjalan ke arah taman yang berada disana. Duduk di bangku taman dengan menatap hamparan rumput taman yang hijau dan terawat. Di kelilingi oleh bunga-bunga yang hampir bermekaran.
Seolah masih belum menyerah, Hildan langsung mengikuti Jenny dan duduk di sampingnya. Tidak peduli jika Jenny akan marah atau mengusirnya, yang jelas Hildan tidak akan menyerah untuk tetap mendekati Jenny dan ingin bisa memulai semuanya dari awal lagi.
Jenny menghela nafas pelan ketika melihat Hildan yang masih terus mengikutinya. "Mas mau apa terus mengikuti aku? Aku ingin sendiri, bisa Mas Hildan pergi saja dari sini"
Hildan menggeleng, dia menatap Jenny dengan tersenyum padanya. Senyuman yang sama sekali tidak pernah Jenny lihat selama dia tinggal bersama dengan suaminya itu. Yang sering Jenny lihat hanya sebuah kemarahan dan arogan Hildan.
"Aku hanya ingin menemani istriku dan memastikan dia aman dan baik-baiks aja"
Jenny menghela nafas pelan, dia mengelus perutnya yang sudah mulai membuncit itu. "Mas sudah tahu, jika anak ini sudah lahir aku akan melanjutkan kasus perceraian kita lagi"
Hildan langsung menatap Jenny dengan lekat, dia tidak bisa membiarkan Jenny membuat keputusan itu. Karena Hildan benar-benar tidak mau berpisah lagi dari Jenny.
"Jenny apa kamu yakin dengan keputusan kamu itu?"
Jenny tidak menjawab, dia malah memalingkan wajahnya. Bingung dengan perasaannya sendiri. Jenny yang ingin berpisah dari Hildan, namun hatinya yang seolah menolak kata itu. Jenny jadi bingung sendiri harus melakukan apa.
"Semuanya tidak akan terasa begitu sakit, Mas. Kalau saja kamu tidak membuat aku jatuh cinta terlebih dulu sebelum pernikahan itu. Sandiwara kamu berhasil membuat hatiku terhempas dari semua angan-angan indah dalam sebuah pernikahan"
Jenny berdiri dari duduknya dan menoleh sekilas pada Hildan yang masih duduk di tempatnya itu. "Untuk saat ini, maaf Mas karena aku masih harus benar-benar berpikir kembali untuk bersama denganmu lagi"
Hildan terdiam melihat punggung Jenny yang menjauh darinya. Rasanya dia tidak akan mudah membujuk hati Jenny untuk kembali bersama dengannya. Jenny sudah begitu terluka dan dia tidak mungkin memaksa istrinya itu untuk menerima dirinya kembali yang jelas-jelas dialah yang telah menimbulkan luka dalam hati dan diri istrinya itu.
Luka yang mungkin tidak akan sembuh begitu saja. Luka yang Hildan tanamkan pada dirinya selama pernikahan mereka, benar-benar berbekas sangat kuat di hatinya itu. Jenny yang tidak mungkin bisa melupakan semuanya dengan waktu sesingkat ini. Semuanya masih jelas berbekas di hati dan pikirannya.
Jenny kembali ke toko, dia merasa lebih baik setelah makan siang. Untuk saat ini Jenny hanya ingin lebih mneyibukan diri agar dirinya tidak terus memikirkan tentang masalahnya dengan Hildan. Jenny yang seharusnya berada di posisi di manjakan oleh suaminya dan tidak bekerja keras seperti ini. Namun, di saat hamil justru dirinya yang harus lebih bisa mengelola stres agar dia tidak membuat bayi dalam kandungannya juga ikut stres.
"Sil, kita rangkai bunga untuk acara wedding itu hari ini saja. Mumpung lagi gak banyak pelanggan yang datang juga, kita bisa tutup sebentar toko dan pergi ke lokasi"
"Baik Kak"
Dan hari ini Jenny benar-benar hanya menyibukan dirinya sendiri dengan pekerjaan. Jenny hanya ingin sejenak saja melupakan tentang masalahnya yang sedang terjadi saat ini. Jenny tidak mau untuk terus-terusan terjebak dalam pikiran tentang hubungan dirinya dan suaminya.
Kamu akan baik-baik saja bersama dengan Bunda, Nak.
Hanya bayi dalam kandungannya sekarang yang membuat Jenny bisa lebih semangat dalam menjalani hidupnya.
Bersambung
Kisah Vania judulnya Noda Dan Luka