Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.
Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.
Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.
Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????
Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Pagi menjelang siang, sinar matahari menerobos lembut lewat celah-celah dedaunan yang masih basah oleh embun. Di halaman belakang rumah, Raina baru saja menyelesaikan rutinitas paginya: menyiram bunga, mencabuti gulma, dan berbicara pelan pada tanaman-tanaman kesayangannya seolah mereka bisa menjawab. Dengan wajah sedikit basah keringat dan tangan masih berlumur tanah, ia melangkah masuk ke rumah sambil meraih ponselnya yang bergetar di meja dekat jendela.
Nama Frida muncul di layar.
Sambil menyeka dahinya dengan handuk kecil, Raina menerima panggilan itu dan menjawab dengan nada menggoda, “Halo, siapa yang tega ganggu tukang kebun cantik ini jam segini?”
Suara Frida langsung menyerbu tanpa permisi, penuh semangat tapi dengan nada panik yang tertahan. “Rain! Kamu inget nggak waktu asisten Dika nolongin aku pas kehabisan bensin ?”
Raina menaruh handuk di pundaknya dan tersenyum geli. “Inget lah. Emang kenapa? hati kamu ketinggalan,? "
Frida langsung menghela napas panjang, terdengar seperti orang yang sudah capek dilabeli drama padahal baru buka mulut. “Ih, bukan, woy! Serius ini. Kayaknya… antingku ketinggalan di mobilnya.”
Raina mengangkat alis sambil mengambil segelas infused water dari kulkas. “Anting? Yang mana nih? Yang gede kayak cincin WWF itu?”
“Yaa bukan!” Frida berseru, sedikit jengkel tapi masih bisa tertawa. “Yang kecil. Anting sebelah kanan, yang Mama kasih pas ulang tahun aku yang ke-17. Nggak mahal sih, tapi... kan tetap sayang kalau misal hilang....”
Raina duduk di kursi rotan dekat jendela, memandangi taman bunga yang baru saja ia rawat. “Wah, itu serius sih. Nggak bisa dianggap sepele. Oke, nanti aku tanyain ke asisten Dika, siapa tau dia nemu.”
Tapi sebelum Frida bisa menjawab, Raina sudah lebih dulu menambahkan dengan nada jahil, “Atau...kau hubungi langsung saja....? Kamu tanya sendiri. Hitung-hitung pembukaan topik buat ngobrol lebih lanjut. Siapa tahu berawal dari ‘anting yang hilang’ ehem....”
Frida menggeram di ujung telepon, seperti kucing yang baru saja dijambak ekornya. “Raina, plis deh! Fokus! Ini soal anting, bukan sinetron ftv !”
Tawa Raina pecah, jernih dan ringan seperti angin yang menyapu dedaunan. “Maaf, maaf. Tapi serius, siapa juga yang tahu takdir, kan? Banyak kisah cinta berawal dari hal sepele. Ada yang dari ketinggalan payung, ada yang dari rebutan kursi, kamu… ya dari ketinggalan anting.”
Frida terdiam sejenak, lalu mengalah dengan nada pasrah. “Yaudah deh, kirim aja nomornya. Aku chat langsung. Tapi inget ya, ini murni urusan anting! nggak lebih..”
Raina mengangguk-angguk sok serius, walau senyum lebar sudah menggantung di wajahnya. “Siap, Bu. Dikirim sekarang juga. Dengan harapan semoga antingnya balik... dan hatinya tertarik~”
Frida mendesah panjang di seberang. “Kamu tuh ya… bisa gak sih serius satu menit aja?”
Raina tertawa lagi. “Enggak bisa. Nanti hidup kamu jadi terlalu sepi.”
Dan begitulah, percakapan mereka berakhir dengan tawa—karena di antara bunga, tanah, dan anting yang hilang, tak ada yang lebih indah dari persahabatan yang diwarnai canda.
Benar saja, tak lama setelah Raina mengirimkan nomor sang asisten, Frida segera menyimpannya. Ia menunggu dengan sabar hingga jam istirahat tiba—ketika kantor mulai lengang, dan suara ketikan di keyboard berubah menjadi simfoni acak yang tak lagi mengganggu.
Dengan jari-jari ragu, Frida mengetik pesan. Sederhana saja, tapi cukup untuk menyampaikan maksud.
>, maaf ganggu. ini saya Frida—yang kemarin sempat dibantu soal bensin. Sepertinya antingku tertinggal di mobil Anda.siapa tau anda bisa membantu saya menemukannya . Terima kasih sebelumnya."
Pesan dikirim. Hening.
Ponsel diletakkan di meja kerja, tapi matanya sesekali melirik ke layar. Beberapa menit kemudian, dua centang biru muncul. Hatinya sempat melonjak. Dibaca!
Namun waktu berjalan pelan, seperti sengaja mempermainkan harapannya. Lima menit. Sepuluh. Dua puluh. Tidak ada balasan.
Frida menghela napas pelan. Wajahnya sedikit berubah masam. Ia bersandar di kursi kerjanya, lalu berbisik lirih seolah pada dirinya sendiri.
“Dibaca... tapi diam. Hanya anting, bukan lamaran. Begitu sulitkah membalas sepatah dua patah kata?”
Sementara di tempat lain, dalam sebuah kantor modern yang sunyi dan penuh tekanan, sang asisten Dika baru saja membuka pesan itu—tanpa sengaja, hanya sekilas saat hendak mengecek jadwal rapat tuannya. Ia membaca nama pengirim tanpa benar-benar mengingat siapa itu Frida, lalu membiarkan pesan itu tetap terbuka… dan berlalu.
Menurutnya, itu tidak penting.
Ada hal lain yang lebih mendesak. Lebih besar. Lebih menegangkan. Karena tepat di depannya, berdiri seorang wanita dengan aura yang mampu membungkam ruangan hanya dengan tatapan: Nyonya Melisa.
Ia adalah sosok paruh baya dengan ketegasan yang membeku di setiap gerak. Tak perlu banyak bicara, karena cukup satu helai tatapannya saja, orang-orang akan tahu tempatnya. Wajahnya tenang—nyaris seperti patung marmer—dingin, tak terbaca, dan penuh wibawa. Rambutnya tersisir rapi, tas kulit di lengannya mengayun pelan dengan langkah yang terukur sempurna.
“Ibunya Tuan Aditya datang,” ucap seorang staf pelan tadi, dan sejak itu kantor seakan menahan napas.
Kini, di hadapan Dika, Melisa berdiri dengan diam yang menekan.
“Dimana Putraku?” tanyanya, lirih namun tajam, seperti pisau yang tak terlihat namun terasa menggores.
Dika menunduk sedikit. “Sedang di luar kantor, Bu. Ada pertemuan dengan klien di Café Aurore.”
Melisa tidak menanggapi. Ia melangkah masuk ke ruangan kerja putranya tanpa memedulikan siapa pun. Tidak meminta izin. Tidak memberi isyarat. Seolah dunia ini memang miliknya.
Begitu memasuki ruang kerja Aditya, matanya menyapu seisi ruangan. Hingga akhirnya berhenti pada sebuah figura di atas meja. Ia menghampiri meja itu dengan langkah tenang, lalu mengangkat bingkai foto itu perlahan.
Wajahnya tidak berubah. Namun matanya… berbicara banyak.
Di dalam bingkai itu, ada foto Aditya berdiri bersama seorang wanita muda yang tersenyum begitu hangat. Wajah gadis itu bersahaja, namun di antara keduanya tampak ada kebersamaan yang sulit dipalsukan. Terlalu dekat. Terlalu akrab. Terlalu berani.
Melisa menatapnya lama, lalu berbisik dengan nada yang nyaris dingin seperti bisikan angin di musim dingin.
“Seperti tak ada perempuan lain yang lebih layak saja…”
Ia menurunkan bingkai itu perlahan, lalu mengaturnya kembali di meja, sedikit lebih maju dari posisi semula. Gerakannya halus, tapi penuh makna. Wajahnya tetap datar, namun nadanya mengandung luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh.
“Sudah melampaui batas...…” gumamnya pelan—lebih seperti peringatan yang ditujukan kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.
Asisten Dika, yang berdiri di ambang pintu, hanya bisa menunduk. Dalam diam, ia tahu: badai telah tiba, dan kali ini bukan untuk bertanya, tapi untuk menghancurkan apa pun yang dianggap noda dalam silsilah keluarga.