Seorang wanita mendatangi klinik bersalin di tengah malam buta. Wanita itu meringis menahan rasa sakit. Sepertinya dia ingin melahirkan.
Setelah mendapatkan pertolongan dari Bidan, kini wanita itu menunggu jalan lahir terbuka sempurna. Namun, siapa sangka ia akan di pertemukan oleh lelaki yang sengaja ia hindari selama ini.
"Lepas, Dok! Aku tidak butuh rasa kasihan darimu, tolong jangan pernah menyakiti hatiku lagi. Sekarang aku tak butuh pria pengecut sepertimu!" sentak wanita itu dengan mata memerah menahan agar air mata tak jatuh dihadapannya.
"Alia, aku mohon tolong maafkan aku," lirih lelaki yang berprofesi sebagai seorang Dokter di sebuah klinik bersalin tempat Alia melahirkan. Lelaki itu menatap dengan penuh harap. Namun, sepertinya hati wanita itu telah mati rasa sehingga tak terusik sedikitpun oleh kata-kata menghibanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha sabar
Sore ini, Hanan dan Alia sudah bersiap mengunjungi kediaman Hendra, setelah mendapat telpon dari Hendra, Hanan segera membawa Alia untuk bertemu dengan Resha.
"Mau kemana kamu Hanan?" tanya Mama yang berpapasan dengan mereka.
"Aku mau bertemu seseorang Ma," jawab Hanan tak menyebutkan yang sebenarnya.
"Seseorang siapa? Kenapa Alia kamu bawa, mending di tinggalkan saja, nanti biar Mama yang menemani," ucap Evi pada putranya.
"Terimakasih Ma, tapi aku ingin membawa Alia, karena aku sudah menemukan seorang psikolog. Dan semoga saja cocok," jawab Hanan yang segera membimbing tangan Alia untuk menuju mobilnya.
"Hanan, kita mau kemana? Aku tidak mau ikut!" ujar Alia tak ingin masuk kedalam mobil.
"Kita mau ketemu dengan teman kamu. Apakah kamu ingat?" tanya Hanan mencoba untuk memancing.
"Teman? Aku tidak mau teman, Hanan! Aku mau anakku!" jawabnya masih enggan untuk masuk.
"Ya baiklah, aku akan membawamu bertemu anak kita. Ayo sekarang masuk."
Alia hanya mengangguk jika sudah di janjikan untuk bertemu dengan anaknya. Hanan segera memacu kendaraannya menuju kediaman Hendra.
Sementara itu Evi dan Bimo masih saja bingung mau berbuat apa. Mereka sedikit goyah saat Hanan mengatakan ingin membayar seorang psikolog untuk menemani Alia. Bisa-bisa rencana mereka gagal.
"Kenapa susah sekali menyingkirkan orang gila itu. Jika Alia kembali sembuh, itu berarti kita sudah tak mempunyai kesempatan lagi," ucap Bimo dengan kesal.
"Maka dari itu kita harus merencanakan dengan rapi. Kita harus lebih hati-hati lagi," sambung Evi.
Sementara itu ditempat lain, Hendra menyambut kedatangan sahabatnya dengan senang.
"Ayo masuklah," ucap Hendra membawa Hanan dan Alia masuk kedalam.
"Katanya orangnya ada disini?" tanya Hanan masih belum paham, ekor matanya masih mencari keberadaan psikologi yang ingin membantu istrinya.
"Iya, kamu bawa Alia duduk dulu, akan aku panggilkan psikologinya," ujar Hendra segera beranjak menuju dapur.
"Ayo Sayang, duduk sini." Hanan membawa Alia untuk duduk, namun, wanita itu menggelengkan kepalanya.
"Hanan, aku mau bertemu bayiku, aku tidak mau disini!" tolaknya dengan suara sedikit keras.
Saat Hanan masih berusaha membujuk Alia, Resha dan Hendra datang menghampiri mereka.
"Res, ini Dokter Hanan, dan ini istrinya yang aku ceritakan semalam," ucap Hendra memperkenalkan pada istrinya.
"Hai, Dok." Resha menyambut uluran tangan Hanan.
"Hai Alia, kenalan dulu kita yuk. Namaku Resha, nama kamu siapa?" tanya Resha meraih tangan Alia. Namun, wanita itu hanya diam dan menatap heran.
"Apakah kamu ingat siapa namamu?" tanya Resha kembali.
Alia hanya menggelengkan kepala. Resha mengusap bahunya, lalu membawa duduk.
"Yuk ingat dulu siapa nama kamu, kalau kamu bisa ingat, nanti aku kasih hadiah. Kamu mau hadiah apa dari aku?" tanya Resha dengan senyum dan bernada lembut. Mungkin karena sudah profesinya, maka dia mempunyai cara untuk memancing ingatan sang pasien agar kembali normal.
"Hanan, aku mau bayiku," jawabnya dengan panggilan yang sama saat memanggil sang suami.
"Wah, kamu hebat ya, sepertinya orang yang kamu percaya hanya suamimu. Namaku Resha, ini yang Hanan," ucap Resha sembari menunjuk pada Hanan.
Alia tak menyahut, ia masih fokus dengan boneka yang ada dalam pangkuannya. Resha menatap gesture tubuh, dan cara bicara Alia.
"Sepertinya kejiwaannya tidak terlalu parah, tapi, Alia memang butuh psikoterapi. Alia hanya mengalami trauma dan merasa kehilangan orang yang paling ia sayangi, sehingga mentalnya tidak cukup kuat menghadapi kenyataan yang ada," jelas Resha pada Hanan.
"Apakah Alia bisa sembuh kembali?" tanya Hanan penuh harap.
"Insya Allah bisa, tapi memang butuh waktu, saya akan mencoba menemaninya agar mentalnya kembali normal."
"Terimakasih banyak atas bantuannya. Oya, ngomong-ngomong kamu selama ini tugas dimana?" tanya Hanan penasaran.
"Saya tugas di RS kota Medan."
"Apakah kalian saudara?" tanya Hanan kembali.
Seketika Resha dan Hendra saling pandang. Resha masih ragu untuk menjawab yang sebenarnya, ia masih menunggu keputusan dari Hendra untuk mengatakan pada semua orang tentang hubungan mereka.
"Han, aku dan Resha adalah suami istri," jawab Hendra yang membuat mata Hanan membulat.
"Kamu serius? Bukankah kamu bilang masih sendiri? Sejak kapan kamu menikah? Ah parah kamu memang, Hen, nikah nggak undang-undang," rutu Hanan kesal.
"Hei, dengar dulu penjelasanku. Aku dan Resha menikah sudah tiga tahun yang lalu. Tapi..."
"Tapi kenapa?" tanya Hanan tak sabar mendengarkan penjelasan sahabatnya itu.
"Kami sengaja menyembunyikan pernikahan, karena kami tidak saling mencintai. Dan sekarang kami sudah sepakat untuk menjalani hubungan yang serius. Kami akan mencoba membuka hati masing-masing agar bisa saling menerima," jelasnya kembali.
Hanan hanya mengangguk paham, ternyata sahabatnya itu mempunyai masalah yang selama ini dia tutup begitu rapat.
"Ya aku paham. Semoga rumah tangga kalian langgeng. Dan sekali lagi terima kasih Resha, karena telah mau membantuku untuk mengembalikan mental Alia," ucap Hanan dengan tulus.
"Sama-sama Mas Hanan. Mari kita sama-sama berdo'a, semoga Alia segera sembuh."
"Aamiin..."
Mereka mengaminkan bersama. Setelah cukup lama berbincang, Hanan membawa Alia untuk pulang, dan tentu saja sudah membuat kesepakatan bahwa Resha yang akan datang mengunjungi Alia setiap harinya.
Pagi-pagi sekali Hanan sudah bangun terlebih dahulu, dan tak lupa menunaikan ibadah dua rakaat. Selesai sholat, ia duduk di bibir ranjang sembari menatap wajah cantik sang istri.
"Alia, bangun yuk," ucapnya sembari mengusap kepala Alia dengan lembut.
Alia membuka netranya dengan perlahan. Ia menatap penampilan Hanan yang masih menggunakan pakaian Koko dan peci masih menutup kepalanya.
"Sholat?" tanya Alia tampak bingung.
"Ya, apakah kamu mau sholat?" Hanan menawarkan padanya.
Alia menggeleng, dan kembali netranya berkaca-kaca. Dengan pelan bibirnya mengucapkan istighfar.
"Astaghfirullah...," lirihnya sembari menyembunyikan wajahnya di bawah bantal.
"Kamu baca istighfar Alia? Apakah aku tidak salah dengar?" tanya Hanan sembari meraih bantal untuk melihat wajah sang istri.
"Hanan, awas! Jangan ganggu aku!" serunya sembari merebut bantal itu kembali, lalu memukulkan pada lelaki itu.
"Hahaha... Baiklah baiklah, ayo sekarang mandi dulu ya, habis itu kita sarapan. Nanti Resha datang kesini, jadi kamu ada teman," ucap Hanan terkekeh melihat kelakuan istrinya.
"Hanan, aku tidak mau mandi." Alia segera berjongkok diatas ranjang, dan terdengar suara air yang telah membasahi ranjang mereka.
"Ya ampun, Alia, kamu pipis lagi?" tanya Hanan menatap tak percaya.
"Hihi, mau bobok lagi Hanan," jawabnya tanpa dosa kembali berbaring diatas ranjang yang telah basah karena buang air kecilnya.
"Eh eh, bangun Alia, ayo mandi," ucap Hanan menghela nafas dalam. Ia mencoba memasok rasa sabar yang tak terbatas. Sadar sekali kondisi Alia saat ini karena perbuatannya.
Dengan racauan yang tak jelas Alia mengikuti langkah Hanan menuju kamar mandi. Dan Hanan dengan sabar membersihkan kekacauan yang telah dibuat oleh sang istri.
Setelah selesai mengurusi Alia, Hanan segera menuju dapur untuk meminta Bibik membuatkan sarapan untuk Alia.
"Bik, tolong buatkan sarapan Alia seperti biasanya ya," titah Hanan.
"Baik, Den." Bibik mengangguk patuh.
Sementara itu Evi baru saja keluar dari kamarnya. Ia ikut bergabung dengan Bibik di dapur.
"Lagi masak apa, Bik?" tanyanya sembari mengambil gelas kosong meletakkan diatas tadah.
"Ini bikin sarapan untuk Non Alia, Nyonya," jawab Bibik masih mengaduk bubur ayam.
"Apakah Hanan sudah minum kopi?"
"Belum, Nyonya."
"Yasudah, biar saya yang membuatkan. Tolong kamu antarkan ke kamar mereka ya, sekalian su su untuk Alia."
"Baik, Nyonya."
Bersambung...
Happy reading 🥰
fix no debat